PENDAHULUAN
Secara historis
filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi
dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa
dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat
memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara
ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap
dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya
merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat
dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan
ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak
memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Pada dasarnya
filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman
mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya,
pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian
tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang
ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman
yang dilakukan oleh para akhli.
A. PENGERTIAN FILSAFAT
Perkataan Inggris philosophy
yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta)
dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno
itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang
semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan
saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian
atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para
filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah
filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan
tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika
dan teori pengetahuan.
Menurut Surajiyo (2010:1)
secara etimologi kata filsafat, yangg
dalam bhs Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam
Bahasa
Inggris di kenal dengan istilah philoshophy adalah
dari Bahasa Yunani
philoshophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love)
dan shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara
etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of
wisdom) dalam arti yang
sedalam-dalamnya. Dengan demikian,
seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Secara terminologi, menurut
Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang
ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada
hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang
dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang
menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada secara mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat
merupakan induk segala ilmu.
Susanto (2011: 6) menyatakan
bahwa menurut Istilah,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah
yang muncul dan berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi
maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang
sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara
rasional-logis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu
menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia.
Kalau menurut tradisi
filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah
philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang
menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta
kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh
Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui
sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf
yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan
Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan
kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran
istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates.
Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang
untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya
ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya
untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena
manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau
keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut,
karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh
filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk.
(1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri.
Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
B. PENGETIAN DAN HAKEKAT ILMU
Menurut Burhanudin Salam
(2005:10) Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif dalam
menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense. Sehingga definisi ilmu pengetahuan adalah
kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan sistematis dan metodologis
untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji atau diverifikasi
kebenarannya. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan
analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah
epistemology atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie).
Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan
dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan
sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”.
The Liang Gie (1987) (dalam
Surajiyo, 2010) memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Secara filosofis, semua kajian
yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis
pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan
(theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani
yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu
tepat pada kedudukannya”.
Sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi pada hakikatnya merupakan suatu kajian Filosofis yang bermaksud
mengkaji masalah umum secara menyeluruh dan mendasar untuk menemukan ciri-ciri
umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana pengetahuan itu
pada dasarnya diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang lingkup
dan batasan-batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya
pengetahuan dan memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim
kebenaran dan objektivitasnya. Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu
yang bersifat :
a) Evaluative, yaitu menilai
apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan secara nalar atau
tidak.
b) Normative, yaitu menentukan
tolok ukur kebenaran atau norma dalam bernalar.
c) Kritis, yaitu menguji penalaran
cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif) manusia untuk dapat ditarik
kesimpulan.
Adapun cara kerja metode
pendekatan epistemologi adalah dengan cara bagaimana objek kajian itu didekati
atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya berbagai macam pertanyaan yang
diajukan secara umum dan mendasar dan upaya menjawab pertanyaan yang diberikan
dengan mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Dengan tujuan
agar manusia bisa lebih bertanggung jawab terhadap jawaban dan pandangan atau pendapatnya
dan tidak menerima begitu saja pandangan dan pendapat secara umum yang
diberikan.
Berdasarkan cara kerja atau
metode yang digunakan, maka epistemologi dibagi menjadi beberapa macam.
Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum, epistemologi dibagi menjadi
3, yaitu:
1) Epistemologi metafisis
Epistemologi
metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang berasal dari paham tertentu
dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara mengetahui kenyataan itu.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah hanya menyibukkan diri dalam mendapatkan
uraian dari masalah yang dihadapi tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk
menguji kebenarannya.
2) Epistemologi skeptis
Epistemologi
skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih dahulu dari apa yang kita
ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum menerimanya sebagai
pengetahuan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mencari jalan keluar
atau keputusan.
3) Epistemologi kritis
Pada
Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun, hanya saja mencoba
menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi, prosedur dan pemikiran, baik
pemikiran secara akal maupun pemikiran secara ilmiah, dengan tujuan untuk
menemukan alasan yang rasional untuk memutuskan apakah permasalahan itu bisa
diterima atau ditolak.
Ilmu pada dasarnya merupakan
kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam
yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode tertentu. Dalam hal
ini, ilmu mempunyai struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu
menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi
dalam suatu lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur
nampak secara jelas. Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to
illustrate relationship among facts, concepts, and generalization, yang berarti
struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta
generalisasi. Dengan keterkaitan tersebut akan membentuk suatu bangun kerangka
ilmu tersebut. sementara itu, definisi struktur ilmu adalah seperangkat
pertanyaan kunci dan metode penelitian yang akan membantu untuk memperoleh
jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki
karakteristik yang khas yang akan mengantarkan kita untuk memahami ide-ide
pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian nampak dari
dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu,
yaitu:
a. A
body of Knowledge
(kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang
menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan lingkungan
(boundary) yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang
berhubungan, dari mulai yang konkrit (berupa fakta) sampai ke level yang
abstrak (berupa teori), semakin ke fakta maka semakin spesifik, sementara
semakin mengarah ke teori maka semakin abstrak karena lebih bersifat umum.
b. A
mode of inquiry,
yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode
penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu
tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan
“ilmu” disama artikan, bahkan terkadang dijadikan kalimat majemuk yang
mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua kata tersebut dipisahkan, akan
mempunyai arti sendiri dan akan tampak perbedaannya.
Ilmu adalah pengetahuan. Jika
dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di ambil dari bahasa inggris yaitu
knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science dan peralihan dari kata arab ilm
atau ‘alima (ia telah mengetahui) sehingga kata jadian ilmu berarti juga
pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditinjau dari
segi bahasa, antara pengetahuan dan ilmu mempunyai sinonim arti, namun jika
dilihat dari segi arti materialnya (kata pembentuknya) maka keduanya mempunyai
perbedaan.
Dalam encyclopedia Americana,
di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang besifat positif dan
sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles Of
Scientific Research dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91)
memberi batasan definisi ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha manusia untuk
memperoleh suatu pengetahuan baik dimasa lampau, sekarang, dan kemudian hari
secara lebih cermat serta suatu kemampuan manusia untuk menyesuaikan dirinya
dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-sifatnya sendiri, sedangkan
menurut Carles Siregar masih dlam dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91)
menyatakan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.
Ilmu dapat memungkinkan adanya
kemajuan dalam pengetahuan sebab beberapa sifat atau ciri khas yang dimiliki
oleh ilmu. Burhanudin Salam (2005:23-24)mengemukakan beberapa ciri umum dari
pada ilmu, diantaranya:
1) Bersifat akumulatif, artinya
ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu yang telah lalu dapat digunakan
untuk penyelidikan atau dasar teori bagi penemuan ilmu yang baru.
2) Kebenarannya bersifat tidak
mutlak, artinya masih ada kemungkinan terjadinya kekeliruan dan memungkinkan
adanya perbaikan. Namun perlu diketahui, seandainya terjadi kekeliruan atau
kesalahan, maka itu bukanlah kesalahan pada metodenya, melainkan dari segi
manusianya dalam menggunakan metode itu.
3) Bersifat obyektif, artinya
hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman secara pribadi, tidak
dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai dengan fakta keadaan asli
benda tersebut
C. PENGERTIAN
FILSAFAT ILMU DAN TUJUAN MEMPELAJARI FILSAFAT ILMU
Pengertian-pengertian
tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan
ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan
saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan
pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian
pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti
perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan
lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini
senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan
(sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Filsafat ilmu
menurut Surajiyo (2010 : 45), merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan
dan cara bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu
adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara
memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan
ilmiah itu sendiri.
Dalam
perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi
pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada
dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu,
tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu,
diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu
pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti
ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak
mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento
Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu
yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek
sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang
filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut
Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah
keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan
dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu.
Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang
idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya,
yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu
cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak
dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana
yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami
hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah
dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas
ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih
dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk
memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika
validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto
sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta
kerabunan intelektualnya.
Adapun tujuan
mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar (2008:20) adalah:
a) Mendalami unsur-unsur pokok
ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakekat dan tujuan
ilmu.
b) Memahami sejarah pertumbuhan,
perkembangan dan kemajuan ilmudi berbagai bidang sehingga kita dapat gambaran
tentang proses ilmu kontemporermsecara historis.
c) Menjadi pedoman untuk membedakan
studi ilmiah dan non ilmiah.
d) Mempertegas bahwa persoalan
antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Bagi mahasiswa dan
peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah
1) seseorang (peneliti,
mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja
setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
2) seseorang (peneliti,
mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar
dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu
teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya)
tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti:
lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya.
3)
Seseorang
(peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah
(penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh
bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab
dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya
masalaheuthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan
problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap
hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah.
D. HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN ILMU-ILMU
LAIN
Filsafat adalah induk dari ilmu penegtahuan.
Ilmu – ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Karena obyek filsafat sangat
umum (seluruh kenyataan), sedangkan ilmu membutuhkan obyek material yang
khusus, mengakibatkan berpisahnya ilmu dari filsafat (namun tidak berarti
hubungannya putus). Ciri – ciri yang dimilki oleh setiap ilmu, menimbulkan
batas - batas yang tegas antar masing – masing ilmu. Disinilah filsafat
bertugas :
1)
Berusaha
menyatupadakan masing – masing ilmu
2)
Mengatasi
spesialisasi
3)
Merumuskan
pandangan yang didasarkan atas pengalaman manusia
4)
Mengatur
hasil – hasil berbagai ilmu khusus ke dalam sesuatu pandangan hidup dan
pandangan dunia yang tersatupadukan (integral), komperhensif, dan konsisten.
(Komprehensif : tidak ada satu bidang yang berada di luar jangkuan filsafat,
Konsisten : uraian kefilsafatan tidak
menyusun pendapat –pendapat yang saling berkontradiksi
Hubungan timbak balik antara ilmu dan filsafat, bahwa ilmu dapat
menyediakan bahan berupa fakta – fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide filsafat, sehingga sejalan
dengan pengetahuan ilmiah.
Filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep – konsep dasar dan
memeriksa asumsi – asumsi dari ilmu – ilmu untuk memperoleh arti validitasnya,
sehingga hasil yang dicapai mempunyai landasan yang kuat. Meskipun secara
historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam
perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat
mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk
memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya
masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat
hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektuan manusia
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan
ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan
sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan
sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu,
dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan
makna dan tugas filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat
adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya
menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut
baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat
konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr
dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan
titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat
analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi,
eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan
hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji
pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup
hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat
sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi
kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan
kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus
dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara
temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai
batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa
yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari
jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek
kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai
kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan
sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1)
Filsafat
mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu
pengetahuan objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.
2)
Filsafat
hendak memberikan pengetahuan, insight/pemahaman lebih dalam dengan menunjukan
sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan
sebab-sebab tetapi yang tak begitu mendalam.
E. FILSAFAT
PENDIDIKAN
Menurut
Muhmidayeli. (2011: 35)
Filsafat pendidikan adalah upaya menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat
dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem kependidikan yang akan
melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah
penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan. Menurut John Dewey dalam Jalaluddin dan Idi (2007: 19 – 21)
filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional),
menuju tabiat manusia.
Sedangkan
Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany
dalam Muhmidayeli. (2011: 35), filsafat
pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah
filsafat dalam bidang pengalaman
kemanusiaan yaang disebut dengan pendidikan.
Filsafat
pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti
bahwa masalah-masalah
pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan
berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a) Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan
berusaha untuk mencapainya;
b) Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang
menerima pendidikan;
c) Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu proses sosial;
d) Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan
berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya al-Syaibany (1979)
mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang diharapkan dilakukan oleh
seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
a) Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan
proses dan usaha-usaha pendidikan pada suatu bangsa;
b) Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar
beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya;
c) Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan
mengubah cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih baik;
d) Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada
masyarakat dan menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan
cara-cara mencapai kebenaran tersebut.
Filsuf
pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas, dan menyeluruh tentang
wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemansiaan, pengetahuan
kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsuf pendidikan harus pula mampu memahami
nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan,
dan kebenaran.
Gandhi HW
(2011: 84) setelah mengkaji makna
filsafat pendidikan dari berbagai ahli Ia menyatakan bahwa: “Filsafat
pendidikan tidak lain adalah penerapan upaya metodis filsafat untk
mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam membangun hidup daan kehidupannya
untuk menjadi semakin baik dan berkualitas. Sedangkan upaya-upaya filsafat dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan
penyelenggaraan pendidikan pada kondisi-kondisi etika yang diidealkan. Dalam makna lain, filsafat pendidikan adalah flsifikasi
pendidikan, baik dlm makna teoritis konseptual maupun makna praktis-pragmatis yang menggejala.
.
F.
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
1. Hubungan
Filsafat Ilmu Dengan Pendidikan
Hubungan
filsafat ilmu dengan pendidikan. Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan
yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakekat ilmu (Benny Irawan, 2011:49)
Filsafat ilmu bertujuan mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara
bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah
penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya Sebaliknya
realita seperti pengalaman pendidik menjadi masukan dan pertimbangan bagi
filsafat ilmu untuk mengembangkan pemikiran pendidikan. Hubungan fungsional
antara filsafat ilmu dengan pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Filsafat ilmu, merupakan satu cara pendekatan yang
dipakai dalam memecahkan problematika pengembangan ilmu pendidikan dan menyusun
teori-teori pendidikan oleh para ahli.
2) Filsafat ilmu, berfungsi memberi arah bagi
pengembangan teori pendidikan yang telah ada dan memilki relevansi dengan
kehidupan yang nyata.
3) Filsafat ilmu dan pendidikan mempunyai hubungan saling
melengkapi, yang dapat bermakna bahwa realita pendidikan dapat mengembangkan
filsafat ilmu, dan filsafat ilmu itu sendiri dapat membantu realita
perkembangan pendidikan.
2. Hubungan
Filsafat Ilmu dengan Filsafat Pendidikan
Pandangan filsafat
pendidikan sama peranannya dengan landasan filosofis yang menjiwai seluruh
kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan terdapat
kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan
masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut.
Filsafat pendidikan
mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita, antara lain tentang pandangan
dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi landasan
penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidikan. Di samping itu, pengalaman
pendidik dalam menuntun pertumbuhan dan perkembangan anak akan berhubungan dan
berkenalan dengan realita. Semuanya itu dapat digunakan oleh flsafat pendidikan
sebagai bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memngembangkan diri.
Filsafat ilmu
dengan filsafat pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Bagi
perkembangan filsafat pendidikan, filsafat ilmu merupakan landasan filosofis
yang menjiwai pengembangan ilmu pendidikan dan teori-teori pendidikan. Filsafat
ilmu mencoba memberikan dasar bagi pengembangan filsafat pendididkan dalam kerangka
mengembangkan ilmu pendidikan dan teori-teori pendidikan.
Selain itu, hubungan
filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan juga dapat dimaknai bahwa filsafat
ilmu mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan
ilmu pendidikan (pedagogic) maupun teori-teori pendidikan baik dari segi
ontologi (tujuan), epistemologi (metode), maupun axiologi (nilai).
G. KEBERADAAN
MANUSIA DI DUNIA DARI PENCIPTAAN AWAL HINGGA TUJUAN AKHIR
Manusia merupakan
mahluk yang diciptakan Allah SWT. Karena kita diciptakan, maka sudah tentu kita
harus menjalani kehidupan ini sesuai dengan misi penciptaan itu sendiri, yaitu
apa yang dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran : Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzaariyaat
: 56)
Apa itu ibadah ?.
Menurut bahasa, Ibadah berarti “Tha’at”. Sedangkan menurut istilah,
Ibadah punya dua makna. Pertama, Ibadah dalam arti khusus,
yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya, seperti shalat, zakat, shaum,
haji, dan jihad. Kedua, Ibadah dalam arti umum, yaitu menjalankan seluruh perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya dalam berbagai aspek kehidupan. Wal hasil, yang
harus diperbuat manusia dalam kehidupannya di dunia ini adalah Ibadah.
Perlu ditegaskan
di sini, bahwa ibadah sesungguhnya bukanlah sekedar aktifitas ritual seperti
sholat, shaum, dll. Ini adalah pandangan yang keliru dan membahayakan. Yang
tepat, bahwa ibadah adalah seluruh amal perbuatan manusia yang dilakukan sesuai
dengan perintah dan larangan Allah. Amal perbuatan manusia bisa memiliki
nilai rohani, nilai manusiawi, nilai akhlaq, atau nilai materi.
Allah SWT
telah memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa melaksanakan apa-apa yang
diajarkan/diperintahkan oleh Rasul, dan meninggalkan apa-apa yang di larangnya,
sebagaimana firman-Nya : Apa yang diberikan/diperintahakan Rasul kepadamu
maka terimalah/laksanakanlah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggal-kanlah. (Al-Hasyr 7)
Selain itu
Rasulullah SAW juga bersabda : Siapa saja yang mengerjakan suatu amal
perbuatan, yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak. (HR. Muslim). Oleh karena itulah, kita perlu mengkaji dan
mendalami Islam, agar bisa melakukan semua gerak langkah dan aktivitas kita,
sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT, sehingga senantiasa memiliki nilai
ibadah di sisi-Nya.
Tujuan akhir hidup
manusia menurut Islam adalah mendapatkan kebahagiaan hakiki. Perlu disadari
bahwa kehidupan akhirat itulah sesungguhnya kehidupan yang hakiki.
Allah SWT berfirman : ...Katakanlah : “Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itulah lebih baik untuk orang-orang yang
bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (An
Nisaa’ 77) Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al A’laa
17-18)
Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia)
tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya
mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling
mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus meyadari terhadap
tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia
memiliki bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah : pertama, Menyembah
Kepada Allah (Beriman) Allah Swt.
menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa tujuan hidup manusia adalah semata-mata
untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat ayat 56 dan QS.
Al-Bayyinah ayat 5). Kedua, Memanfaatkan Alam Semesta (Beramal) Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk
Allah yang tertinggi (QS. at-Tien ayat 4). Sebagai makhluk tertinggi, disamping
menjadi hamba Allah, manusia juga dijadikan sebagai khalifah atau wakil Tuhan
dimuka bumi (QS. al-Isra’ ayat 70). Di samping itu, Allah juga menegaskan bahwa
manusia ditumbuhkan (diciptakan) dari bumi dan selanjutnya diserahi untuk
memakmurkannya (QS. Hud ayat 16 dan QS. al-An’am ayat 165). Dengan demikian,
seluruh urusan kehidupan manusia dan eksistensi alam semesta di dunia ini telah
diserahkan oleh Allah kepada manusia, Ketiga, Membentuk Sejarah Dan Peradaban (Berilmu) Allah
menciptakan alam semesta ini dengan pasti dan tidak ada kepalsuan di dalamnya
(QS. Shod ayat 27). Oleh Karena itu, alam memiliki eksistensi yang riil dan
obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap (sunnatullah). Di
samping itu, sebagai ciptaan dari Dzat yang merupakan sebaik-baiknya pencipta
(QS. al-Mukminun ayat 14), alam semesta mengandung nilai kebaikan dan nilai
keteraturan yang sangat harmonis. Nilai ini diciptakan oleh Allah untuk
kepentingan manusia, khususnya bagi keperluan perkembangan sejarah dan
peradabannya (QS. Luqman ayat 20). Oleh karena itu, salah satu tujuan hidup
manusia menurut al-Qur’an di muka bumi ini adalah melakukan penyelidikan
terhadap alam, agar dapat dimengerti hukum-hukum Tuhan yang berlaku di
dalamnya, dan selanjutnya manusia memanfaatkan alam sesuai dengan
hukum-hukumnya sendiri, demi kemajuan sejarah dan peradabannya.
A. Hakekat Manusia
1.
Manusia : Pandangan Antropologi
Menurut
Koentjaraningrat, antropologi adalah “ilmu tentang manusia”. Dalam perkembangannya
di Amerika, antropologi dipakai dalam arti yang sangat luas, karena meliputi
baik bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”. Pada
bahasan selanjutnya akan dikemukakan mengenai manusia dalam pandangan
antropologi.
Para
ahli biologi pada abad ke-19-an menyimpulkan bahwa manusia merupakan mahluk
hidup yang terbentuk dari jutaan sel.
Pada
awalnya di dunia ini hanya ada satu sel yang kemudian berkembang dan
mengalami percabangan-percabangan. Percabangan ini mengakibatkan adanya variasi
mahluk hidup di dunia ini. Menurut Charles Darwin dalam teori Evolusinya,
manusia merupakan hasil evolusi dari kera yang mengalami perubahan secara
bertahap dalam waktu yang sangat lama. Dalam perjalanan waktu yang sangat lama
tersebut terjadi seleksi alam. Semua mahluk hidup yang ada saat ini merupakan
organisme-organisme yang berhasil lolos dari seleksi alam dan berhasil
mempertahankan dirinya.
Para
ahli biologi yang menyimpulkan bahwa semua mahluk hidup di dunia berasal
dari suku primat yang terbagi menjadi 2 cabang yaitu Anthropoid dan
Prosimii. Berdasarkan klasifikasi tersebut, manusia ditempatkan pada subsuku
Anthropoid yang dibagi menjadi 3 infrasuku yaitu, Infrasuku Ceboid,
infrasuku Cercopithedoid dan infrasuku Hominoid. Infrasuku Hominoid
terbagi kedalam 3 keluarga yaitu Pongidae, Ramapithecas dan Hominidae.
Manusia berada pada percabangan kaluarga Hominidae. Keluarga Hominidae
menggabungkan manusia purba jenis Pithecanthropus dengan Homo Neanderthal
dan dengan manusia sekarang atau Homo Sapiens. Jenis Homo Sapiens yang ada
sampai saat ini terdiri dari 4 ras yaitu ras Negroid, Caucasoid, Mongoloid dan
Austrloid (http://hanykpoespyta.wordpress.com/
2008/04/19/manusia-antara-pandangan-antropologi-dan-agama-islam).
Dapat
disimpulkn bahwa manusia dalam pandangan Antropologi terbentuk dari satu sel
sederhana yang mengalami perubahan secara bertahap dengan waktu yang sangat
lama (evolusi). Berdasarkan teori ini, manusia dan semua mahluk hidup di dunia
ini berasal dari satu moyang yang sama. Nenek moyang manusia adalah kera. Teori
Evolusi yang dikenalkan oleh Charles Darwin ini akhirnya meluas dan terus
dipakai dalam antropologi.
2. Manusia : Pandangan Ilmu
Sosial (sosiologi)
Konsep
manusia dalam Sosiologi belum sepenuhnya melihat manusia sebagai suatu makhluk
yang utuh dan mandiri. Menurut Bapak ahli Sosiologi modern, Agus Comte.
Pandangan beliau banyak dipengaruhi oleh Louis de Bonald, Seorang filsuf
Perancis yang lahir pada tahun 1875.
Comte
berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan individu. Baginya Manusia itu
ada untuk masyarakat dan masyarakatlah yang menentukan segala-galanya. Comte melihat
bahwa manusia adalah non rational. Oleh karena itu menurutnya “Individual
Liberty” justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu
sendiri. Demikian juga dalam masyarakat, tak seorangpun dapat berpendapat lain
dari pada apa yang telah diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat itu,
yaitu “The Intellectual Scientific Religious Group.” Ini berarti
bahwa manusia adalah hanya suatu bagian dari masyarakat. Ia hidup dalam
masyarakat tetapi ia tidak dapat mengarahkan masyarakat sesuai dengan keinginannya.
Dalam pendidikan manusia diibaratkan suatu benda kosong dan adalah tugas
masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma atau nilai-nilai yang dapat
membuat masyarakat ini berbuat secara lebih terarah dalam artian tidak
menggangu sistem. Oleh karena itu Sosialisasi dalam kehidupan manusia dipandang
sangat penting. (http://pohanrangga.blogspot.com/2012/11/hakekat-manusia-dari-segi-sosiologi.html)
Bagi
Indonesia, konsep manusia yang diberikan oleh Comte sulit untuk diterima,
karena konsep tersebut terlalu memberikan porsi yang besar pada masyarakat,
sedangkan individu tidak diberi kesempatan untuk aktif melakukan kegiatan
kemasyarakatan. Pemerintah Indonesia bertujuan membentuk manusia seutuhnya,
artinya melihat manusia tidak hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat
saja, tetapi ia juga dapat menciptakan nilai-nilai baru dan menyampaikannya
pada masyarakat. Oleh karena itu partsipasi seluruh rakyat dalam proses
pembangunan adalah sangat penting dan diperlukan.
Hakikat
manusia dilihat dari sosiologi tidak lepas dari manusia
secara individu dan manusia dalam artian masyarakat. Manusia
sebagai individu mempunyai ciri bebas, unik dituntut untuk mengikuti masyarakat yang mempunyai sifat memaksa terhadap anggota masya-rakatnya. Individu
memiliki ciri interpretatif, artinya individu
tersebut memiliki persepsi atau cara pikir tersendiri mengenai sesuatu. Ketika
ia diajarkan sebuah nilai dan norma dalam sebuah masyarakat, individu tersebut
tidak sekedar menerimanya begitu saja, ia menggunakan kemampuannya dalam menginterpretasikan
nilai tersebut. Sehingga jika terdapat kekurangan dalam nilai dan norma tersebut individu bisa
melengkapinya
3.
Manusia : Pandangan
Ilmu Pendidikan
Pendapat
yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik
terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan.
Aliran-aliran tersebut adalah nativisme,
empirisme, dan konvergensi.
Menurut
nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya
oleh bakat yang secara alami
sudah ada pada dirinya. Sedangkan menurut
penganut empirisme adalah sebaliknya. Perkembangan dan
pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya.
Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan
berperan penting dan sangat
menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan
Ali Ahmad Zen, 1996:52). Adapun aliran
ketiga, yaitu konvergensi merupakan perpaduan antara kedua
pendapat tersebut. Menurut mereka
memang manusia memiliki kemampuan
dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensiitu hanya dapat
berkembang jika ada pengarahan pembinaan sertabimbingan dari
luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar
(potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan).
Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan
oleh kemampuan potensi bakat yang dibawanya. Tanpa
ada intervensi dari luar (lingkungan)
bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan
baik.
Pendidikan
adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia
agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sebab manusia
menjadi manusia yang sebenarnya jika ia mampu merealisasikan hakikatnya secara
total maka pendidikan hendaknya merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar
dengan bertitik tolak pada asumsi tentang hakikat manusia.
Pendapat
yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik
terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan.
Aliran-aliran tersebut adalah nativisme,
empirisme, dan kovergensi.
Menurut
nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya
oleh bakat yang secara alami
sudah ada pada dirinya. Sedangkan menurut
penganut empirisme adalah sebaliknya. Perkembangan
dan pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan
oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran
ini memandang pendidikan berperan penting dan
sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Idi, Abdullah. 2007:52).
Adapun aliran ketiga, yaitu
konvergensi merupakan perpaduan antara
kedua pendapat tersebut. Menurut mereka
memang manusia memiliki kemampuan
dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat
berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari
luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar
(potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan).
Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan
oleh kemampuan potensi bakat yang dibawanya. Tanpa
ada intervensi dari luar (lingkungan)
bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan
baik.
Salah
satu konsep kependidikan yang banyak dianjurkan pada lembaga-lembaga pendidikan
guru umumnya menggambarkan pendidikan sebagai bantuan pendidik untuk membuat
subjek didik menjadi dewasa. Manusia yang belum dewasa, proses perkembangan
kepribadiannya menuju pembudayaan maupun proses pematangan disebut sebagai
objek pendidikan ( individu yang dibina ).
Hakikat
manusia sebagai subjek didik mengandung arti sebagai berikut:
1)
Manusia
bertanggung jawab atas pendidikannya sesuai wawasan pendidikan seumur hidup
2)
Manusia
punya potensi baik fisik maupun psikis yang berbeda-beda
3)
Manusia
adalah insane yang aktif
4)
Masalah
jasmani dan rohani
Manusia
adalah mahluk Ciptaan tuhan yang paling sempurna, manusia mempunyai
keistemewaan dibanding dengan mahluk lain, dan kesempurnaan ini dapat
meningkatkan kehidupannya. Pada awalnya manusia cenderung melakukan pendidikan
pada dirinya sendiri dengan berusaha mengerti dan mencari hakikat kepribadian
siapa diri mereka sebenarnya. Dengan berfikir atau bernalar, merupakan suatu
bentuk kegiatan akal manusia melalaui pengetahuan yang diterima melalui panca
indra diolah dan ditunjukkan untuk mencapai suatu kebenaran. Sesuai dengan
makna filsafat yaitu sebagai ilmu yang bertujuan untuk berusaha memahami semua
yang timbul dalam keseluruhan lingkup pengalan manusia, maka manusia memerlukan
ilmu dalam mewujudkan pemahamn tersebut (Dr. jamaluddin, filsafat pendidikan,
1997).
Manusia Mahkuk Pengetahuan
Manusia
berbeda dengan mahluk lainnya. Manusia lahir dengan potensi kodratnya yaitu
Cipta, Rasa, dan Karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual, yag secara khusus
mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah kemampuan spiritual yang
mempersoalkan nilai Keindahan. Sedangkan Karsa adalah kemampuan spiritual yang
secara khusus mempersoalkan nilai kebaikan. Ketiga jenis nilai tersebut
dibingkai dalam sebuah ikatan system, selanjutnya dijadikanlah landasan dasar
untuk mendirikan filsafat hidup, menentukan Landasan Hidup, dan mengatur sikap
dan perilaku hidup agar senantiasa terarah ke pencapaian tujuan hidup.
Manusia Mahluk Berpendidikan
Dengan
kemampuan pengetahuan manusia yang benar, manusia berusaha menjaga dan
mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan
pengetahuannya di dalam perilaku sehari-hari. Sejak lahir, seorang manusia
sudah terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia
dirawat, dijaga, dididik, dan dilatih oleh orang tua, keluarga, dan masyarakat
menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai terbentuk potensi kemandirian
dalam mengelola kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran
tersebut diselenggarakan secara Konvensional (alami) menurut pengalaman hidup,
sampai cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional (pendidikan
di sekolah), menurut kemampuan konseptik-rasional.
4. Manusia : Pandangan Filsfat
Ilmu
Pandangan filsafat terhadap manusia dapat dipandang dari
beberapa sudut pandang yakni dari:
a)
Teori
Descendensi
Beberapa ahli filsafat
berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap
hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu
bertanya dan berpikir.
Aristoteles (384-322 SM), seorang
filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal
sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya.
Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal),
hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan
yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia
mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan
didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus
dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan
suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, manusia
disebut Homo homini lupus artinya
manusia yang satu serigala manusia yang lainnya (berdasarkan sifat dan tabiat)
Nafsu yang paling kuat dari manusia
adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan
kehilangan nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia
sebagai binatang kekurangan (a
shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang
yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas (das rucht festgestelte tier). Artinya manusia tidak pernah merasa
puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Julien, bahwa manusia manusia
tak ada bedanya dengan hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang terus
bekerja (de lamittezie). Artinya
bahwa dari aktivitas manusia dimulai bangun tidur sampai ia tidur kembali
manusia tidak berhenti untuk beraktivitas.
Menurut Ernest Haeskel, bahwa manusia
merupakan (animalisme), tak ada sanksi bahwa segala hal manusia
sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan menyusui.
Artinya bahwa tidak diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang
menyusui.
Menurut William Ernest, bahwa manusia
adalah hewan yang berfikir dalam istilah totalitas, dan hewan yang berjiwa.
Artinya manusia mempunyai akal pikiran untuk memikirkan segala hal dan manusia
memiliki jiwa.
Menurut Adi Negara bahwa alam
kecil sebagian alam besar yang ada di atas bumi. Sebagian dari makhluk yang
bernyawa, sebagian dari bangsa antropomoker, binatang yang menyusui, akan
tetapi makhluk yang mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat
menguasai kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya (lahir dan batin).
Kesimpulannya:
1) Menurut teori
descendensi bahwa meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab
mekanis.
2) Keistimewaan
ruhaniyah manusia dibandingkan dengan hewan terlihat dalam kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk yang berpikir, berpolitik, mempunyai
kebebasan/kemerdekaan, memiliki sadar diri, mempunyai norma, tukang bertanya
atau tegasnya manusia adalah makhluk berbudaya.
3) Manusia
mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan aktivitas yang dilakukan oleh
hewan.
b) Aliran Metafisika
Metafisika berasal dari
bahasa Yunani Meta ta physica yang dapat diartikan sesuatu yang ada
di balik atau di belakang benda-benda fisik.
Menurut Prof. S.
Takdir Alisyahbana, metafisika ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
(1) yang mengenai kuantitas (jumlah) dan (2) yang mengenai kualitas
(sifat).Yang mengenai kuantitas terdiri atas (a)monisme, (b) dualisme, dan (c) pluralisme. Monisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa unsur
pokok segala yang ada ini adalah esa (satu). Dualisme adalah aliran yang
berpendirian bahwa unsur pokok yang ada ini ada dua, yaitu roh dan benda.
Pluralisme adalah aliran yang berpendapat bahwa unsur pokok hakikat kenyataan
ini banyak. Yang mengenai kualitas dibagi juga menjadi dua bagian besar, yakni
(a) yang melihat hakikat kenyataan itu tetap, dan (b) yang melihat hakikat
kenyataan itu sebagai kejadian.Yang termasuk golongan pertama (tetap) ialah:”
Spiritualisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu bersifat roh.”
Materialisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu
bersifat materi. Yang termasuk golongan kedua (kejadian) ialah:”
Mekanisme, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian di dunia ini berlaku
dengan sendirinya menurut hukum sebab-akibat.” Aliran teleologi, yakni aliran
yang berkeyakinan bahwa kejadian yang satu berhubungan dengan
kejadian yang lain, bukan oleh hukum sebab-akibat, melainkan
semata-mata oleh tujuan yang sama.
Pandangan
filsafat terhadap aliran metafisika adalah memandang sesuatu yang ada pada diri
manusia yakni sebagai berikut:
1) Serba zat:
manusia terdiri dari sel yang mengacu pada materialisme / sesuatu yang nyata /
ada. Beranggapan yang sesungguhnya ada hanya materi saja yang bisa ditangkap
oleh pancaindera.
2) Serba ruh:
identik dengan jiwa, mencakup ingatan, imajinasi, kemauan, perasaan,
penghayatan.
Jadi, asal manusia dari
suatu yang ada dan tak bergantung dari yang lain. Hakikat manusia ialah dari
ruh yang ditiupkan oleh Tuhan. Artinya manusia tersusun dari zat yang ada
dengan diberikannya ruh oleh Tuhan sehingga menyebabkan manusia dapat hidup.
Manusia mempunyai fisik yaitu jasadnya. Selain jasad manusia juga mempunyai ruh
atau yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera yakni berhubungan dengan jiwa
mencakup ingatan, gagasan, imajinasi, kemauan, perasaan dan penghayatan.
c) Psikomatik
Memandang manusia hanya
terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga keberlangsungannya
artinya manusia memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) untuk
keberlangsungan hidupnya.
Manusia terdiri dari sel
yang memerlukan materi cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai
ekonomi (dinilai dengan harta / uang) artinya manusia memerlukan kebutuhan
duniawi yang harus dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka
mereka akan merasa puas terhadap pencapaiannya.
Manusia juga terdiri
dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai keagamaan
(pahala). Dalam menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran agama,
melalui ceramah keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya.
Manusia sempurna jika
mengembangkan unsur rasionalitas, kesadaran, akal budi, spritualitas,
moralitas, sosialitas, kesesuian dengan alam.
1) Rasionalitas
Secara etimologis
rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini
berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R.
Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah
pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan
pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai
aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam
penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Pola pikir secara
rasionalisme
Rasionalisme atau
gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan
fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai
kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam
hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun
begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada
masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa
manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada
rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang
antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya
Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai
adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan
iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak
seluruh rasionalis adalah atheis.
2) Kesadaran
Manusia dikatakan
manusia sempurna apabila manusia mempunyai kesadaran hidup. Kesadaran berarti
manusia melakukan segala sesuatu atas dorongan dari diri sendiri bukan paksaan
dari orang lain.Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu/mengerti
dengan jelas apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan
dalam banyak makna, seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun
maksud/niat.
Sebagai gambaran untuk
memperjelas, misalnya ada seorang anak melihat balon. Keadaan melihat tersebut
yang ia sadari sendiri itu dinamakan kesadaran. Sedangkan balon yang ia lihat
yang menimbulkan anggapan besar atau berwarna hijau disebut pikiran (persepsi).
Reaksi bagus dan indah sehingga anak tersebut suka adalah bentuk dari perasaan.
Kemudian reaksi pikiran yang menginginkan balon tersebut itu yang dimaksud
dengan niat/kehendak/maksud. Kata pikiran bermakna sangat luas sehingga ada
yang menggunakannya dalam konteks sebagai niat atau kehendak.
3) Akal budi
Akal budi yang baik akan
mengarahkan manusia ke jalan yang lurus. Mungkin pada suatu saat manusia akan
mundur atau menyimpang salah jalan. Tetapi akal budi inilah yang akan berupaya
meluruskan kembali jalan hidup kita.Akal budi ini adalah anugerah terbesar dari
Tuhan untuk manusia. Inilah yang membedakan kita dengan hewan atau bahkan
dengan tumbuhan. Dengannya kita dapat mempelajari dan mendalami keimanan.
Dengan iman inilah manusia dengan akal budinya mampu mengenali Tuhan.
Tetapi banyak orang yang
tertipu karena keterbatasan akal budinya dan menganggap pikiran manusia
berseberangan dengan iman. Tetapi yang benar adalah iman itu sebagai penuntun
akal budi agar perjalanan hidup manusia tidak menyimpang alias salah jalan. Dan
dengan akal budi kita dapat memperdalam iman. Dengan iman, manusia mampu
mengenal Tuhan dan berjalan lurus menuju kepada-Nya.
4) Spiritualitas
Dalam beberapa literatur
dijelaskan bahwa kata "spiritual" itu diambil dari bahasa Latin, Spiritus,
yang berarti sesuatu yang memberikan kehidupan atau vitalitas. Dengan vitalitas
itu maka hidup kita menjadi lebih "hidup". Spiritus ini bukan
merupakan label atau identitas seseorang yang diterima dari / diberikan oleh
pihak luar, seperti agama, melainkan lebih merupakan kapasitas bawaan dalam
otak manusia. Artinya, semua manusia yang lahir ke dunia ini sudah dibekali
kapasitas tertentu di dalam otaknya untuk mengakses sesuatu yang paling
fundamental dalam hidupnya. Jika kapasitas itu digunakan / diaktifkan, maka
yang bersangkutan akan memiliki vitalitas hidup yang lebih bagus. Kapasitas
dalam otak yang berfungsi untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental
itulah yang kemudian mendapatkan sebutan ilmiyah, seperti misalnya: Kecerdasan
Spiritual (SQ), Kecerdasan Hati (Heart Intelligence), Kecerdasan
Transendental, dan lain-lain.
Spiritual di dalam diri
kita selalu mendorong untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam, nilai-nilai
fundamental yang lebih bermanfaat, kesadaran akan adanya tujuan hidup yang
lebih panjang, dan peran yang dimainkan oleh makna, nilai, dan tujuan itu dalam
tindakan, strategi dan proses berpikir.
5) Moralitas
Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi
pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk,
berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah
hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan
aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat.
Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal
kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena
hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia.
Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati
disadari sebagai kewajiban mutlak.
6) Sosialitas
Sosialisasi
mengacu pada suatu proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari
seseorang yang tidak tahu menahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih
tahu dan memahami. Agen
sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah dan media massa. Keluarga
merupakan agen pertama dalam sosialisasi yang ditemui oleh anak pada awal
perkembangannya. Kemudian kelompok sebaya sebagai agen sosialisasi di mana si
anak akan belajar tentang pengaturan peran orang-orang yang berkedudukan
sederajat. Sekolah sebagai agen sosialisasi merupakan institusi pendidikan di
mana anak didik selama di sekolah akan mempelajari aspek kemandirian, prestasi,
universalisme serta spesifisitas. Agen sosialisasi yang terakhir adalah media
massa di mana melalui sosialisasi pesan-pesan dan simbol-simbol yang
disampaikan oleh berbagai media akan menimbulkan berbagai pendapat pula dalam
masyarakat.
Dalam rangka interaksi
dengan orang lain, seseorang akan mengembangkan suatu keunikan dalam hal
perilaku, pemikiran dan perasaan yang secara bersama-sama akan membentuk self.
7) Keselarasan
dengan alam
Hubungan antara manusia
dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan
antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi
hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Manusia diperintahkan
untuk memerankan fungsi kekhalifahannya yaitu kepedulian, pelestarian dan
pemeliharaan. Berbuat adil dan tidak bertindak sewenang -wenang kepada semua
makhluk sehingga hubungan yang selaras antara manusia dan alam mampu memberikan
dampak positif bagi keduanya. Oleh karena itu manusia diperintahkan untuk
mempelajari dan mengembangkan pengetahuan alam guna menjaga keseimbangan alam
dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Itu merupakan salah satu bentuk
rasa syukur kepada Allah SWT
B. Makna Filsafat, Pengetahuan,
Ilmu Pengetahuan, Filsafat Ilmu dan Filsafat Pendidikan
1.
Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy
yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta)
dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno
itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang
semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan
saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian
atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para
filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah
filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan
tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika
dan teori pengetahuan.
Menurut Surajiyo (2010:1)
secara etimologi kata filsafat, yangg
dalam bhs Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di
kenal dengan istilah philoshophy adalah dari Bahasa Yunani philoshophia terdiri
atas kata philein yang berarti cinta (love) dan shopia yang berarti
kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti
cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah
pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Secara terminologi, menurut
Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada
hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi
yang dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip
yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara mendalam dan menyeluruh. Jadi
filsafat merupakan induk segala ilmu.
Susanto (2011: 6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang
muncul dan berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri
secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari
prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional-logis, mendalam dan
bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah
dalam kehidupan manusia.
Kalau menurut tradisi
filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah
philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang
menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta
kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata
oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui
sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf
yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan
Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya
(The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran
istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates.
Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang
untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya
ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya
untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena
manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau
keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut,
karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh
filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk.
(1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri.
Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
2.
Pengetian Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi atau
maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk,
tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan
prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah
berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal.
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali
benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan
mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Pengetahuan adalah informasi yang
telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas
melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan
prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala
informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan
menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan
tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pengetahuan)
Pengetahuan adalah keseluruhan
pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat
juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki
metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang
menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan
pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak
teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih
dahulu. Pencarian pengetahuan lebih
cendrung trial and error dan berdasarkan
pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Dilihat dari asal katanya, pengetahuan
berasal dari kata tahu. Pengetahuan menandakan bahwa seseorang telah mengerti
mengenai sesuatu. Misalnya ibu A telah membaca sebuah artikel mengenai jerawat
kemudian tahu bahwa jeruk nipis adalah salah satu obat jerawat yang alami.
Pengetahuan ibu A tersebut tidak bisa disebut sebagai ilmu. Untuk mendapatkan
ilmu seseorang harus belajar lebih detail misalnya dengan mengetahui tipe-tipe
kulit, penyebab jerawat, penanganan kulit berjerawat berdasarkan jenisnya.
Jenis-jenis jerawat, proses penyembuhan jerawat, zat-zat yang dibutuhkan untuk
menumpas factor penyebab jerawat, dan sebagainya. Tentunya yang dapat memahami
detail jerawat tersebut adalah dokter kulit.
3.
Pengetian Dan Hakekat Ilmu Pengetahuan
Menurut Burhanudin Salam
(2005:10) Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif dalam
menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense. Sehingga definisi ilmu pengetahuan adalah
kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan sistematis dan metodologis
untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji atau diverifikasi
kebenarannya. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan
analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah
epistemology atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie).
Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan
dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan
sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”.
The Liang Gie (1987) (dalam
Surajiyo, 2010) memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Secara filosofis, semua kajian
yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis
pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan
(theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani
yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu
tepat pada kedudukannya”.
Sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi pada hakikatnya merupakan suatu kajian Filosofis yang bermaksud
mengkaji masalah umum secara menyeluruh dan mendasar untuk menemukan ciri-ciri
umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana pengetahuan itu
pada dasarnya diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang lingkup
dan batasan-batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya
pengetahuan dan memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim
kebenaran dan objektivitasnya. Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu
yang bersifat :
d) Evaluative, yaitu menilai
apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan secara nalar atau
tidak.
e) Normative, yaitu menentukan
tolok ukur kebenaran atau norma dalam bernalar.
f) Kritis, yaitu menguji penalaran
cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif) manusia untuk dapat ditarik
kesimpulan.
Adapun cara kerja metode
pendekatan epistemologi adalah dengan cara bagaimana objek kajian itu didekati
atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya berbagai macam pertanyaan yang
diajukan secara umum dan mendasar dan upaya menjawab pertanyaan yang diberikan
dengan mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Dengan tujuan
agar manusia bisa lebih bertanggung jawab terhadap jawaban dan pandangan atau
pendapatnya dan tidak menerima begitu saja pandangan dan pendapat secara umum
yang diberikan.
Berdasarkan cara kerja atau
metode yang digunakan, maka epistemologi dibagi menjadi beberapa macam.
Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum, epistemologi dibagi menjadi
3, yaitu:
1) Epistemologi metafisis
Epistemologi
metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang berasal dari paham tertentu
dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara mengetahui kenyataan itu.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah hanya menyibukkan diri dalam mendapatkan
uraian dari masalah yang dihadapi tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk
menguji kebenarannya.
2) Epistemologi skeptis
Epistemologi
skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih dahulu dari apa yang kita
ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum menerimanya sebagai
pengetahuan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mencari jalan keluar
atau keputusan.
3) Epistemologi kritis
Pada
Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun, hanya saja mencoba
menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi, prosedur dan pemikiran, baik
pemikiran secara akal maupun pemikiran secara ilmiah, dengan tujuan untuk
menemukan alasan yang rasional untuk memutuskan apakah permasalahan itu bisa
diterima atau ditolak.
Ilmu pada dasarnya merupakan
kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam
yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode tertentu. Dalam hal
ini, ilmu mempunyai struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu
menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi
dalam suatu lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur
nampak secara jelas. Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to
illustrate relationship among facts, concepts, and generalization, yang berarti
struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta
generalisasi. Dengan keterkaitan tersebut akan membentuk suatu bangun kerangka
ilmu tersebut. sementara itu, definisi struktur ilmu adalah seperangkat
pertanyaan kunci dan metode penelitian yang akan membantu untuk memperoleh
jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki
karakteristik yang khas yang akan mengantarkan kita untuk memahami ide-ide
pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian nampak dari
dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu,
yaitu:
c. A
body of Knowledge
(kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang
menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan lingkungan
(boundary) yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang
berhubungan, dari mulai yang konkrit (berupa fakta) sampai ke level yang
abstrak (berupa teori), semakin ke fakta maka semakin spesifik, sementara
semakin mengarah ke teori maka semakin abstrak karena lebih bersifat umum.
d. A
mode of inquiry,
yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode
penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu
tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan
“ilmu” disama artikan, bahkan terkadang dijadikan kalimat majemuk yang
mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua kata tersebut dipisahkan, akan
mempunyai arti sendiri dan akan tampak perbedaannya.
Ilmu adalah pengetahuan. Jika
dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di ambil dari bahasa inggris yaitu
knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science dan peralihan dari kata arab ilm
atau ‘alima (ia telah mengetahui) sehingga kata jadian ilmu berarti juga
pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditinjau dari
segi bahasa, antara pengetahuan dan ilmu mempunyai sinonim arti, namun jika
dilihat dari segi arti materialnya (kata pembentuknya) maka keduanya mempunyai
perbedaan.
Dalam encyclopedia Americana,
di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang besifat positif dan
sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles Of
Scientific Research dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91)
memberi batasan definisi ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha manusia untuk
memperoleh suatu pengetahuan baik dimasa lampau, sekarang, dan kemudian hari
secara lebih cermat serta suatu kemampuan manusia untuk menyesuaikan dirinya
dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-sifatnya sendiri, sedangkan
menurut Carles Siregar masih dlam dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91)
menyatakan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.
Ilmu dapat memungkinkan adanya
kemajuan dalam pengetahuan sebab beberapa sifat atau ciri khas yang dimiliki
oleh ilmu. Burhanudin Salam (2005:23-24)mengemukakan beberapa ciri umum dari
pada ilmu, diantaranya:
1) Bersifat akumulatif, artinya
ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu yang telah lalu dapat digunakan
untuk penyelidikan atau dasar teori bagi penemuan ilmu yang baru.
2) Kebenarannya bersifat tidak
mutlak, artinya masih ada kemungkinan terjadinya kekeliruan dan memungkinkan
adanya perbaikan. Namun perlu diketahui, seandainya terjadi kekeliruan atau
kesalahan, maka itu bukanlah kesalahan pada metodenya, melainkan dari segi
manusianya dalam menggunakan metode itu.
3) Bersifat obyektif, artinya
hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman secara pribadi, tidak
dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai dengan fakta keadaan asli
benda tersebut
4.
Pengertian Filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang
filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah
lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan
pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara
filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut
serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari
tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan
untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie
J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu
berubah.
Filsafat ilmu menurut Surajiyo (2010
: 45), merupakan cabang filsafat yang membahas tentang ilmu. Tujuan filsafat
ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana
ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan
tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok
perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu
mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik
dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan
perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu
bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu
kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau
mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento
Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu
yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek
sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang
filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984),
mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu
suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan
tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga
seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis,
agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan
dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil
dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi
yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang
mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu,
menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa
perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya,
keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu,
dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami
kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya,
struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian
rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan
intelektualnya.
Adapun tujuan mempelajari filsafat
ilmu menurut Amsal Bakhtiar (2008:20) adalah:
a)
Mendalami
unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber,
hakekat dan tujuan ilmu.
b)
Memahami
sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmudi berbagai bidang sehingga
kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporermsecara historis.
c)
Menjadi
pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah.
d)
Mempertegas
bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Bagi mahasiswa dan peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah
a)
seseorang
(peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan
cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
b)
seseorang
(peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat
dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu
ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan
manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik
dan sebagainya.
c)
Seseorang
(peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah
(penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh
bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab
dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam
dunia kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap
sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual
(HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah.
5.
Filsafat Pendidikan
Menurut Muhmidayeli. (2011: 35) Filsafat pendidikan adalah upaya menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat
dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem kependidikan yang akan
melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah
penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan. Menurut John Dewey dalam Jalaluddin dan Idi (2007: 19 – 21)
filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional),
menuju tabiat manusia.
Sedangkan Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany
dalam Muhmidayeli. (2011: 35), filsafat
pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah
filsafat dalam bidang pengalaman
kemanusiaan yaang disebut dengan pendidikan.
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat
formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan
karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan
masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a) Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan
berusaha untuk mencapainya;
b)
Hakikat manusia, karena
manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan;
c) Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu proses sosial;
d) Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan
berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya
al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas
yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
a) Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan
proses dan usaha-usaha pendidikan pada suatu bangsa;
b) Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar
beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya;
c) Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan
mengubah cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih baik;
d) Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada
masyarakat dan menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan
cara-cara mencapai kebenaran tersebut.
Filsuf
pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas, dan menyeluruh tentang
wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemansiaan, pengetahuan
kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsuf pendidikan harus pula mampu memahami
nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan,
dan kebenaran.
Gandhi
HW (2011: 84) setelah mengkaji makna filsafat pendidikan dari berbagai ahli Ia
menyatakan bahwa: “Filsafat pendidikan
tidak lain adalah penerapan upaya metodis filsafat untk mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam membangun hidup daan kehidupannya
untuk menjadi semakin baik dan berkualitas. Sedangkan upaya-upaya filsafat dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan
penyelenggaraan pendidikan pada kondisi-kondisi etika yang diidealkan. Dalam makna lain, filsafat pendidikan adalah flsifikasi
pendidikan, baik dlm makna teoritis konseptual maupun makna praktis-pragmatis yang menggejala.
SIMPULAN
Filsafat ilmu merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah
mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana ilmu
pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian
filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Tujuan mempelajari
filsafat ilmu pada dasarnya adalah untuk memahami persoalan ilmiah dengan
melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat
dan kritis.
Hubungan filsafat
dengan ilmu pengetahuan lain adalah bahwa Filsafat mempunyai objek yang lebih
luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan objeknya terbatas,
khusus lapangannya saja. Selain itu Filsafat hendak memberikan pengetahuan,
insight/pemahaman lebih dalam dengan menunjukan sebab-sebab yang terakhir,
sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan sebab-sebab tetapi yang tak begitu
mendalam.
Keberadaan manusia
di dunia sesuunguhnya sebagai mahluk yang diciptakan Allah SWT yang diberi
kemampuan untuk berpikir (akal), sedangkan tujuan akhir hidup manusia menurut
Islam adalah mendapatkan kebahagiaan hakiki. Sebagai mahluk yang berpikir
(memiliki akal) itulah yang menyebabkan manusia berfilsafat.
Filsafat dapat dimaknai sebagai ilmu
pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan
berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri
secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari
prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional-logis, mendalam dan
bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah
dalam kehidupan manusia. Sedangkan ilmu dapat dimaknai sebagai suatu metode
berpikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia
fuktual dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common
sense.
Sedangkan Filsafat pendidikan dapat
dimaknai sebagi upaya menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat
dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem kependidikan yang akan
melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah
penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan.
Antara
filsafat ilmu, dengan pendidkan dan dengan filsafat pendidikan memimiliki
hubungan yang saling melengkapi. Filsafat ilmu dapat membantu perkembangan
pendidikan dan filsafat pendidikan. Di lain pihak, perkembangan pendidikan dan
filsafat pendidikan dan membantu perkembangan Filsafat Ilmu.
1.
Manusia
dalam pandangan Antropologi terbentuk dari satu sel sederhana yang mengalami
perubahan secara bertahap dengan waktu yang sangat lama (evolusi).
2.
Konsep
manusia dalam Sosiologi adalah mahluk sosial, yakni mahluk yang tidak dapat
hidup tanpa bantu orang lain.
3.
Konsep
Manusia menurut ilmu pendidikan adalah individu yang memiliki kemampuan
dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat
berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari
luar (lingkungan).
4.
Manusia menurut pandangan filsafat ilmu, dapat dilihat dari teori
descendensi dan Metafisika
a)
Menurut teori descendensi: 1) manusia sejajar dengan hewan
berdasarkan sebab mekanis; 2) Keistimewaan ruhaniyah manusia dibandingkan
dengan hewan terlihat dalam kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang
berpikir, berpolitik, mempunyai kebebasan/kemerdekaan, memiliki sadar diri,
mempunyai norma, tukang bertanya atau tegasnya manusia adalah makhluk
berbudaya.
b)
Menurut Metafisika. Asal manusia dari suatu yang ada dan tak bergantung
dari yang lain. Hakikat manusia ialah dari ruh yang ditiupkan oleh Tuhan.
Artinya manusia tersusun dari zat yang ada dengan diberikannya ruh oleh Tuhan
sehingga menyebabkan manusia dapat hidup. Manusia mempunyai fisik yaitu
jasadnya. Selain jasad manusia juga mempunyai ruh atau yang tidak dapat
ditangkap oleh panca indera yakni berhubungan dengan jiwa mencakup ingatan,
gagasan, imajinasi, kemauan, perasaan dan penghayatan.
5. Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara
mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. (Surajiyo,2010:4)
6. Pengetahuan adalah informasi
atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang
7. Ilmu pada dasarnya merupakan
kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam
yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode tertentu.
8. Filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia (The Liang Gie,1999)
9. Filsafat pendidikan adalah
upaya menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi
berbagai ragam problem kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh tentang
pendidikan yang tentunya merupakan langkah penting dalam menemukan teori-teori
tentang pendidikan (Muhmidayeli., 2011)
DAFTAR
PUSTAKA
Amsal Bakhtiar. 2008. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Frondizi, Resieri. 2001. Pengantar Filsafat
Nilai (Terjemahan oleh: Cuk Ananto Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gandhi, Teguh Wangsa.
2011. Filsafat Pendidikan: Madzab-Madzab Filsafat Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin
& Idi, Abdullah.
2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Knight, George R. 2007.
Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama
Media.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat
Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Muslih, Muhammad. 2005.
Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar.
Salam, Burhanuddin .
2005. Pengantar Filsafat. Jakarta:
Bumi Aksara.
Suhartono,
Suparlan. 2007. Filsafat
Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Supriyanto, S. 2003. Filsafat
Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Surajiyo
. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan
(Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama Media.
http://pohanrangga.blogspot.com/2012/11/hakekat-manusia-dari-segi-sosiologi.html diunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 21.30
http://hanykpoespyta.wordpress.com/2008/04/19/manusia-antara-pandangan-antropologi-dan-agama-islam/ diunduh tanggal 03 Nopember 2013
pkl 21.00
http://uphilunyue.blogspot.com/2013/01/manusia-dalam-pandangan-filsafat-teori.html diunduh tanggal 03 Nopember 2013
pkl 22.00
No comments:
Post a Comment