Biografi Sejarah Douwes Dekker. Dr.
Ernest François Eugène Douwes Dekker atau yang umumnya dikenal dengan nama
Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang kemerdekaan dan
pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Douwes
Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama Auguste Henri
Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah bank ternama yang
bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa
Neumann, orang Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia.
Douwes
Dekker diketahui memiliki saudara berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes
Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk
di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana, orang tuanya kemudian
memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem
III School.
Di
dalam tubuhnya mengalir darah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa, tapi ia
seorang penggerak revolusi Indonesia yang melampaui zamannya. Namanya Ernest
Prancois Eugene Douwes Dekker. Di tengah kekecewaan sebagian kalangan terhadap
sikap elitis Boedi Oetomo. Douwes Dekker hadir menyodorkan gagasan segar.
Ia mendirikan partai politik pertama di Indonesia, yang bercita-cita
memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua ras yang ada di Hindia .
Pada
tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr.
Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan sebuah partai politik yang berhaluan
nasionalis pertama yang bernama Indische Partij dan dalam waktu yang tidak
terlalu lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga mencapai 5000 orang
dan sangat populer dikalangan pribumi Indonesia.
Kehadiran
Indische Partij meniupkan roh di awal pergerakan. Kemunculannya di sambut
gegap-gempita. Tour propaganda yang digerakkan Douwes Dekker merupakan rapat
akbar politik pertama di Hindia. Inilah tonggak pergerakan dengan strategi
pengerahan massa dalam jumlah besar – strategi yang kemudian diterapkan
Tjokroaminoto untuk mengorganisir massa Sarekat Islam.
Tak
bisa dipungkiri, Indische Partij meletakkan fondasi penting bagi nasionalisme
Hindia. Organisasi politik ini jauh lebih radikal daripada Boedi Oetomo. Tak
cuma menyeruhkan perombakan di bidang pelayanan administrasi, Douwes Dekker
mengusung reformasi politik pertanian dan perpajakan sebagai salah satu program
partai. Tindak-tanduk Douwes Dekker diawasi karena menolak diskriminasi. Ia
dicap sebagai agitator berbahaya. Douwes Dekker menjadi figur
menggetarkan bagi pemerintah Hindia Belanda.
Di
usianya yang singkat karena dipaksa bubar oleh Belanda, Indische Partij
berhasil menyuburkan semangat juga harapan. Organisasi politik ini meniupkan
napas panjang bagi aksi pergerakan setelah itu.
Nasionalisme
Indonesia pada hakekatnya ialah suatu gejala baru yang harus dibedakan dari
gerakan-gerakan perlawanan sebelumnya terhadap kekuasaan Belanda. Perang
Jawa 1825 – 1930 misalnya, pada waktu Pangeran Diponogoro melawan
kekuasaan Belanda di Jawa Tengah selama lima tahun, merupakan suatu
gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal dan sangat berbeda
sifatnya dari arus perlawanan baru yang muncul abad ke-20. Nasionalisme
baru itu adalah hasil imperialisme baru. Ia harus dipandang sebagai bagian dari
gerakan yang lebih besar yang melibatkan banyak bagian tanah jajahan baru
yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.
Rasa
kebangssann ditempa dalam pengalaman bersama melawan penindasan kolonial, namun
gagasan-gagasan tentang kebangsaan dan kemudian penciptaan suatu tatanan
politik baru – suatu negara modern –yang dapat digunakan untuk mengungkapkan
gagasan itu, pada dasarnya merupakan konsep baru, yang melampui aspek-aspek
negatif dari perjuangan kemerdekaan. Dan ini pun menyangkut penyusunan
saluran-saluran baru bagi kekuasaan dalam masyarakat-masyarakat tradisional
serta perumusan harapan-harapam baru. Semua ini mempunyai
kesamaan-kesamaannya di mana pun di India, di bagian-bagian lain Asia Tenggara
dan di Afrika – dan ini sangat berbeda dari gerakan perlawanan araris “
pra-nasiolis “ yang umum terdapat dalam masyarakat Indonesia, atau dari
pemberontakan di bawah pemimpin tradisional yang berdasarkan keluhan-keluhan
tertentu.
Sebab-sebab
nasionalisme abad ke-20 harus dicari pada terganggunya keseimbangan
masyarakat-masyarakat tradisional sebagai akibat dari dampak penuh industri
modern Eropa. Dengan munculnya kaum cendikiawan baru, rasa tidak puas massa
dapat disalurkan dan diorganisasikan ke dalam gerakan-gerakan kekuatan politik
yang menentang rezim kolonial, memandang ke depan secara positif untuk
membangun suatu negara merdeka yang didasarkan pada nilai-nilai pola-pola
tatanan lama tradisional.
Ernest
Renan mengatakan bahwa etnisitas tidak diperlukan untuk kebangkitan
nasionalisme. Jadi nasionalisme bisa terjadi dalam komunitas multietnis.
Persatuan agama juga tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Dalam hal
nasionalisme, syarat mutlak dan utama adalah adanya kemauan dan tekad bersama.
Kedouri mengaksenkan masalah self-determinitaion (penentuan nasib sendiri)
sebagai salah satu tujuan dari nasionalisme. Plamenatz menfokuskan diri pada
self-determination ( pemerintahan sendiri sebagai unsur sentral dalam
pembahasannya mengenai nasionalisme dan kolonialisasi. Salah satu fokus
Gellner adalah persatuan budaya sebagai hubungan antarorang yang merupakan landasan
nasionalisme, terlebih lagi Guibermau yang lebih mengunggulkan budaya sebagai
kekuatan pemersatu.
Nasionalisme
adalah paham dan proses di dalam sejarah saat sekelompok orang merasa menjadi
anggota dari suatu nasion (bangsa) dan mereka ingin mendirikan satu state
(negara) yang mencakup semua anggota dari kelompok itu. Teori
nasionalisme tentu saja lebih luas lagi, akan tetapi tidak di bahas di
sini karena tulisan ini tidak bertujuan menulis suatu karya teoritis mengenai
nasionalisme pada umumnya.
Akan
tetapi selain dari faktor-faktor itu juga ada beberapa faktor kontekstual yang
perlu diperhatikan. Nasionalisme hanya dapat berkembang jika beberapa
faktor-faktor pendorong itu ada. Smith membahas teori Gellner yang mengatakan
bahwa modernisasi dan industrialisasi adalah faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya nasionalisme. Smith dalam interprestasinya terhadap teori Gellner
menyatakan bahwa peran kaum elit dan krisis yang terjadi di kalangan mereka
akibar modernisasi dan industrialisasi dianggap sebagai faktor sentral dalam
kebangkitan nasionalisme. Industrialisasi mengakibatkan posisi elit tidak bisa
ditempati oleh sembarangan bangsawan. Hanya mereka atau orang biasa yang
berbakat saja akan berhasil mendapatkan posisi elit itu dalam apparatus
pemerintahan . Hal ini mengakibatkan suatu krisis pada diri kaum elit lama yang
kemudian merasa terancam.
Masalah
nasionalisme Hindia jelas tidak dapat dilepaskan dari Sang Inspirator Revolusi.
Ia adalah Ernest Francois Douwes Dekker yang dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur
pada tanggal 8 Oktober 1879 . Ia adalah anak kedua dari pasangan Auguste
Douwes Dekker dan Luoise Margaretha Neumann. Kakeknya dari pihak ayah, Jan
Douwes Dekker adalah kakak dari penulis terkenal Eduard Douwes Dekker adalah
kakak dari penulis terkenal Eduard Douwes Dekker atau Multatulli, sehingga
Ernest adalah cucu-kemenakan Multatulli.
Keluarga
Douwes Dekker adalah kreol ( Eropa murni yang tinggal di Hindia Belanda).
Sementara itu ibunya adalah keturunan campuran Jerman dan Jawa, dengan demikian
termasuk dalam golongan Indo-Eropa. Pada masa remajanya, Douwes Dekker menempuh
pendidikan HBS di Batavia di mana salah saru rekan seangkatannya adalah calon
regent di Serang, Banten, Achmaf Djajadiningrat.
Ia
memulai karirnya sebagai pegawai pada perkebunan kopi di Sumber Duren di kaki
Gunung Semeru. Pengalamannya bekerja di perkebunan tersebut membuatnya untuk
pertama kalinya menyaksikan realitas eksploitasi kolonial, Douwes Dekker muda
yang mengindentifikasikan diri sebagai orang Jawa, merasa terusik dengan
keadaan tersebut dan karenanya ia cenderung mengesampingkan status Eropanya dan
lebih membela kelompok pekerja bumiputera. Oleh R Jesse, atasannya di
perkebunan tersebut, ia dianggap tidak memperhatikan batas yang tepat dalam
hubungannya dengan para pekerja. Hal ini sudah merupakan suatu alasan untuk
memberhentikannya.
Demikian
pula ketika Ernst menjadi pegawai laboratorium dan kemudian menjadi ahli kimia
di pabrik gula Pajarakan, Probolinggo, ia tak dapat menahan diri ketika melihat
adanya kecurangan pada pembagian air irigasi antara perkebunan tebu dengan
sawah milik penduduk. Administratur pabrik gula tersebut kemudian
memperingatkannya untuk tidak mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Seperti
halnya Multatulli, ia memilih mundur demi mempertahankan prinsip dan harga
dirinya.
Kehidupannya
sebagai “ petualang “ dimulai pada usia puluh.. Dalam bulan Februari 1900,
Ernest Douwes Dekker bertolak dari Batavia menuju Transvaal, Afrika Selatan.
Pada saat itu di Afrika Selatan sedang terjadi perang antara kelompok penduduk
keturunan Belanda yang menamakan dirinya Zuid Afrikaner atau orang-orang Broer
dengan Inggris yang juga ingin memperluas wilayah koloninya. Pada abab
ke-18 golongan keturunan Belanda di Afrika itu membentuk Republik Transvaal di
bawah Paul Kruger, tetapi keberadaan negara tersebut terus terancam oleh
ekspansi Inggris. Dalam perang Broer pertama (1877-1889), golongan Broer
memperoleh kemenangan sehingga kekuasaan Republik Transvaal dipulihkan. Setelah
adanya penemuan tambang emas di Transvaal, pihak Inggris kembali melanjutkan
upaya-upaya aneksasi mereka terhadap wilayah Republik Transvaal, sehingga
peperangan pecah kembali pada akhir tahun 1899.
Kenyataan
adanya suatu kelompok minoritas – yang notabene merupakan bangsa leluhurnya,
Belanda – sedang terancam oleh kekuasaan kolonialis yang lebih kuat, membuat
semangat nasionalis Douwes Dekker tergerak. Bersama beberapa rekannya dari
Hindia Belanda seperti J.G Van Ham dan lain-lain, Douwes Dekker berangkat
sebeagai sukarelawan ke Afrika Selatan membantu orang-orang Broer melawan
orang-orang Inggris.
Tidak
terlampau siginifikan untuk mendeskripsikan panjang lebar peperangan di Afrika
Selatan tersebut. Akan tetapi, cukup jelas bahwa pengalaman perang tersebut
sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran Douwes Dekker sewlanjutnya
sebagai tokoh pergerakan Indis, dan memang terdapat kesejaharan antara
bangsa Broer di Afrika Selatan dengan orang-orang keturunan campuran di
negerinya. Keduanya mewakili jenis nasionalisme kreol, atau golongan keturunan
Eropah dan tersebar dan membentuk koloni-koloni di benua lain. Hal yang
ia sesalkan kemudian adalah bahwa peperangan tersebut tidak kurang dan tidak
lebih merupakan perang perebutan koloni antar dua bangsa kulit putih yang
berbeda, tetapi mereka sama-sama tidak menaryh perhatian atau cenderung
terasing dari komunitas bumiputera yang lebih besar, yaitu penduduk asli Afrika
Selatan.
Orang-orang
Eropa di Afrika memberlakukan batasan rasial yang ketat dan tidak memungkinkan
pembauran atau perkawinan hibrida. Ini membawanya pada suatu pemikiran mengenai
arti pengenai keberadaan komunitas Indo di Hindia Belanda, potensinya sebagai
faktor pemersatu dalam menciptakan identitas suatu bangsa mutli-etnik yang
mengatasi perbedaan dan pemisahan rasial dan etnik yang selama ini
dipelihara oleh rezim kolonial.
Dengan
kekalahan pihak Boer, Republik Transvaal jatuh kepada kekuasaan Inggris. Pada
April 1902 Douwes Dekker dan kawan-kawannya ditahan oleh pemerontah Inggris di
Pretoria dan kemudian dipindahkan ke Kolombo, Sri Langka. Tidak lama ia
menjalani penahanan karena tahun yang sama ia kembali ke Hindia Belanda
dan memulai debutnya dalam dunia politik dan jurnalisme. Pada tahun 10-3,
Douwes Dekker mulai bergabung dengan redaksi De Loomotif di bawah P Brooscholt
yang berpusat di Semarang . Surat kabar ini merupakan salah satu pendukung
gagasan Politik Etis, di samping Brooscholf sendiri adalah seorang pendukung
aliran sosial-demokrat. Kemudian ia bergabung dengan Soerabaiasch
Handelsblad, sebelumnya akhirnya bergabung di Bataviaasch Nieuwsblad
tempat sebelumnya ia pernah menulis opini dan pengalamannya sehubungan dengan
Perang Broer di Afrika Selatan. Keterlibatan Douwes Dekker dalam redaksi
surat kabar terakhir inilah yang terpenting dalam perjalanan karir intelektual
dan politiknya.
Bergabungnya
Douwes Dekker dalam surat kabar tersebut segerea memberi nuansa tersendiri
dalam kancah pergerakan Indis. Secara umum idealisme dan gagasannya bersesuaian
dengan Karel Zallbergh, pemimpin Bataviaasch Nieuwsblad yang menjadi
kawan dekat dan mentornya. Akan tetapi, menurut pandangan mentornya ini, Douwes
Dekker sedikit “ kurang matang dan cenderung lebih mengikuti perasaan daripada
perhitungan yang rasional dan cermat.”
Kedua
tokoh tersebut sama-sama terinspirasi oleh Ernst Haeckel, seorang ahli biologi
asal Jerman penganut teori Darwin. Bagi Douwes Dekker, hal yang menarik dari
pemikiran Haeckel adalah oposisinya terhadap wacana kekristenan
yang telah berhasil menjadi salah satu kekuatan pendorong imperialisme Barat.
Bagi Haeckel, Tuhan lebih identik dengan kekuatan alam dan pandangan ini
menyerupai konsep spiritual orang Timur. Sebagaimana kita ketahui Douwes Dekker
mengindentifikasikan orang Indo atau Indis sebagai bangsa Timur dan ia
cukup tertarik pada berbagai wacana tandingan terhadap wacana kolonial
yang Eurosentris. Sementara Zaalberg, di samping sudah lama tertarik pada
evolusioner juga mengagumi Haeckel sebagai seorang penganjur kebebasan
berfikir, anti dogmatisme, dan konservatisme Darwinisme atau Haeckelianisme
merupakan titik temu pertma pemikiran Zaalberg dan Douwes Dekker.
Dengan
demikian, tidak mengherankan bahwa antara Douwes Dekker dan Zaalberg terjadi
kerja sama erat dalam kampanye-kampanye melawan diskriminasi terhadap golongan
Indo. Hanya saja Douwes Dekker lebih menekankan sifat antikolonial, sehingga
hubungan itu harus diputuskan Sikap anti-kolonial Douwes Dekker terlihat
terutama melalu tulisannya. “ Hoe kan Holland he Spoedigst zijn Kolonial
verliezen ? ( Bagaimana cara Belanda cepat-cepat melepaskan jajahannya ? ) yang
dimuat dalam Niuewe Arahemsche Courant pada bulan Juli 1908.
Tulisannya
tersebut mengingatkan orang pada tulisan tokoh recolusi Amerika Benyamin
Franklin “ Seni untuk menghilangkan sebuah jajahan “. Inggris telah menerapkan
hal itu, dan membuat koloni mereka di Amerika melepaskan diri. Ia mempersoalkan
kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tampaknya tidak belajar dari situasi
tersebut, dan menyatakan bahwa Politik Etis atau modernisasi bukanlah cara
tepat untuk memperkuat loyalitas koloni Hindia. Yang lebih tepat ialah
membebaskannya, atau dengan menciptakan pemerintahan sendiri oleh rakyat
Hindia.
Gagasan
tersebut sangatlah radikal dalam konteks Hindia Belanda waktu itu. Akan tetapi,
jika kita melihat perkembangan nasionalisme di negara-negara terjajah lainnya,
hal demikian sama sekali tidak mengherankan. Douwes Dekker merupakan seseorang
tokoh pertama yang sungguh sungguh tertarik pada fenomena nasionalisme Asia dan
telah mengadakan studi mendalam mengenai itu. Ide nasionalisme Indis-nya dalam
banyak hal sangat sangat dipengaruhi okeh gerakan kaum mestizo di Filipina.
Pada tahun 1898, di bawah pimpinan Aguinaldo, para nasionalis Filipina yang
sebagian besar adalah berasal ras campuran ini berhasil mengadakan revolusi dan
mendirikan sebuah republik merdeka.
Dalam
kunjungannya ke Eropa antara 1910 hingga pertengahan 1911, Douwes Dekker sempat
menemui beberapa tokoh nasionalis dari India –Inggris (British-India), di
antaranya ialah tokoh radikal Shyamaji Krishnawarma, pemimpin redaksi
majalah The Indian Sociologist. Pertemuan ini cukup sifnifikan bagi perkembangan
pemikiran Douwes Dekker, karena kemudian sangat jelas terlihat bagaimana
pengaruh nasionalisme India ini bagi gerakan India yang dipimpinnya.
Sepulangnya dari perjalanan itulah, Douwes Dekker baru mengemukakan ide untuk
membentuk sebuah partai politik, di mana model dan sifat gerakannya banyak di
dasarkan pada Kongres Nasional India (Indian National Congres ), organisasi
nasionalis India yang telah berdiri sejak tahun 1895.
Perkembangan
lainnya adalah diadakannya Kongres Ras Universal di London (1911) yang untuk
pertama kalinya membicarakan ras campuran sebagai kategori etnisitas. Kongres
ini merupakan senjata ampuh bagi pemikiran Douwes Dekker selanjutnya mengenai
indentifikasi diri orang Indo. Hingga saat ini orang-irang Indo. Hingga saat itu
orang-orang Indo secara hukum memang diklasifikasikan sebagai Eropa karena
sebagai anak, mereka otomatis mewarisi nama keluarga Eropa dari garis ayah.
Dengan demikian, jarang di antara mereka menyadari bahwa status Eropanya
sebagai kontruksi kolonial yang membedakan mereka dari penduduk lainnya di
Kepulauan Hindia.
Douwes
Dekker sendiri telah sering memberi penekanan pada pembaca Indo-nya bahwa
mereka akan “berkhianat“ pada ibu jawa mereka jika mengambil sikap superior
tersebut. Oleh karenanya ia mendesak khalayak Indo untuk mengindentifikasikan
diri mereka sebagai “ orang-orang Hindia “ (de Indiers), tempat mereka lahir
dan dibesarkan. Sejauh itu, pengertian orang Hindia atau Indo hanya
dipergunakan di kalangan Indo-Eropa, karena 0rang-orang Indonesia biasa
menyebut diri mereka menurur identitas etnik dan regional (kedaerahan). Dalam
sebuah tulisannya, ia menyatakan bahwa orang-orang Indo – berbeda dengan orang
Jawa, Sunda, Batak, dan kelompok etnis lain- tidak memiliki indentitas regional
sehingga mereka tidak akan merasa kehilangan identitas dengan mengadopsi konsep
kebangsaan yang meliputi seluruh kepulauan Hindia.
Sebagai
langkah berikutnya, ia mendefinisikan orang Indis tidak sebatas Indo melainkan
segenap penduduk yang lahir dari bertempat tinggal di Hindia tanpa memandang
ras dan etnisitas. Dalam idealiisme Douwes Dekker masyarakat Indis baru akan
terbentuk melalui asosiasi golongan Indo-Eropa dengan orang Indonesia, bukan
sebaliknya orang bumiputera diasimiliasi mengikuti Eropa seperti keinginan para
pendukung Politik Etis.
Banyak
orang Indo – Eropa yang memerlukan sebuah gerakan dengan lebih banyak karakter
politik. Karena hal itu, kemudian didirikan Insulinde pada tahun 1907.
Organisasi ini banyak mengupayakan perbaikan terhadap keadaan orang Eropa yang
lahir di Hindia Belanda dengan menggunakan “ semua alat yang diperkenankan dan
sah menurut hukum” Oleh sebab itu, Insulinde terbuka untuk semua orang Eropa
berumur 18 atau lebih yang mengakui Hindia Belanda sebagai tanah airnya.
Elemen
politik itu semakin menguat berkat usaha salah seorang elite Indo-Eropa yang
paling penting. Ia adalah wartawan, penulis, dan aktivis politik bernama Ernst
Douwes Dekker. Pada tahun 1912, ia mendirikan Indische Partij yang merupakan
organisasi politik. Para indo-Eropa dalam organisasi ini memang menenuhi peran
mereka sebagai pelopor tapi mereka juga memiliki visi tujuan kelompok yang
lebih besar. Dengan semboyan Indie voor Indies (Hindia Belanda orang-orang
Indies) partai ini juga terbuka untuk prang Indonesia dan orang Tionghoa.
Mereka akan berjuang bersama-sama untuk kemerdekaan Hindia Belanda. Demikian
usaha mereka pada waktu itu.
Namun
kenyatannya tidak pernah sejauh yang mereka inginkan. Sebelum
gagasan-gagasannya sempat diendapkan, Indische Partij dilarang oleh pemerintah
kolonial pada 1913. Pengaruh partai yang tertinggal ini juga hanya sedikit.
Indische Partij adalah partai bagi orang Indo-Eropa karena 70 % pengikutnya
merupakan orang Indo-Eropa. Hal yang membuat perkembangan partai ini terlihat
adalah sikap masyarakat Eropa di koloni yang menjadi radikal. Mereka mencari
sarana pelampiasan politik atas ketidakpuasan mereka. Mereka berupaya agar
pencapaian kesetaraan bagi sebagian orang Eropa dapat memberi tempat bagi
keinginan mereka untuk merdeka, jika bahkan melalui kekerasaan.
Ernset
Douwes Dekker merupakan seotrang penting bagi kelompok yang tidak banyak
berpendapat ini. Pendapat-pendapat politik tertutama dituangkan lewat
kedudukannya sebagai wartawan majalah Het Tijdschrift dan De
Express Dari artikel-artikelnya terungkap kenapa gubernur jenderal pada
waktu itu, A.W.F Idenburg, memerintahkan untuk mengawasinya dengan seksama.
Douwes Dekker adalah orang yang menciptakan propaganda, pemogokan, sabotase dan
bahkan revolusi sebagai sarana mewujudkan harapan kemerdekaan. Ia pun menulis
tentang tema-tema yang banyak dibicarakan seperti “ ras-ras campur “ dan :
keunggulan ras.” Namun akhirnya ia memiliki kesimpulan-kesimpulan yang berbeda.
Dari sudut pandangnya, para keturunan hubungan campur justru menyatakan
karakter terbaik dari dua dunia di dalam diri mereka. Oleh karena itu,
orang Indo-Eropa sangat cocok berperan sebagai pemimpin dalam perjuangan
kemerdekaan.
Namun
gagasan-gagasan Douwes Dekker terlalu radikal bagi Indo-Eropa. Di samping itu,
kebanyakan dari mereka membutuhkan pergerakan yang khusus mewakili kepentingan
mereka, bukan kepentingan orang Indonesia dan Tionghoa. Pendapat yang sama juga
diutarakan oleh orang-orang Indonesia yang kemudian bernaung di bawah Sarekat
Islam dan Partai Komunis Indonesia.
Gagasan
Douwes Dekker tentang Indier sebagai konsep kewarganegaraaan dan
kebangsaan multik-etnik yang menghapuskan masyarakat berdasarkan kualifikasi
bertingkat menurut aras adalah sebuah serangan langsung terhadap hubungan
kolonial. Walaupun gagasan-gagasannya berakar sepenuhnya pada kesadaran orang
Indo atau Indis sebagai masyarakat pemukim majemuk, penekanan gerakan Indis
Douwes Dekker sudah mengarah pada sesuatu yang lebih radikal yaitu kemerdekaan.
Namun,
gagasan revolusioner Douwes Dekker tampil terlalu prematur dan tampaknya gagal
ketika Indische Partij yang didirikannya bubar dan para pemimpinnya dibuang. IP
dituduh sebagai organisasi revolusioner yang “ menyebarkan permusuhan dan
tentangan di antara kelompok-kelompok penduduk. Benarkah demikian ? Jika dianalisis
lebih lanjut gagasan yang ia munculkan memang sedikit banyak mengandung
kelemahan baik dalam hubungannya dengan orang-orang Indo-Eropa maupun
orang-orang Indonesia.
Nasionalisme
Indie sebagai gerakan politik sebagaimana diusung oleh Indische Partij dan
mengambil bentuk sebagai gerakan Indo-Eropa, khususnya para elitenya.
Mayoritas dari mereka seharusnya lebih diprioritaskan pada terjaminnya hak-hak
seluruh warga Indo di Hindia. Secara umum, gerakan itu juga akan mendukung
penciptaan masyarakat sipil Hindia Belanda yang menuju kemandirian politik
secara evolusioner, tanpa merusak sendi-sendi masyarakat kolonial. Masyarakat
elite Indo-Eropa pada dasarnya menganggap Hindia Belanda sebagai keluarga
besar, maka harmoninya harus dijaga sepenuhnya dan jangan sampai menimbulkan
pertentangan antara kelompok, apalagi di antara “kita“, sesama orang Indies.
Pengertian Indis yang umum diterima adalah Indies sebagai masyarakat pemukim
Eropa, keturunannya dan atau orang-orang yang memiliki hubungan secara kekeluargaan
dengannya. Paling luas pengertian Indis mencakup pula orang-orang
Indonesia yang terbaratkan (meliputi komunitas Kristen dan kaum Teosofis
Jawa ).
Dengan
demikian, Douwes Dekker bersama konsepsi Indernya melangkah terlalu jauh (dan
terlalu awal) karena ia ingin merangkul semua orang. Di samping itu ia
dengan gerakan Indische Partij-nya dianggap menyebarkan kebencian orang Indo
kecil terhadap orang-orang Eropa pendatang dan pemerintah kolonial, sehingga ia
dianggap pula menyebarkan permusuhan di antara “ kita “. Sebagai reaksi
terhadap aliran pemikiran ini kemudian beberapa tokoh Indo-Eropa di bawah
pengaruh Zaalberg mendirikan Indo Europeesch Verbond (IEV), yang menegaskan
kembali konsep Indies sebagai Indische Nederlands atau orang Belanda berkarakter
Hindia, orang Eropa tetap berbudaya “tropis’. Dalam anggaran dasarnya IEV
secara tergas menyatakan bahwa definisi Indis adalah masyarakat keturunan Eropa
yang lain, dan semua hubungan dengan kaum revolusioner ditolak.
Konsep
nasionalisme menurut Douwes Dekker dengan gagasan tentang Indier multirasial
dan multi-etnik itu juga mengandung beberapa kelemahan jika dihadapkan dalam
konteks pergerakan Indonesia. Alur pemikiran maupun gerakan politik yang
digagasnya cukup jelas mengimplikasikan adanya sentralitas kedudukan kaum
Indo-Eropa dalam identitas kebangsaan yang ingin dibangun. Karena ide-ide yang
dibawanya, konsep-konsepnya tentang bangsa, hak-hak kewarganegaraan, kesetaraan
dan sebagainya berasal dari Barat, maka tentunya orang-orang Indo-Eropa sendirilah
yang memegang peran, atau paling tidak orang orang-orang Indonesia yang
berpendidikan dan berorientasi Barat.
Indische
Partij didirikan pada tanggal 6 September 1912 di Bandung dan partai itu,
berganti nama menjadi Nationale Indische Partij dan dibubarkan pada Mei 1923.
Tahun 1913 asas dasar Indische Partij tidak diterima oleh Gubernur Jenderal
Belanda di Hindia Belanda dan Indische Partij dilarang oleh pemerintahan
kolonial Belanda. Para pengikut Indische Partij bergabung dalam Isulinde, yaitu
suatu organisasi orang Indo yang didirikan pada tahun 1907. Pada tahun 1919,
Nationale Indische Partij didirikan sebagai pengganti Isulinde. Ide mengenai
kerja sama antar golongan masyarakat di Hindia Belanda berkembang pada awal
ke-20, meskipun akhirnya tidak berhasil karena terjadi perpecahan antara kaum
bumiputera dan kaum Eropa serta kaum Indo.
No comments:
Post a Comment