BAB I PENDAHULUAN
Semantik merupakan salah satu cabang
linguistik yang berada pada tataran makna. Verhaar, dalam Pateda (2010:7)
mengatakan bahwa semantik adalah teori makna atau teori arti ( Inggris
semantics kata sifatnya semantic yang dalam Bahasa Indonesia dipadankan dengan
kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai ajektiva). Kata semantik
disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik ynag
mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya, (Chaer, 1995 :2).
Objek studi semantik adalah makna, atau
dengan lebih tepat makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran seperti kata,
frase, klausa, dan kalimat. Persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet,
walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitannya dengan segala
segi kehidupan manusia sangat erat.
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan pengertian
dari makna sendiri sangatlah beragam. Pateda mengemukakan bahwa istilah makna
merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu
menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (Pateda, 2001:82)
mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam
hal ini Ferdinand de Saussure (Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna
sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda
linguistik.
BAB II PEMBAHASAN
A. Kata dan Katagori Gramatikal
Kata merupakan unsur
utama dalam membentuk kalimat. Selain bentuk dasarnya, kata juga dapat dibentuk
melalui proses morfologis, yaitu afiksasi (pengimbuhan), reduplikasi
(perulangan), dan komposisi (penggambungan) untuk menyampaikan maksud yang
terkandung di dalam kalimat.
Kategori gramatikal adalah golongan
satuan bahasa yang dibedakan atas bentuk, fungsi, dan makna seperti kelas kata,
jenis, kasus, kata, dll. (Kridalaksana,1982).
Secara umum kategori gramatikal yang banyak
diikuti, membagi kata menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) kelompok yang
disebut kata penuh (full word) dan (2) kelompok yang disebut partikel atau kata
tugas (function word). Ke dalam kelompok pertama termasuk kata dan kelas
verbal, nominal, ajektival, dan adverbial; dan ke dalam kelompok kedua termasuk
kata-kata yang disebut preposisi, konjungsi, dan interjeksi. Tetapi perlu
dicatat bahwa dalam bahasa Indonesia ada sejumlah morfem dasar yang belum
berkategori baik gramatikal maupun semantikal, misalnya morfem acu, juang,
henti, kibar, kitar, dan remang (Chaer, 2009; Harimurti 1986).
Secara gramatikal morfem-morfem tersebut
tidak dapat muncul daam satuan-satuan sintaksis tanpa bergabung dulu dengan
morfem-morfem tertentu, baik afiks maupun morfem dasar Iainnya. Secara semantik
monfem-morfem itu pun dianggap tidak bermakna, sehingga dalam kamus
Poerwadarminta (1982) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) morfem-morfem
tersebut memang didaftar sebagai lema (entri) tetapi tidak diberi makna. Yang diberi
makna adalah bentuk derivasinya.
Kelas kata atau partikel
leksikal (bahasa Inggris: part of speech, lexical
category) adalah penggolongan kata menurut bentuk, fungsi, dan maknanya. Meskipun secara semantik ada
persamaan antara kelas dalam berbagai bahasa,
ciri-ciri formal kelas kata dapat berbeda antara bahasa. Misalnya, katagori nomina yang
secara semantik universal mewakili orang atau benda, dalam bahasa Indonesia
biasanya ditandai oleh ketidakbisaannya diberi kata tidak, sedangkan
dalam bahasa Inggris nomina mempunyai penanda
pluralis dan genitive.
Kelas kata dalam bahasa Indonesia dibagi dalam
beberapa katagori yaitu nomina, verba,
adverbia, adjektiva, pendamping, dan penghubung.
1.
Kategori Nomina
Kata-kata atau leksem-leksem
nomina (nominal) dalam bahasa Indonesia
secara semantik mengandung ciri makna [+Benda ( B)]; dan oleh karena itu
leksem-leksem nominal secara struktural akan selalu dapat didahului oleh
preposisi di atau pada. Berdasarkan analisis semantik lebih lanjut
leksem-leksem nominal ini dapat dikelompokkkan atas tipe-tipe:
a) Tipe I
Tipe I berciri makna
utama [+Benda, + Orang (O)]. Tipe satu ini terbagi atas enam subtipe I yang
masing-masing berbeda pada ciri makna ketiga. Keenam suptipe I ini adalah:
1. Subtipe Ia
Berciri
makna [+Benda, +Orang, + Nama Diri (ND)]. Contohnya, Anita, Sari, Vinda, dan
Marsya. Selain berciri makna +B, +O, dan +ND, leksem nomina dari subtipe ini
juga mengandung komponen makna [+bernyawa (NY), +konkret (K), dan tidak
terhitung (-H)]. Jadi, secara keseluruhan leksem nominal dari subtipe Ia ini
mengandung ciri makna [+B, +O, +ND, +NY, +K, -H].
2. Subtipe Ib
Berciri
makna [+B, +O, + nama perkerabatan (NK)]. Contohnya ibu, bapak, kakak, dan adik.
Selain itu, leksem nomina dari subtipe Ib ini juga mengandung ciri makna [+NY,
+K, dan +H}. Jadi, secara keseluruhan leksem nominal dari subtipe Ib ini
mengandung ciri makna [+B, +O, +NK, +Ny, +K, +H].
3. Subtipe Ic
Berciri
makna [+B, +O, +Nama Pengganti(NP). Contoh dia, saya, kamu, dan mereka. Selain
itu, leksem nominal dari subtipe Ic ini mengandung pula makna [+Ny, +K, dan
–H]. Jadi, secara keseluruhan mengandung makna antara dia misalnya dengan
mereka. Dia memiliki makna [+Tunggal (T)], sedangkan mereka memiliki makna [-Tunggal
]. Perbedaan ciri makna antara dia dan mereka dapat dilihat sebagai berikut:
Dia mereka
+B +B
+O +O
+NP +NP
+Ny +Ny
+K +K
-H -H
-H -H
+T -T
4. Subtipe Id
Berciri
makna [+B, +O, +Nama Jabatan(NJ)]. Contohnya, guru, lurah, camat, dangubernur.
Selain itu, leksem nominal dari subtipe Id ini mengandung pula makna [+Ny, +K,
dan +H]. Jadi, leksem nominal ini secara keseluruhan mengandunng makna [+B, +O,
+Ny, +K, dan +H].
5. Subtipe Ie
Berciri
makna [+B, +O, dan Nama Gelar (NG)]. Contohnya: insinyur, doktor,raden,
dan sarjana hukum (SH), selain itu, leksem-leksem nominal
dari subtipe Ie ini jaga memiliki ciri makna[+Ny, +K, dan +H]. Jadi, leksem
nominal ini secara keseluruhan mengandung makna [+B, +O, +NG, +Ny, +K, dan +H]
6. Subtipe If
Berciri
makna [+B, +O, dan + Nama Pangkat (Npa)].
Contoh:
sersan, obsir, letnan, dan kolonel. Selain itu leksem-leksem
nominal dari suptipe If ini memiliki pula ciri makna [+Ny, +K, dan +H]. Jadi
leksem nominal ini secara keseluruhan mengandung makna [+B, +O, +NPa, +Ny, +K,
dan +H].
Ciri
makna [+H] yang ada pada leksem subtipe Ib, Ie, dan If; dan tidak ada pada
leksem subtipe Id dan Ic menyebabkan leksem yang memiliki ciri itu
dapat diberi keterangan numeral seorang, sedangkan yang tidak memiliki ciri itu
tidak dapat diberi keterangan numeral seorang.
Bandingkan:
a. Seorang
Fatimah -
seorang adik
b. Seorang
Hasan -
seorang camat
c. Seorang
kamu -
seorang doktor
d. Seorang
dia -
seorang letnan
b) Tipe II
Berciri
makna utama [+B dan institusi (I)]. Contoh : pemerintah, DPR, SMA,
dan Pelni.Selain itu leksem-leksem nominal tipe II ini juga
memiliki ciri makna [+Orang metaforis (Om), +K, +H]. Jadi secara keseluruhan
leksem-leksem nominal ini berciri makna [+B, +I, +Om, +K, dan +H].
Ciri
makna [+Om menyebabkan leksem nominal tipe II ini dapat menduduki fungsi
gramatikal seperti leksem tipe I.
c) Tipe III
Berciri
makna utama [+B, +Binatag (Bi)]. Contoh: tongkol, kucing, gelatik,
harimau, dan onta. Selain itu leksem-leksem nominal tipe III
ini memiliki pula ciri makna [+Ny, +K, dan +H]. Dengan demikian secara
keseluruhan leksem-leksem nominal tipe III ini berciri makna [+B, +Bi, +Ny, +K,
dan +H].
d) Tipe IV
Berciri
utama [+B dan +Tumbuhan (T)]. Leksem nominal tipe IV ini terdiri atas 3
subtipe, yaitu:
1. Subtipe
IVa
Berciri makna utama [+B, +T], misalnya rumput,
perdu, ilalang, dan keladi. Selain itu leksem-leksem
nominal IVa memiliki pula ciri makna [+B, +Pohon (Po)]. Contoh: durian,
nangka, ketapang, mahoni,dan kelapa. Selain itu, leksem-leksem
nominal
2. subtipe
IVb
Memiliki makna [+Hi, +H, dan K]. Jadi,
secara keseluruhan leksem nominal subtipe IVb ini memiliki ciri makna [+B, +Po,
+Hi, +H, dan K].
3. Subtipe
IVc
Berciri makna utama [+B, +Tanaman (Ta)].
Misalnya padi, bayam, ketela, ubi, dankubis. Selain itu
leksem-leksem nominal subtipe IVc ini memiliki ciri makna [+Hi, +H, dan +K].
Jadi secara keseluruhan leksem-leksem ini mengandung makna [+B, +Ta, +Hi, +H,
dan +K]. Perbedaan makna dalm ciri [+T], [Po], dan [+Ta] adalah bahwa [+T]
mengandung segala sesuatu yang tumbuh; sedangkan [+Po] habnya yang berbatang
keras, dan [+Ta] adalah sebagai usaha suatu yang ditanam.
e) Tipe
V
Berciri
makna utama [+B, Buah-buahan (Bb)]. Misalnya mangga, rambutan, pisang dan
nanas. Selain itu tipe ini juga memiliki makna [+H, +K, dan –Hi]. Jadi secara
keseluruhan tipe ini memiliki makna [+B, +Bb, +H, +K, dan –Hi]
f) Tipe VI
Berciri
makna utama [+B, +Bunga-bungaan (Bbu)]. Misalnya mawar, melati, kamboja,
kembang sepatu, dan kenanga. Selain itu leksem ini juga berciri makna [+H, +K,
dan -Hi]. Jadi secara keseluruhan tipe ini memiliki ciri makna [+B, +Bbu, +H,
+K, dan –Hi].
g) Tipe VII
Berciri
makna utama [+B, +Peralatan (Al). Tipe ini terbagi atas sembilan subtipe,
yaitu:
1. Suptipe VII a, berciri
makna utama [+B, +Al, dan +Masak (Ms).
Contohnya panci,kompor dan kuali.
Selain itu subtipe ini juga memiliki makna [+K, +H, dan –Hi]. Dengan demikian
secara keseluruhan ciri makna subtipe ini adalah [+B, +Al, +Ma, +K, +H, dan
–Hi].
2.
Subtipe VII b, berciri makna utama [+B,
+Al, dan +Makan ( Mk).
Contohnya piring,garpu,
sendok dan gelas. Selain itu subtipe in juga memiliki ciri
makna [+K, +H, dan +Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini memiliki ciri makna
[+B, +Al, +Mk, +K, +H, dan +Hi].
3.
Subtipe VII c, berciri makna utama [+B,
+Al, dan +Pertukangan (Tk)].
Contohnya palu,
gergaji dan pahat. Selain itu sub tipe ini juga berciri
makna utama [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini memili ciri makna
[+B, +Al, +Mk, +K, +H, dan –Hi].
4.
Subtipe VII d, mengandung ciri makna
utama [+B, +Al, dan +Perbengkelan (Bkl)]. Contohnya kunci, bubut dan tang.
Selain itu subtipe ini juga bermakna utama [+K, +H, dan –Hi]. Secara
keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Bkl, +K, +H, dan –Hi].
5.
Subtipe VII e, berciri makna utama
[+B, +Al, +Pertanian (Tn)]. Contohnya cangkul,sabit, dan garu. Selain
itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan
subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Tn, +K, +H, dan –Hi].
6.
Subtipe VII f, berciri makna utama [+B,
+Al, dan + Perikanan (Ik)].
Selain itu subtipe ini
juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini
berciri makna [+B, +Al, +Ik, +K, +H dan –Hi].
7.
Subtipe VII g, berciri makna utama [+B,
+Al, dan +Rumah tangga (Rt) ]. Contohnyalemari, meja dan kursi.
Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, -Hi]. Secara keseluruhan
subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Rt, +K, +H, dan –Hi].
8.
Subtipe VII h, berciri makna utama [+B,
+Al, dan +Tulis menulis (Tm)]. Contohnya buku, pensil, penggaris,
dan pena. Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan
–Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Rt, +K, +H, dan
–Hi].
9.
Subtipe VII i, berciri makna utama [+B,
+Al, dan +Olahraga (Or)]. Contohnya raket,bola, net dan stik.
Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secra keseluruhan
subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Or, +K, +H, dan –Hi].
h) Tipe VIII
Tipe
ini mengandung ciri makna utama [+B, +Makanan-minuman (Mm)].
Contohnyanasi, teh manis, susu, bakso, dan roti. Selain
iti tipe ini juga berciri makna [+K, -H, dan –Hi]. Secara keseluruhan tipe ini
berciri makna [+B, +Mm, +K, -H, dan –Hi].
i) Tipe IX
Tipe
ini mengandung ciri makna utama [+B, +Geogrefi (Ge)]. Contohnya sungai,gunung dan laut.
Selain itu tipe ini juga berciri makna [+K, +H, -Hi]. Secara keseluruhan tipe
ini berciri makna [+B, +Ge, +K, +H, dan –Hi].
j) Tipe X
Tipe
ini berciri makna utama [+B, +Bahan baku (Bb). Contoh pasir, semen,
batu dankayu. Selain itu tipe ini juga berciri makna
[+K, dan –H]. Secara keseluruhan tipe ini berciri makna [+B, +Bb, +K, dan –Hi].
2.
Kategori Verba
Leksem-leksem verba dalam
bahasa Indonesia secara semantik ditandai dengan mengajukan tiga macam
pertanyaan terhadap subjek tempat “verba” menjadi predikat klausanya. Ketiga
pertanyaan itu adalah (1) apa yang dilakukan subjek dalam klausa tersebut, (2)
apa yang terjadi terhadap subjek dalam klausa tersebut, dan (3) bagaimana
keadaan subjek dalam klausa tersebut.
Berdasarkan analisis
semantik, sejalan dengan Tampubolon (1979, 1988 a, 1988 b dalam Chaer),
kategori verbal dapat dibedakan menjadi dua belas tipe. Keduabelas tipe itu
adalah sebagai berikut:
a) Tipe I
Tipe
ini adalah verba yang secara semantik menyatakan tindakan, perbuatan, atau
aksi. Pelaku verba ini adalah sebuah maujud berupa sebuah nomina yang berciri
makna [+bernyawa]; dan tindakan sebagai penggerak tindakan yang disebutkan oleh
verba tersebut.
Secara
semantik, verba tipe I ini sebenarnya dapat dibedakan lagi menjadi verba
tindakan yang (1) pelakunya adalah manusia, (2) pelakunya adalah manusia dan
bukan manusia, dan (3) pelakunya bukan manusia. Contohnya adalah leksem baca dan tulis adalah
tindakan yang termasuk kelompok manusia; makan dan minum adalah
verba tindakan yang termasuk kelompok pelakunya manusia dan bukan manusia;
sedangkan pagut dan patukadalah verba tindakan
yang pelakunya bukan manusia.
b)
Tipe II
Adalah
verba yang menyatakan tindakan dan pengalaman. Pada verba ini pelakuya adalah
sebuah maujud berupa nomina berciri makna [+bernyawa] dan bertindak sebagai
penggerak tindakan yang disebut oleh verba tersebut sekaligus dapat pula
sebagai maujud yang mengalami (secara kognitif, emosional, atau sensasional)
tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut. Contoh:
-
Dia menaksir harga mobil
bekas itu
-
Beliau menjawab pertanyaan
para wartawan.
Dia pada kalimat
pertama adalah maujud yang melakukan tindakan itu dan sekaligus mengalaminya.
Begitu juga denga pada kalimat kedua.
Yang
melakukan tindakan dan yang mengalaminya tidak harus selalu berupa maujud yang
sama. Namun bisa juga atau lazimnya adalah berupa dua maujud yang berbeda.
Contoh:
-
Pak lurah tanya persoalan itu kepada
kami.
Dalam
kalimat tersebut pak lurah adalah pelaku utama; sedangkan yang
mengalami adalah kami.
c)
Tipe III
Tipe
ini adalah verba yang menyatakan tidakan dan pemilikan (benafaktif). Pelaku
verba ini adalah maujud berup nomina berciri makna [+bernyawa] dan bertindak
sebagai penggerak tindakan yag disebutkan oleh verba tersebut; sedangkan
pemilik (bisa juga ketidakpemilikian) juga berupa nomina berciri makna
[+bernyawa].
Contoh:
-
Dika beli mobil dari Pak Fuad.
-
Pemerintah bantu para petani.
Dari
kedua kalimat tersebut Dika dan Pemerintah adalah
pelaku; sedangkan Pak Fuad dan para petani adalah
pemiliknya. Kadang pemilik tidak direalisasikan dalam suatu kalimat. Contoh:
-
Dika beli mobil baru.
d)
Tipe IV
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan tindakan dan lokasi (tempat). Pelaku
tindakan berupa nomina berciri makna [+bernyawa] yang dapat mengalami tindakan
itu sendiri maupun tidak. Lokasinya berupa frase preposisional.
Contoh:
-
Nita pergi ke pasar.
-
Beliau baru tiba dari dari
Yogyakarta.
e)
Tipe V
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan proses. Subjek dalam kalimat ini berupa
nomina umum yang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi. Contoh:
-
Daun tembakau itu layu.
-
Kaca jendela itu pecah.
Ada
tiga persoalan mengenai verba tipe V ini (dan juga verba proses lainnya, tipe
VI, tipe VIII). Ketiga persoalan itu adalah:
(1) Proses perubahan yang
terjadi pada suatu maujud dapat berlangsung dalam waktu singkat dapat juga
dalam waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, ada verba proses yang dapat diberi
keterangan “sedang” seperti “sedang pecah”.
(2) Sebenarnya suatu
proses atau perubahan bukan hanya terjadi pada verba proses saa tetapi juga
pada verba tindakan, sebab sesungguhnya suatu tindakan akan menyababkan
terjadinya proses.
(3) Sering kita sukar
untuk membedakan verba proses dengan verba keadaan (verba tipe IX, X, XI, dan
XII). Misalnya pada verba layu. Diuji daengan pertanyaan “apa
yang terjadi pada subjek?” maka jawabannya subjek itu layu. Jadi, jelas layudi
situ adalah proses. Tetapi kalau diuji denga pertanyaan “bagaimana keadaan
subjek?” maka jawabannya adalah subjek itu layu dan menjadi verba keadaan.
f)
Tipe VI
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan proses-pengalaman.
Contoh:
-
Rupanya kau sudah bosan padaku.
-
Ibu cemas akan keselamata anank-anak itu.
Pada
kedua kalimat itu bosan dan cemas adalah
proses pengalaman sedangkan kaudan ibu adalah
maujud yang mengalami prose situ.
g)
Tipe VII
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan proses benefaktif subjek dalam kalimat yang
menggunaan verba tipe VII ini berupa nomina yang mengalami suatu proses atau
kejadian memperoleh atau kehilangan (kerugian).
Contoh:
-
PSSI menang 2-0 atas Singapura.
-
Dia kalah 2 juta rupiah.
Menang dan kalah adalah
verba proses benefaktif; sedangkan PSSI dan dia adalah
maujud yang mengalami peristiwa yang dinyatakan oleh verba tersebut.
h)
Tipe VIII
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan proses-lokatif. Subjek dalam tipe ini
berupa nomina yang mengalami suatu proses perubahan tempat (lokasi).
Contoh:
-
Pesawat itu baru tiba dari
Surabaya
-
Matahari terbit di ufuk timur
Leksem tiba dan terbit pada
kalimat adalah verba proses-lokatif; sedangkan leksempesawat dan matahari adalah
maujud yang mengalami proses perubahan lokasi itu.
i)
Tipe IX
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan keadaan. Subjek kalimat dalam tipe ini
berupa nomina umum yang berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh
verba tersebut.
Contoh:
- Wajah
mereka selalu cerah.
- Sawah-sawah
di situ mulai kering.
Cerah dan kering pada
kalimat di atas adalah verba keadaan; sedangkan leksemwajah mereka dan sawah-sawah adalah
maujud yang berada dalam keadaan itu.
j)
Tipe X
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan keadaan pengalaman. Subjek dalam kalimat yang
menggunakan tipe ini adalah sebuah nomina yang berada dalam keadaan kognisi,
emosi, atau sensasi.
Contoh:
-
Dia memang takut kepada orang
itu.
-
Kami tahu hidup di kota memang
sukar.
Takut dan tahu pada
kalimat di atas adalah verba keadaan pengalaman. Pada kallimat pertama, subjek Dia yang
mengalami keadaan yang disebutkan oleh predikat takut, pada kalimat
kedua kami adalah subjek yangmengalami keadaan tahu itu.
k)
Tipe XI
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan keadaan benafaktif subjek dalam kalimat
yang menggunakan tipe XI ini adalah sebuah nomina yang menyatakan memiliki,
memperoleh, atau kehilangan sesuatu.
Contoh:
-
Ia sudah punya istri.
-
Dia ada uang lima juta.
Punya dan ada pada
kalimat di atas adalah verba keadaan benefaktif. Sedangkan iadan dia adalah
subjek yang berada dalam keadaan memiliki. Menurut Tampubolon (1979) verba
dasar yang menyatakan keadaan keadaan benefaktif hanya kedua kata itu saja.
Tetapi yang bukan verba dasar cukup banyak seperti berhasil,
kehilangan, beruntung, berwarna, memiliki, dan bertubuh.
l)
Tipe XII
Tipe
ini merupakan verba yang menyatakan keadaan-lokatif. Subjek pada kalimat yang
mengunakan verba ini adalah nomina yang berada dalam satu tempat atau lokasi.
Contoh:
-
Petani itu diam di gubuk itu.
-
Pak Menteri hadir di sana.
Diam dan hadir adalah
verba yang menyatakan keadaan lokatif. Sedangkan petani itu dan Pak
Menteri adalah subjek yang berada di tempat yang disebutkan pada
unsure keterangan.
-
Verba dasar Tipe XII ini memang jarang,
tetapi verba yang bukan dasar cukup banyak seperti mengalir, berganti,
berserakan, bermimpi, dan menanjak.
3.
Kategori Adjektival
Leksem-leksem
adjektival dalam bahasa Indonesia secara semantik adalah leksem yang
menerangkan keadaan suatu nomina atau menyifati nomina itu. Secara
semantik akjetival dapat dibagi menjadi delapan tipe.
1. Tipe I adalah leksem ajektif
yang menyatakan sikap, tabiat, atau perilaku batin manusia yang termasuk di
dalamnya yang dipersonifikasikannya.
Misalnya:
marah, galak, baik, sopan, berani, takut dan jahat.
2. Tipe II adalah leksem ajektif
yang menyatakan keadaan bentuk.
Misalnya:
bundar, bulat, lengkung, bengkok, lurus, dan miring
3. Tipe III adalah leksem
ajektif yang menyatakan ukuran.
Misalnya:
panjang, pendek, tinggi, gemuk, kurus, lebar, luas, ringan,dan berat.
4. Tipe IV adalah leksem yang
menyatakan waktu dan usia.
Misalnya:
lama, baru, muda, tua.
5. Tipe V adalah leksem ajektif
yang menyatakan warna.
Misalnya:
merah, kuning, biru, hijau, ungun, cokelat dan lembayung.
6. Tipe VI adalah leksem ajektif
yang menyatakan jarak
Misalnya:
jauh, dekat, sedang.
7. Tipe VII adalah leksem
ajektif yang menyatakan kuasa tenaga.
Misalnya:
kuat, lemah, segar, lesu dan tegar.
8. Tipe VIII adalah leksem
ajektif yang menyatakan kesan atau penilaian indra.
Misalnya:
sedap, lezat, manis, pahit, cantik, tampan, cemerlang, harum, bau, wangi,
kasar, halus dan licin.
Perbedaan yang hakiki antara verba-keadaan
dengan ajektifal adalah terletak pada fungsinya dalam suatu kontruksi. Pada
kontruksi predikat leksem-leksem tersebut cenderung berciri verba sedangkan
pada kontruksi atributif berciri ajektiva. Misalnya kontruksi meja batu danmeja
itu baru. Pada kontruksi meja baru, leksem baru adalah
ajektiva sedangkan padameja itu baru adalah verba, sebab meja
baru adalah kontruksi atributif sedangkan meja itu baru adalah
kontruksi predikatif.
4. Kategori Pendamping
Kategori
pendamping adalah leksem-leksem tetentu yang mendampingi nomina,
verba, ajektif, dan juga klausa untuk memberikan keterangan tertentu yang bukan
menyatakan keadaan atau sifat.
a)
Pendamping Nomina
Leksem-leksem
pendamping nomina, antara lain, menyatakan:
1) Pengingkaran
Leksem ini hanya satu
yaitu kata bukan yang ditempatkan di muka nomina tersebut.
Misalnyabukan buku, bukan ayam, bukan guru, dan bukan agama.
2) Kuantitas atau jumlah
Jumlah leksem untuk
menyatakan kuantitas banyak antara lain:
-
Beberapa
-
Semua
-
Seluruh
-
Sejumlah
-
Banyak
Semua
pendamping yang menyatakan kuantitas di atas ditempatkan di muka nominanya dan
yang lain adalah sebagian, separuh, dan sementara.
3) Pembatasan
Leksemnya
adalah hanya dan saja. leksem hanya
ditempatkan di muka nomina, sedangkan leksem saja di belakang nomina. Misalnya hanya
air putih, hanya dia, hanya sopir, kopi saja, siapa saja, dan mereka
saja.
4) Tempat berada.
Leksem
yang digunakan adalah di dan pada. Misalnya di
kelas, di pasar, di Bogor, pada dinding, pada ayah, dan pada
tahun. Pendamping di dan pada seringkali
secara bebas dapat dipertukarkan seperti di tahun atau pada
tahun, di ayah atau pada ayah, tetapi di
Bogor tidak dapat menjadi pada Bogor. Perbedaanya
adalah menyatakan lokasi yang sebenarnya, sedangkan pada untuk
lokasi yang tidak sebenarnya. Bogor adalah lokasi yang sebenarnya. Jadi, dapat
dengan pembanding di tetapi tidak dapat dengan pendamping pada.
Sebaliknya agama tidak dapat di agama tetapi dapat pada
agama.
5) Tempat Asal
Leksem
yang digunakan adalah dari. Misalnya dari Jepang, dari
rumah, dan dari pasar.Selain menyatakan asal tempat,
pendamping dari dapat juga menyatakan asal bahan sepertidari
gula, dari semen, dan dari tanah liat; juga dapat menyatakan asal
waktu seperti dari pagi, dari kemarin, dan dari hari
senin.
6) Tempat tujuan atau arah sasaran.
Leksem
yang digunakan adalah ke dan kepada. Misalnya ke
pasar, ke Bogor, ke sekolah; kepada ayah, kepada polisi, kepada agama.
Pendamping
ke lazim untuk menyatakan tempat yang sebenarnya sedangkan kepada untuk
menyatakan tempat yang tidak sebenarnya.
7) Hal atau perkara
Leksem
yang digunakan adalah tentang, mengenai, perihal, dan masalah. Pendamping
ini lazim digunakan di depan nomina yag berada dalam suatu klausa intransitif.
Misalnya:
-
Berdiskusi mengenai nilai-nilai sastra.
-
Berbicara tentang kenakalan remaja.
-
Berdebat mengenai pancasila.
8) Alat
Leksem
yang digunakan adalah kata dengan, misalnya (menulis) dengan
pensil, (memotong) dengan pisau, dan (mengikat) dengan tali. Tapi perlu
dicatat, pendamping dengan selain menyatakan “alat” dapat juga
digunakan untuk menyatakan kebersamaan seperti (pergi) dengan kakak, (berjalan) dengan adik dan (bermain) dengan teman-temannya.
9) Pelaku
Leksem
yang digunakan adalah kata oleh yang ditempatkan di muka
nomina. Misalnya olehanak buahnya, dan oleh ayahnya.
10) Batas tempat dan batas waktu
Leksem
yang digunakan adalah kata, sampai dan hingga yang
ditempatkan di muka nomina atau nomina waktu. Misalnya, sampai Jakarta,
sampai pasar, sampai pagi, sampai pukul dua,; hingga sore, hingga larut malam, dan hingga
tengah hari.
b) Pendamping Verba
Leksem-leksem pendamping
verba, antara lain, menyatakan:
1) Pengingkaran. Leksem yang
digunakan adalah kata tidak dan bukan yang ditempatkan di muka verba
itu. Misalnya tidak mandi, tidak datang, tidak pulang,
tidak menangis, dan tidak berhasil.
Leksem bukan hanya
digunakan di muka verba dalam suatu klausa yang dikontraskan dengan klausa
lainnya. Misalnya :
-
Dia bukan menangis karena
sedih melainkan karena gembira.
-
Kami bukan membantah
perintah Bapak, hanya meminta waktu untuk mengerjakannya.
2) Berbagai aspek. Antara lain aspek
selesai (perpektif) dengan leksem sudah, telah,dan pernah, aspek
belum selesai (imperfek) dengan leksem masih dan lagi;aspek
baru mulai (inkoatif) dengan leksem mulai. Contoh pemakaian.
-
Mereka sudah makan.
-
Ibu pernah makan daging rusa.
-
Dia masih duduk di SD.
3) Berbagai modalitas. Antara lain
leksem belum,sedang, akan, boleh, dapat, harus, wajib, mesti, dan jangan.
-
Susi sedang makan
-
Dia akan datang
-
Kita mesti mendengar kata guru
4) Kuantitas. Leksem yang diguakan,
antara lain; sering, seringkali, acapkali, jarang, banyak, kurang
selalu, dan sebagainya. Contoh pemakaian:
-
Kami sering duduk di depan kelas.
-
Dia seringkali lewat dari jalan
ini.
5) Kualitas. Leksem yang digunakan
antara lain: sangat, agak, cukup, paling, dansekali. Leksem-leksem
ini lazimnya mendampingi verba keadaan. Contoh pemakaian:
-
Lili sangat cantik.
-
Kami paling suka menulis puisi ketika senja
menjelma.
6) Pembatasan. Leksem yang
digunakan adalah kata saja dan hanya Leksem saja diletakkan di belakang verba, sedangkan hanya di
muka verba. Misalnyamenangis saja, tidur saja.
c) Pendamping Ajektiva
Leksem-leksem pendamping
ajektiva, antara lain menyatakan:
1) Pengingkaran. Leksem
yang digunakan adalah kata tidak dan bukan. Misalnya tidak baik, tidak lurus,
tidak gemuk, tidak bandel, dan tidak merah.
Leksem bukan dapat
digunakan dimuka nama warna seperti bukan merah, bukan hijau, dan bukan
kuning; dan di muka ajektiva yang mirip dengan verba keadaan seperti bukan
bandel, bukan kosong, bukan nakal, danbukan buruk.
2) Kualitas. Leksem yang
digunakan adalah kata-kata sangat, agak, cukup, paling, sekali, maha, dan serba. Misalnya sangat
baik, agak datar, cukup licin, paling miskin, pandai sekali, maha mulia, dan serba
modern.
d) Pendamping Klausa
Leksem-leksem pendamping
klausa mempunyai posisi yang agak bebas. leksem-leksem itu dapat ditempatkan
pada awal klausa di tengah klausa, atau pada akhir klausa. Distribusinya ini
tentu saja memberi nuansa makna yang berbeda.
Leksem-leksem pendamping klausa ini, antara
lain, memberi makna:
1) Kepastian. Leksem
yang digunakan adalah pasti, tentu, dan memang misalnya:
- Pasti dia
hadir
- Dia
hadir pasti
- Memang, dia
belum makan dari pagi
- Dia memang belum
makan dari pagi
2) Keraguan. Leksem yang
digunakan adalah kata barangkali, mungkin, dan boleh
jadi.Misalnya:
- Barangkali dia
lupa.
- Kami mungkin tidak
hadir di pesta pernikahanmu.
3) Harapan. Leksem yang
digunakan adalah kata-kata moga-moga, semoga, mudah-mudahan, hendaknya,
sebaiknya, dan seharusnya. Misalnya:
- Kamu hendaknya menemani
ayah ke ladang.
- Kamu seharusnya tidak
berkata begitu
5. Kategori Penghubung
Kategori
penghubung adalah leksem-leksem tertentu yang bertugas menghubungkan, baik kata
dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan
kalimat secara koordinatif maupun secara subordinatif.
a) Penghubung
koordinatif
Leksem-leksem
penghubung koordinatif, antara lain menyatakan makna:
1)
Penghubungan
Leksem
yang digunakan adalah untuk menyatakan penggabungan antara dua buah kata, dua
buah frase, atau dua buah klausa; serta untuk menyatakan penggabungan bisa sama
seperti dan, dengan untuk menyatakan gabungan biasa antara dua
buah kata. Perhatikan contoh berikut:
· Loli dan Rina sedang
belajar
· Kakek serta Nenek
pergi ke Lampung.
· Kami menangkap ayam itu serta memasukkannya
ke dalam kandang.
Penghubung dan dan
serta dapat dipakai untuk menghubungkan dua buah adjektiva yang maknanya sejalan
seperti
· Gadis itu
ramah dan rajin
· Guru kami tinggi dan besar
Tetapi
tidak dapat dipakai untuk menghubungkan dua adjektiva yang maknanya berlawanan,
kecuali pada posisi subjek. Perhatikan!
· Pemuda itu rajin dan malas
· Rajin dan malas bagi
kami tidak ada bedanya
2)
Pemilihan
Leksem
yang digunakan adalah kata atau. Leksem ini dapat
menghubungkan kata dengan kata dan juga klausa dengan klausa. Misalnya:
· Dia atau Ahmad
yang kau cari?
· Saya akan
datang sendiri mengatarkan buku ini atau kau yang akan datang
mengambilnya ke rumahku?
3)
Mempertentangkan dan mengontraskan
Leksem
yang digunakan adalah tetapi yang dapat digunakan antara kata
dan kata atau klausa dan klausa, sedangkan yang digunakan antara klausa dengan
klausa; namun yang digunakan antara kalimat dan kalimat; dan sebaliknya yang
digunakan antara kalimat dan kalimat. Contoh pemakaian.
Anak itu cerdas tetapi malas
· Anak itu memang cerdas tetapi malas.
· Dua orang pencuri masuk
ke rumah itu, sedangkan seorang temannya menunggu di luar.
4)
Mengoreksi atau membetulkan
Leksem
yang digunakan adalah melainkan dan hanya yang
digunakan di anatara dua klausa. Misalnya:
· Bukan dia yang
datang, melainkan temannya.
· Kami tidak meminta
ganti rugi yang banyak, hanya meminta yang wajar-wajar saja.
5)
Menegaskan
Leksem
yang digunakan adalah bahkan, itupun, malah, lagipula, apalagi,
padahal, dan jangankan. Perhatikan contoh berikut ini.
· Ditambah garam
sayur ini bukan menjadi sedap. Malah menjadi tidak enak.
· Masakan di restauran
ini enak dan harganya murah. Lagipulapelayanannya baik.
· Jangankan seribu
rupiah, seratus pun saya tak punya.
6)
Pembatasan
Leksem
yang digunakan adalah kecuali dan hanya. Kedua
leksem ini dipakai di antara dua klausa. Contoh:
· Semua pertanyaannya
dapat kujawab, kecuali pertanyaan mengenai jumlah penduduk miskin
itu.
· Soal-soal itu dapat
kuselesaikan dengan baik, hanya soal nomor lima yang aku ragukan
jawabannya.
7)
Mengurutkan
Leksem
yang digunakan adalah lalu, kemudian, selanjutnya, dan setelah itu.
Perhatikan contoh berikut:
· Dia mengambil
sebuah buku, lalu duduk membacanya.
· Beliau menyilakan
kami masuk, kemudian menyuruh kami duduk.
Dalam
suatu paragraf yang klausa-klausa atau kalimat-kalimat merupakan kejadian yang
kronologis, semua leksem penghubung itu dapat digunakan, misalnya:
· Mula-mula diambilnya
kertas dan pena, lalu ditulisnya sebuah surat,kemudian dipanggilnya
anaknya, selanjutnya disuruhnya anaknya itu mengantarkan surat itu.
8)
Menyamakan
Leksem-leksem
yang digunakan adalah yaitu dan yakni untuk
menyamakan dan menjelaskan; dan leksem adalah dan ialah untuk
menyamakan-menjelaskan dua konsituen yang sama maknanya. Perhatikan contoh
berikut:
· Presiden pertama
Republik Indonesia, yaitu Soekarno, dimakamkan di Blitar.
· Soekarno adalah Presiden
pertama Republik Indonesia.
9)
Kesimpulan dari yang sudah dibicarakan
sebelumnya
Leksem
yang digunakan adalah jadi, karena itu, oleh sebab itu, dan dengan
demikian. Perhatikan contoh berikut!
· Mereka adalah orang-orang
yang sering berlaku curang. Oleh karena itu kita harus berhati-hati
menghadapinya.
· Sejak kecil
anak-anak itu harus kita biasakan bangun pagi-pagi, mandi, dan berangkat ke
sekolah pada waktunya. Dengan demikian, kelak mereka akan menjadi manusia
yang berdisiplin.
b) Penghubung Subordinatif
Penghubung
subordinatif menghubungkan dua konstituen yang kedudukannya tidak setingkat.
Konstituen yang satu merupakan konstituen bebas, sedangkan konsituen yang lain,
yang di mukanya diberi leksem penghubung subordinatif ini merupakan konsituen
bawahan yang terikat pada konsituen pertama. Posisi kedua konsituen itu dapat
dipertukarkan sehingga penghubung subordinatif itu dapat berada pada awal
kalimat maupun ditengah kalimat.
Leksem-leksem
subordinatif ini antara lain, menyatakan makna:
1) Penyebab
Leksem
yang digunakan adalah sebab, karena, lantaran dan berhubung,
misalnya:
· Mereka terlambat karena jalan
macat.
· Anak itu sakit
perut lantaran terlalu banyak makan mangga muda.
2) Akibat
Leksem
yang digunakan adalah hingga, atau sehingga, sampai dan sampai-sampai.Misalnya:
· Dia terlalu
banyak makan mangga muda hingga perunya sakit.
· Tukang copet
itu dipukuli orang banyak sampai mukanya babak belur.
3) Syarat
atau kondisi yang harus dipenuhi
Leksem
yang digunakan adalah jika, jikalau, kalau, bila, bilamana, dan asal.
Misalnya:
· Bila dia datang
kita segera berangkat.
· Bilamana cuaca
buruk, jendela itu harus kalian tutup.
4) Pengandaian
Leksem
yang digunakan adalah andaikata, seandainya, dan andaikata.
Misalnya:
· Andaikata saya
punya uang satu miliar, kamu akan saya bagi separuhnya.
· Andaikan puteri
itu menjadi pacarku saya akan senang sekali.
5) Penegasan
Leksem
yang digunakan adalah walau (walaupun), biar (biarpun), meski (meskipun),
kendati (kendatipun), sungguhpun, sekalipun dan walaupun. Misalnya:
· Meskipun tidak
lulus ujian, dia tertawa-tawa saja.
· Sayur ini
masih terasa hambar walaupun sudah ditambah garam.
6) Perbandingan
Leksem
yang digunakan adalah seperti, sebagai, laksana, seolah-olah, dan seakan-akan.
Misalnya:
· Dimakannya nasi itu
dengan lahap seperti orang tiga hari belum makan.
· Sorot matanya begitu
tajam seolah-olah kami ini betul-betul bersalah.
7) Tujuan
Leksem
yang digunakan adalah agar, supaya, untuk, buat, bagi, dan guna.
Misalnya:
· Buat orang-orang kaya
harga karcis masuk itu sangat murah.
· Jalan layang dibangun guna melancarkan
arus lalu lintas.
8) Waktu
Leksem
yang digunakan bermacam-macam, tergantung pada waktu yang diterangkan,
diantaranya adalah ketika, sewaktu, dan tatkala untuk
menyatakan waktu yang bersamaan; sementara, selama, sambil dan seraya untuk
menyatakan jangka waktu tertentu yang bersamaan; sejak, atau semenjak nntuk
menyatakan awal waktu; sampai. Untuk menyatakan batas waktu; sebelum Untuk
menyatakan waktu lebih dahulu sesudah, setelah, dan sehabis Untuk
menyatakan waktu lebih kemudian. Contohnya:
· Mereka datang ketika nenek
tidak ada dirumah.
· Sewaktu kami tiba
beliau sedang tidur.
· Tatkala melihat
kami, dia cepat-cepat bersembunyi.
9) Penjelasan
Leksem
yang digunakan adalah kata bahwa: misalnya
· Kabar bahwa mereka
akan menikah bulan depan saya sudah tahu.
· Kami belum mendengar bahwa harga
sembako sudah normal lagi.
10) Keadaan atau cara
Leksem
yang digunakan adalah dengan dan tanpa. Misalnya:
· Dengan berbisik-bisik
ditawarkannya majalah porno itu kepada setiap penumpang.
· Dia berjalan terus tanpa menoleh
ke kiri dan ke kanan.
Namun menurut Saeed (2003: 55) kategori
gramatikal seperti kata benda, kata depan dll, meskipun didefinisikan dalam
linguistik modern pada tingkat sintaksis dan morfologi, tidak mencerminkan
perbedaan semantik: berbagai kategori kata harus diberi deskripsi semantik yang
berbeda. Sebagai contoh: nama, kata benda umum, kata ganti, dan apa yang kita
sebut kata-kata logika semua menunjukkan karakteristik yang berbeda dari
referensi dan maknanya:
Contoh
:
a.
nama misalnya: Fred Flinistone
b . Kata umum misalnya:
anjing, pisang, tarantula
c. ganti misalnya: Aku, kamu, kita, mereka
d. kata logika misalnya: tidak, dan, atau, semua,
apapun
Melihat jenis kata-kata, kita dapat
mengatakan kata itu beroperasi dengan cara yang berbeda. Beberapa jenis kata
dapat digunakan untuk merujuk misalnya nama, sedangkan yang lain mungkin tidak misalnya
jenis kata yang masuk katagori kata-kata logika. Beberapa jenis kata hanya dapat ditafsirkan
dalam konteks tertentu saja misalnya kata ganti, sedangkan yang lain digunakan
dalam berbagai macam konteks misalnya kata yang masuk dalam katagori kata-kata
logis; dan seterusnya. Tampaknya juga bahwa hubungan semantik akan cenderung berbeda
antara anggota dari kelompok yang sama, bukan di seluruh kelompok, sehingga
hubungan semantik antara kata benda umum seperti pria wanita, hewan dan lainnya
lebih jelas daripada antara setiap kata benda dengan kata-kata seperti dan,
atau, tidak, dan sebaliknya.
B. Kata dan Item Leksikal
Semantik adalah telaah makna. Semantik
menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda
yang menyatakan makna,
hubungan makna yang
satu dengan yang lain,
dan pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakat.
Oleh karena itru, semantik mencakup
makna-makna kata, perkembangannya dan
perubahannya Objek studi
semantik adalah makna
bahasa. Lebih tepat
lagi, makna dari satuan-satuan bahasa
seperti kata, frase,
klausa, kalimat, dan
wacana. Bahasa memiliki
tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Bagian-bagian yang mengandung
masalah semantik adalah leksikon
dan morfologi
Ada
beberapa jenis semantik,
yang dibedakan berdasarkan
tataran atau bagian dari
bahasa penyelidikannya adalah
leksikon dari bahasa itu,
maka jenis semantiknya disebut
semantik leksikal. Semantik
leksikal ini diselidiki
makna yang ada pada leksem-leksem
dari bahasa tersebut. Oleh kerena itu, makna
yang ada pada leksem-leksem
itu disebut makna
leksikal. Leksem adalah istilah
yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan-bahasa bermakna
atau item leksikal. Istilah leksem ini
kurang lebih dapat
dipadankan dengan istilah
kata yang lazim digunakan dalam
studi morfologi dan sintaksis, dan yang
lazim didefinisikan sebagai
satuan gramatikal bebas terkecil.
Berdasarkan maknanya, dapat diartikan makna
leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya
dalam sebuah struktur (frase klausa atau kalimat).
Contoh:
rumah : bangunan untuk tempat tinggal manusia
rumah : bangunan untuk tempat tinggal manusia
makan
: mengunyah dan menelan sesuatu
makanan
: segala sesuatu yang boleh dimakan
C.
Relasi Makna
Relasi
makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan satuan bahasa yang lain. Relasi
makna dapat berupa homonimi, polisemi, sinonimi, antonimi, hiponimi, dan metonimia, dan lainnya
1. Homonimi
Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata
fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak berbeda
dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang menyebut homonimi sebagai relasi
antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa
dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu
dengan definisi homofon, sedangkan definisi hominimi menurut Matthews rancu
dengan definisi homograf. Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang
pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan .
Contoh: pen ‘alat tulis’ dengan pen ‘kandang’.
Lyons (1996:55) membedakan antara homonimi absolut dan homonimi parsial.
Menurut Lyons, homonimi absolut memenuhi tiga kondisi yaitu: (1) maknanya tidak
berhubungan, (2) Seluruh bentuknya identik, dan (3) Ekuivalen secara
gramatikal. Contoh: sole ‘bagian bawah sepatu’ dengan sole ‘jenis ikan’ adalah
contoh homonimi absolut karena memenuhi ketiga kondisi tersebut. Sedangkan
found ‘bentuk lampau dari kata menemukan’ dengan found ‘bentuk kini dari
mendirikan’ termasuk homonimi parsial karena aspek gramatikalnya tidak
ekuivalen.
2.
Polisemi
Menurut Saeed (2000:64) polisemi mirip dengan homonimi, tetapi dalam
polisemi ada relasi makna yang erat antara kata yang bentuknya dan ucapannya
sama.
Contoh: hook ‘kail’ dengan hook ‘pengait’.
3.
Sinonimi
Menurut Saeed
(2000, hal 65)
sinonimi merupakan kata yang
secara fonologi berbeda namun memiliki makna yang sama atau
hampir sama. Dijelaskan bahwa kata couch
dan sofa adalah sinonimi. Begitu
pula kata boy dan lad, lawyer dan
attorney, toilet dan lavatory, serta large dan big.
Namun demikian, bahwa
kata-kata tersebut tidaklah menunjukkan suatu sinonim yang benar-benar
mutlak. Kemutlakan sinonim
sangat jarang ditemukan
atau bahkan tidak ada.
Hal ini karena
sinonim sering memiliki
distribusi yang berbeda
dalam sejumlah parameter. Mungkin
kat-kata yang bersinonim
tersebut termasuk ke
dalam suatu dialek yang
berbeda dan kemudian
menjadi sinonim karena
para penutur sudah sangat
akrab dengan kedua
dialek tersebut. Atau
juga kata-kata yang
bersinonim tersebut mungkin termasuk
ke dalam ragam
bahasa yang berbeda,
gaya bahasa, koloquial, formalitas,
kesusastraan, dan lain-lain yang
termasuk dalam situasi
yang berbeda pula. Sebagaimana
kata-kata berikut misalnya,
bahwa wife, spouse, old lady, dan
missus merupakan sinonimi, namun
kata-kata wife atau spouse lebih
formal daripada old lady atau missus.
Wijana (1999,
hal 2) menjelaskan
bahwa sinonimi adalah
relasi kesamaan makna. Satuan
kebahasaan dimungkinkan memiliki
kesamaan makna dengan
satuan kebahasaan yang lain.
Misalnya kata ayah bersinonim dengan
kata bapak, ibu dengan mama,
kakak dengan abang, dsb.
Wijana juga menjelaskan
bahwa tidak terdapat sinonimi total di dalam bahasa.
Kesinoniman di dalam bahasa senantiasa bersifat partial (sebagian). Kata-kata
yang bersinonim memiliki
perbedaan. Perbedaan tersebut
dapat dirinci menjadi:
a. Makna
sebuah kata mungkin
lebih umum dibandingkan
dengan pasangan yang lain.
Misalnya antara kata
melihat dan menjenguk,
menengok, membesuk, dsb.
b. Makna
sebuah kata lebih
formal dari kata yang
lain. Misalnya antara
kata mudah dan gampang, buat, bikin, dsb.
c. Makna
sebuah kata lebih
intensif dibandingkan dengan
kata yang lain. Misalnya antara
kata melihat dan menatap, senang dan gemar, sukar dan sulit, dsb.
d. Makna
sebuah kata lebih
dialektal dibandingkan dengan
kata yang lain. Misalnya antara kata saya dan gua atau
beta, istri dan bini, suami dan laki, dsb.
e. Makna
sebuah kata lebih
sopan dibandingkan dengan
kata yang lain. Misalnya antara
kata makan, dan santap, wanita
dan perempuan, mau dan berkenan, dsb.
f. Makna
sebuah kata lebih
literer dibandingkan dengan
kata yang lain. Misalnya kata matahari dan surya, bulan dan
rembulan, angin dan bayu, dsb.
Definisi senada
mengenai ketidakadaan sinonim
yang benar-benar mutlak
ini diungkapkan oleh Nida (dalam Subroto 1999, hal 9). Nida menjelaskan
bahwa sejumlah butir leksikal yang
maknanya bertumpang-tindih disebut
sinonim. Butir-butir leksikal itu
tidak dapat dinyatakan
memiliki makna yang
identik, melainkan memiliki
makna yang
bertumpang-tindih. Hampir tidak
terdapat dua butir
leksikal atau lebih
yang maknanya benar-benar identik
(sinonim absolut). Dua
butir leksikal memiliki
makna yang identik dapat
dites bahwa butir-butir
itu dapat saling
menggantikan dalam keseluruhan
kemungkinan konteksnya tanpa mengubah isi konseptualnya. Hal ini dapat
dilihat dalam contoh
berikut: mati, meninggal,
wafat, mangkat, tewas,
yang dalam konteks kalimat
adalah:
·
Penjahat
itu tertembak mati.
·
Tanaman
itu mati kekeringan.
·
Burungnya mati
kelaparan. (kata mati
tidak dapat digantikan
oleh butir-butir lainnya:
meninggal, wafat, mangkat, tewas).
Berdasarkan pengetesan
pada konteks kalimat
diatas dapat diketahui
bahwa butir-butir meninggal, wafat,
mangkat, tewas digunakan
untuk mengacu pada
suatu entitas yang berciri
manusia (human), sedangkan mati mengacu pada entitas yang lebih luas (tanaman,
hewan, manusia, benda-benda yang dianggap hidup).
Ditambahkan juga
bahwa secara teoritik
kesinoniman itu terdapat
pada tataran morfem, kata, frase,
klausa, dan kalimat. Dalam lingkup semantik leksikal, kesinoniman terdapat dalam
lingkup: 1) nomina
(rumah, wisma, istana,
tempat tinggal), 2)
verba (datang, tiba, hadir),
3) adjektiva (kuat,
kokoh, perkasa, teguh,
tegar), 4) pronominal persona (aku,
saya, hamba, gue),
50 numeralia (satu,
eka), 6) adveribia
(baru, sedang, tengah, lagi), dan
7) preposisi (di, pada).
Hurford (1986, hal
102) memberikan definisi sinonimi sebagai suatu hubungan antara dua
predikat yang memiliki
makna sama. Misalnya conceal bersinonim dengan hide, purchase-buy, wide-broad,
loose-short. Namun demikian,
contoh dari sinonimi yang benar-benar sempurna sama
(perfect) sangatlah sulit ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan terdapat
beberapa perbedaan dalam
suatu dialek yang
memiliki dua predikat dengan
makna benar-benar sama. Perlu kita pahami bahwa dalam menentukan suatu kata
bersinonim selalu mensyaratkan
identitas maknanya. Secara
umum, ketika berhubungan dengan
relasi makna, kita
menghubungkan secara jelas
dengan berbagai gaya bahasa,
sosial, atau hubungan dialek dari yang dimiliki kata tersebut. Hal ini sering
kita sebut dengan
makna konseptual atau
koginitif (cognitive or
conceptual meaning).
·
Mari
kita lihat contoh berikut ini:
·
How
many kids have you got?
·
How
many children have you got?
Disini kita
katakan bahwa kata kids dan children memiliki makna
yang sama, namun secara jelas berbeda
dalam gaya atau tingkat formalitasnya.
Lebih lanjut Reinhart
(1971, hal 4) menyatakan bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar sinonim,
bahkan yang termasuk
pasangan kata yang
secara transformasional
berhubungan sekalipun. Pandangannya yang
sangat ekstrim mengatakan bahwa
dua kalimat benar-benar
bersinonim bila kedua
kalimat tersebut memiliki nilai
kebenaran (truth value)
yang sama. Hal
yang sama juga
dikemukakan oleh Tarski (dalam Wahab, 1999, hal 4). Tarski mengemukakan
sebuah postulat bahwa makna suatu pernyataan dapat diperikan dengan kondisi
kebenaran. Sebuah pernyataan mempunyai
arti bila ada
kondisi kebenaran yang
menjamin kebenaran pernyataan
itu. Ketika kondisi kebenaran
itu tidak ada, maka
pernyataan itu tidak
bermakna apa-apa. Rumus yang
diusulkan Tarski sebagai berikut:
·
S is true if and only if p.
S (sentence)
dianggap benar, jika
kondisi p (proposition)
yang menjamin kebenaran pernyataan
itu benar. Untuk
menjelaskan rumusnya itu,
Tarski memberi contoh sebagai berikut:
·
Snow is white is true if and only if snow is
white.
Menurut Tarski,
pernyataan ‘Snow is white’ itu
bermakna, jika salju
memang putih. Seandainya ada salju yang berwarna selain putih, maka
pernyataan bahwa ‘Snow is white’ tidak
bermakna, karena tidak
ada kondisi yang
menjamin kebenaran pernyataan
itu.
Jadi, dapat dikatakan
bahwa :
1. Sinonim
adalah sejumlah butir
leksikal yang maknanya
tumpang-tindih, tidak memiliki
makna yang identik (sinonim absolut).
2. Kata-kata
yang bersinonim memiliki perbedaan: makna sebuah kata mungkin lebih
umum, lebih formal,
lebih intensif, lebih
dialektal, lebih sopan,
dan lebih literer dibandingkan dengan pasangan yang
lain.
3. Sinonim
adalah hubungan antara
bentuk dan makna (lebih
dari satu bentuk
dan memiliki makna yang sama).
4.
Antonimi
Terminologi
tradisional menjelaskan bahwa antonimi merupakan kata-kata yang berlawanan makna
(Saeed, 2000, hal
66). Relasi makna
jenis ini oleh
Nida disebut dengan meanings complementary, yaitu
butir leksikal yang
memiliki ciri semantik bersama, namun
juga memperlihatkan kontras
makna dan bahkan
perlawanan makna. Keberlawanan makna dirumuskan sebagai kontras
makna yang bersifat polar dan dapat mengenai
kualitas (high x
low), atau jumlah
(banyak x sedikit),
keadaan (terbuka x tertutup),
waktu (now x
then), ruang/tempat (here
x there), gerakan
(maju x mundur). Pandangan ini meskipun belum
memuaskan, karena kata
mungkin berlawanan (opposite)
makna dalam cara yang berbeda-beda dan beberapa kata tidaklah berlawanan
secara jelas (Hurford,
1986, 114), namun
cukup bermanfaat untuk
mengidentifikasi berbagai jenis hubungan makna dengan menggunakan
penanda yang lebih umum yaitu ‘opposition’.
Oleh karena itu pengertian yang lebih bermanfaat untuk ‘keberlawanan
semantik’ daripada antonimi
adalah pengertian inkompatibilitas (eksklusi
makna) (Leech, 2003, hal
128). Kita dapat
mengatakan bahwa makna
yang diungkapkan
inkompatibel jika yang
satu mengandung paling
sedikit satu ciri
yang berlawanan dengan ciri yang
lain. Hubungan yang dimaksud adalah antonim sederhana
(pasangan komplementer/pasangan binari/antonim binari),
antonim yang bergradasi,
reversif, konversif, dan hubungan
taksonomi.
Antonim sederhana
yaitu hubungan lawan
kata dari kata-kata
yang berpasangan dimana bila salah
satu kata dapat
dipakai maka kata
yang lain secara otomatis tidak dapat digunakan. Contoh
dari antonim sederhana ini adalah: dead x alive, pass x
fail, true x false, same
x different, married x
unmarried, dan sebagainya.
Jadi, true x false (benar x salah) merupakan suatu antonim sederhana,
maksudnya bila suatu kalimat adalah BENAR, maka pasti bahwa kalimat tersebut
TIDAK SALAH. Bila suatu kalimat
adalah SALAH, maka
pasti bahwa kalimat
tersebut TIDAK BENAR.
Begitu pula dengan same x
different (sama x berbeda),
bila dua barang
adalah SAMA, maka barang tersebut TIDAK BERBEDA: bila barang tersebut TIDAK
SAMA, maka barang tersebut BERBEDA.
Antonim bergradasi
(dipertatarkan) adalah hubungan lawan
kata dimana kata-kata tersebut membawa
implikasi bahwa perbedaan
makna antara pasangan
itu tidak diskret benar
(Subroto, 1999, 11),
dalam arti bahwa
kata tersebut masih
bisa dipertatarkan dalam rentang
nilai yang berkelanjutan
(Hurford, 1986, 118)
tergantung pada konteks pemakaiannya. Contoh dari antonim bergradasi ini
adalah: hot x cold, tall x short,
long x
short, clever x stupid,
dan sebagainya. Jadi, hot dan cold merupakan antonim bergradasi
dimana antara hot dan cold
terdapat suatu rentang
nilai yang berkelanjutan, yaitu hot-warm-tepid-cool-cold. Begitu pula
pasangan berlawanan arti tall x short (tinggi x rendah). Terdapat
gradabilitas: sangat tinggi, tinggi, kurang tinggi: kurang rendah,
rendah, sangat rendah.
Terdapat perbedaan relatif
antara kurang tinggi dan
kurang rendah. Terdapat
ciri yang bersifat ‘berkelanjutan’, dimana terdapat
gerak berkelanjutan antara pasangan
yang berantonim, dalam
hal ini terjadi
gerak yang semakin berjauhan
antara sangat tinggi x sangat rendah.
Reversif merupakan
hubungan atau pasangan
berlawanana arti yang menggambarkan suatu
pergerakan, dimana salah
satu kata menggambarkan
suatu gerakan dalam satu
arah sementara kata
yang lain menggambarkan
suatu gerakan lain yang
berlawanan dan keberadaannya
tidak saling membutuhkan.
Ciri dari pasangan berlawanan arti ini adalah tidak
adanya hubungan yang berbalikan
(konversif). Contoh dari reversif ini adalah: push x pull, come x go, go x
return, up x down, dan sebagainya.
Konversif merupakan
hubungan atau pasangan
berlawanan arti dan keberadaannya bersifat saling membutuhkan
dan melengkapi. Contoh dari konversif ini adalah: parent x
child, below x
above, greater than
x less than,
own x belong
to, employer x employee,
suami x istri,
guru x murid,
meminjam x meminjami,
dan sebagainya. Parent x child
(orang tua x anak) merupakan konversif yaitu bahwa bila X adalah orang
tua dari Y (one
order), maka Y
adalah anak dari X
(opposite order). Begitu pula, bila X
meminjam uang dari Y, maka Y meminjami X
uang. Bila X adalah suami Y, maka Y adalah istri. bila X adalah dosen Y, maka Y adalah mahasiswa X, dan sebagainya.
Hubungan taksonomi
(taxonomic sisters) merupakan
suatu sistem
pengklasifikasian dimana istilah
antonimi kadang-kadang digunakan
untuk menggambarkan
kata-kata yang berada
pada tingkatan yang
sama dalam suatu taksonomi. Hubungan
taksonomi ini merupakan
suatu hubungan yang
horizontal.
Contoh dari jenis ini
adalah kata sifat warna sebagai berikut: red, orange, yellow, green, blue, purple,
brown. Kita dapat
mengatakan bahwa kata-kata
red dan blue
merupakan anggota hubungan taksonomi
yang sama dan oleh
karenanya inkompatibel satu
sama lain.
5.
Hiponimi
Menurut Saeed (2000,
hal 68) bahwa hyponymy is a relation of inclusion. A
hyponym includes the meaning of a more general word. Jadi,
hiponimi merupakan relasi
inklusi. Suatu hiponimi
mencakup makna dari suatu kata yang lebih umum. Banyak
kosakata yang dihubungkan dengan menggunakan sistem inklusi ini dan hasil jejaring semantiknya membentuk
suatu hirarkhi taksonomi.
Edi Subroto (1999,
hal 7) menunjukkan bahwa relasi inklusi (relasi makna yang bersifat hiponimik)
adalah arti sebuah leksem yang termasuk ke dalam atau tercakup ke dalam arti
leksem lain yang lebih
luas. Jadi, arti
leksem: mawar, melati,
anggrek, bogenvil, dan sebangsanya termasuk dalam arti leksem bunga.
Dengan perkataan lain, arti leksem bunga meliputi arti leksem-leksem mawar,
melati, dan seterusnya. Leksem yang artinya
mencakupi tersebut disebut
penggolong atau superordinat;
sedangkan leksem yang artinya tercakup ke dalamnya disebut bawahan atau
hiponim. Jadi, terdapat relasi makna antara mawar, melati, anggrek…dengan
leksem bunga. Leksem mawar, melati,
anggrek termasuk golongan
bunga, atau leksem bunga
mencakupi arti leksem mawar,
melati, anggrek.
Sementara itu, Wijana
(1999, hal 3) menyatakan bahwa hiponimi membicarakan relasi makna
generik dan spesifik
(misalnya antara membawa
dengan menjinjing, menggendong, memapah, memanggul, dsb.) dan relasi
taksonomi dan nama taksonomi (misalnya antara kendaraan dengan sepeda, becak,
bemo, mobil, dsb).
Terdapatnya relasi
semantik hiponimik ini
memberi beberapa petunjuk bermanfaat di
dalam membuat definisi
logis sebuah leksem
yang termasuk bawahan. Definisi tersebut
harus bertolak dari
kelas penggolong serta
harus sesuai dengan
kelas penggolong. Jadi apabila kelas penggolong termasuk nomina maka
definisi bawahannya juga sesuai dengan
kelas nomina, bila
termasuk verba maka
hendaknya harus sesuai pula dengan kelas verba.
Apabila ciri
semantik masing-masing leksem
itu dapat diidentifikasi secara akurat, maka dapat dinyatakan bahwa
‘semua ciri semantik penggolong juga menjadi ciri semantik
masing-masing leksem bawahannya
namun tidak sebaliknya
(Subroto, 1999, 7). Hal
ini berarti bahwa
masing-masing bawahan memiliki
sejumlah ciri semantik unik
yang membedakannya dari
penggolongnya. Dengan rumusan
itu dapat dinyatakan bahwa
semakin rinci ciri semantik sebuah leksem maka referentnya semakin terbatas
atau tertentu. Hal itu dapat ditunjukkan dengan relasi makna antara penggolong
‘saudara’ dengan bawahan ‘kakak, adik’. Leksem saudara di sini diasumsikan
berarti ‘orang yang lahir dari ayah dan ibu yang sama’. Dengan melihat pada
ciri semantiknya dapat digambarkan sebagai: animate (benda bernyawa), human
(manusia), laki-laki atau perempuan, kekerabatan, lahir dari ayah dan ibu yang
sama, satu tingkat dibawah ayah dan ibu. Sementara ciri semantik dari ‘kakak’
atau ‘adik’ adalah: animate, human, laki-laki/perempuan, kekerabatan, lahir
dari ayah atau ibu yang sama, satu tingkat di bawah ayah dan ibu, lebih tua
dari aku (kakak). Leksem adik berbeda dari kakak hanya dalam ciri uniknya,
yaitu ‘lebih muda dari aku’.
Berdasarkan deskripsi itu
jelas terdapat relasi
makna antara ‘saudara’, ‘kakak’,
dan ‘adik’. Relasi antara bawahan dengan penggolong ini disebut relasi
hiponimik.
6.
Meronimi
Meronimi adalah
istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan hubungan bagian-keseluruhan antar
unsur leksikal (Saeed, 2000:70). Definisi ini sesuai dengan asal kata meronim
dari bahasa Yunani, yaitu: meros ‘bagian’ dan onima ‘nama’.
Contoh: page
‘halaman’ adalah meronim dari book ‘buku’.
D. Leksikal Universal
Telaah Leksikal Universal diimplementasikan dalam teori Natural Semantic Metalanguage (Metabahasa
Makna Alami). Teori NSM mempunyai dua keunggulan yaitu dapat diterima oleh
semua penutur karena paraphrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang
bersumber dari bahasa alamiah dan NSM selalu terbuka untuk penyesuaian dan modifikasi
terhadap representasi maknanya.
Metabahasa teori Natural
Semantic Metalanguage (NSM) diakui sebagai pendekatan kajian semantik
yang dianggap mampu memberi hasil analisis makna yang memadai karena dengan
teknik eksplikasi dapat menghasilkan analisis makna suatu bahasa yang mendekati
postulat ilmu semantik yang menyatakan bahwa satu bentuk untuk satu makna dan
satu makna untuk satu bentuk, dengan kata lain satu butir leksikon mampu
mewahanai satu makna atau satu makna diungkapkan dengan satu butir leksikon
agar tidak terkesan bahwa pemerian makna yang berputar terhadap satu leksikon.
Teori Natural Semantic Metalanguage
(NSM)
dirancang untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna ilokusi
maupun makna gramatikal. Sebagai contoh bahwa teori ini juga dapat digunakan
untuk mengeksplikasi makna verba bahasa Indonesia. Dalam teori ini, eksplikasi makna
dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah yang pada
umumnya bisa dipahami oleh semua penutur asli (Wierzbicka, 1996: 10 dan band.
Mulyadi, 1998: 34). Asumsi dasar teori ini bertalian dengan prinsip semiotik yang
menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti
bahwa kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa harus berputar-putar dan tanpa
residu dalam kombinasi makna diskret yang lain (Goddard, 1996: 24; Wierzbicka,
1996: 10; Sutjiati Beratha, 1997: 10, Mulyadi, 1998: 35).
Konsep dasar lain dalam teori MMA ialah
polisemi, yang dipahami sebagai bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan
dua makna asali yang berbeda. Di antara dua makna asali itu tidak terdapat
hubungan komposisi (nonkomposisi) sebab masing-masing mempunyai kerangka
gramatikal yang berbeda. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara konsep BERPIKIR
dan MENDENGAR diwujudkan pada verba kulini (Wierzbicka 1996b: 25—26). Dalam
bahasa Indonesia, verba menonton merupakan ekspresi dari MELIHAT dan MEMIKIRKAN
(Mulyadi 2000: 81).
Seperti halnya makna asali, polisemi juga
bukanlah konsep baru (Goddard 1996a: 29,
Be-ratha 1997: 113), kecuali cara mengidentifikasi eksponen dari makna asali.
Pada tingkatan yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin
menjadi polisemi dengan cara yang berbeda pada bahasa yang berbeda. Goddard
(1996a: 29) memberi contoh makna kedua dari eksponen mukuringanyi INGIN dalam bahasa
Yankunytjatjara menyerupai like , be fond
of, dan need dalam bahasa
Inggris padahal ranah penggunaannya
berbeda dengan ranah want bahasa
Inggris.
Menurut Goddard (1996a: 31), ada dua hubungan nonkomposisi yang paling
kuat, yakni hubungan pengartian (entailment-like relationship) dan hubungan
implikasi (implicational relationship).
Hubungan pengartian diilustrasikan pada MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN
PADA/TERJADI. Contohnya, jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA
Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN; contohnya,
jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X.
Berikutnya adalah konsep aloleksi. Konsep aloleksi diusulkan pertama
kali oleh Cliff Goddard pada Simposium Semantik di Canberra pada tahun 1992
(Wierzbicka 1996b: 26—27) untuk menerangkan beberapa bentuk kata yang berbeda
dalam konteks komplementer mengekspresikan sebuah makna tunggal. Gagasan
aloleksi berperan penting dalam ancangan MMA, terutama untuk bahasa infleksi.
Ada
beberapa tipe aloleksi. Pertama, aloleksi
posisional untuk menerangkan kata I
dan me bahasa Inggris. Keduanya mempunyai makna yang sama, kecuali
posisinya: I sebelum verba dan me di
posisi lain. Kedua, aloleksi
kombinatorial untuk menjelaskan hubungan ‘someone ’ dengan ‘ person ’.
Berkombinasi dengan determiner dan kuantifier, ‘people ’ berfungsi sebagai
aloleks ‘ someone ’ (mis. ‘ this someone ’ = ‘this person ’, ‘ the same someone
’ = ‘ the same person’, ‘ two someones ’ = ‘ two person
’, dsb.). Juga berlaku untuk ‘ something’ dan ‘thing’ (mis. ‘ this something’ =
‘ this thing’, ‘the same something’ = ‘ the same
thing ’, ‘ two somethings ’ = ‘
two things ’).
Ada pula aloleksi kasus. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara
subjek verba kulini BERPIKIR,
wangkanyi BERKATA, dan palyani MELAKUKAN memilih kasus ergatif,
sedangkan mukuringanyi INGIN memilih
kasus nominatif. Tipe aloleksi lain ialah aloleksi infleksi. Dalam kalimat
seperti ‘I did something’ seperti (1a),
kata did secara semantis kompleks (DO +
kala lampau). Namun, jika diparafrase isi semantis kata lampaunya, maknanya
menjadi ‘at some time before now’, seperti (1b). Dalam konteks ini, pilihan
bentuk did menjadi automatis dan
aloleksis.
a. I did something.
b. At some time before now, I did
/* do something.
Tipe
aloleksi terakhir dinamakan aloleksi portmanteau, yaitu sebuah kata tunggal
(morfem, frasem) mengekspresikan
kombinasi makna asali. Contohnya,
dalam bahasa Inggris can’t adalah
kombinasi CAN + NOT. Dalam catatan Goddard (1996a: 28—29), banyak bahasa
mempunyai aloleksi portmanteau pada
bentuk negasi dan kadang-kadang berkombinasi dengan beberapa elemen lain.
Kata noli dalam bahasa Latin, umpamanya, merupakan
kombinasi TIDAK INGIN dan AKU MELAKUKAN.
Konsep
dasar selanjutnya ialah sintaksis makna
universal (SMU). SMU dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an sebagai perluasan dari sistem
makna asali (Goddard 1996a: 24). Dalam teori MMA makna dipahami sebagai
struktur yang sangat kompleks, terdiri atas komponen berstruktur seperti ‘aku
menginginkan sesuatu’, ‘ini baik’, atau
‘kau melakukan sesuatu yang buruk’. Kalimat seperti ini disebut SMU.
Jadi, SMU adalah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk
proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya.
Unit
dasar SMU dapat disamakan dengan “klausa”, dibentuk oleh substantif dan
predikat, serta beberapa elemen tambahan
sesuai dengan ciri predikatnya. Contoh pola SMU antara lain ialah
a. Aku melihat sesuatu di tempat ini.
b. Sesuatu yang buruk terjadi
padaku .
c.
Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang
aku.
d. Aku tahu bahwa kau orang yang
baik.
Pola
kombinasi yang berbeda dalam SMU mengimplikasikan gagasan pilihan valensi.
Contohnya, elemen MELAKUKAN, selain memerlukan “subjek” dan “komplemen”
wajib (seperti ‘seseorang melakukan
sesuatu’), juga “pasien” (seperti ‘seseorang melakukan sesuatu pada
seseorang’). Begitu pula, MENGATAKAN,
di samping memerlukan “subjek” dan
“komplemen” wajib (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu’), juga “pesapa” (seperti ‘seseorang mengatakan
sesuatu pada seseorang’), atau “topik” (seperti ‘seseorang
mengatakan sesuatu tentang
sesuatu’), atau “pesapa” dan topik” (seperti ‘seseorang mengatakan
sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’).
Tiga
konsep dasar di atas, yaitu makna asali, polisemi, dan sintaksis makna
universal sangat relevan diterapkan pada bahasa Indonesia. Konsep aloleksi
hanya cocok untuk bahasa yang memiliki infleksi dan kasus.
BAB III SIMPULAN
Kategori gramatikal
yang banyak diikuti, membagi kata menjadi dua kelompok besar, yaitu (1)
kelompok yang disebut kata penuh (full word) dan (2) kelompok yang disebut
partikel atau kata tugas (function word). Ke dalam kelompok pertama termasuk
kata dan kelas verbal, nominal, ajektival, dan adverbial; dan ke dalam kelompok
kedua termasuk kata-kata yang disebut preposisi, konjungsi, dan interjeksi.
Kategori gramatikal mengkaji
tentang (1) kategori nominal yang terbagi atas sepuluh tipe,
yaitu: orang, institusi, binatang, tumbuhan, buah-buahan,
bunga-bungaan, peralatan, makanan-minuman, geografi, bahan baku; (2) kategori
verbal terdiri dari duabelas tipe, yaitu: tindakan, pengalaman, pemilikan,
lokasi, proses, proses-pengalaman, memperoleh atau merugi, lokatif, keadaan,
keadaan pengalaman, keadaan benefaktif, dan keadaan lokatif; (3) kategori
adjektival; (4) kategori pendamping, meliputi: pendamping nomina, pendamping
verba, pendamping ajektiva, dan pendamping klausa; (5) kategori penghubung,
meliputi: penghubung koordinatif dan penghubung subordinatif.
Teori MMA menggunakan konsep makna asali,
polisemi, aloleksi, dan sintaksis makna universal dalam analisis makna. Cirinya
ialah membatasi makna kata dengan menggunakan teknik parafrase. Skenario
semantis disusun dari perangkat makna asali dan melalui perangkat itu dapat
diungkapkan persamaan dan perbedaan makna kata. Deskripsi maknanya bersifat
tuntas dan tidak berputar-putar.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes, Michael (Ed). 2001 (1999). Webster’s New World College Dictionary (Edisi ke-4). Cleveland: IDG
Books Worldwide, Inc.
Alwi,
Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Cruse, Alan.200. Meaning
in Language. An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford : University
Pres
Chaer,
Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia. Jakarta: Reneka Cipta.
------------------------. Sintaksis
Bahasa Indonesia. Jakarta: Reneka Cipta.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (Edisi
ke-6). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.
Lyons, John. 1996/1995. Linguistic Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford
University Press.
Russo, Vito. 1993. History
of Motion Pictures. Microsoft
Encarta 96 Encyclopedia © 1993-1995 Microsoft Corporation.
Saeed, John.I. 2000/1997. Semantics. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar
Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.
Tarigan, HG. 1983. Prinsip-prinsip dasar
Sintaksis. Bandung: Angkasa
No comments
Post a Comment