Sebagai suatu pembelajaran, pembelajaran bahasa
dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pembelajaran yang telah
diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan
yang perlu dipenuhi. Hal ini diupayakan tercapai melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran yang secara matang dirancang dan diselenggarakan secara
sungguh-sunguh. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan bahan ajar
dan pelatihan yang terpilih dan disusun secara teliti demi pencapaian tujuan.
Upaya memastikan ketercapaian tujuan yang telah dirumuskan dilakukan dengan
melaksanakan ragkaian evaluasi. Faktor
inilah yang mendudukkan evaluasi sebagai bagian dari desain pembelajaran.
Bermula dari tujuan yang harus dicapai untuk memenuhi
sejumlah kebutuhan, serangkaian kegiatan dirancang dan diselenggarakan. Tujuan
pembelajaran, proses kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hasil kegiatan saling
terkait dalam satu pola hubungan yang erat. Suatu komponen penyelenggaraan
pembelajaran terdahulu memengaruhi bahkan menentukan penyenggaraan komponen
berikutnya. Dalam pembelajaran bahasa, kemampuan bahasa reseptif, menyimak dan
membaca merupakan komponen dasar yang amat berpengaruh terhadap ketercapaian
komponen kemampuan bahasa produktif berikutnya, dalam hal ini berbicara dan
menulis.
Evaluasi bahasa pada umumnya lebih dikaitkan secara
terbatas dengan tingkat keberhasilan pembelajaran yang telah diselengarakan.
Evaluai tingkat keberhasilan berbahasa seringkali dikaitkan dengan tingkat
keberhasilan pembelajaran dalam bentuk nilai yang diperoleh dari guru pada masa
tertentu, terutama di akhir satuan waktu belajar. Meskipun pemahaman tersebut
tidak keliru, pencapaian tingkat keberhasilan pembelajar sebenarnya hanyalah
merupakan sebagian dari tujuan sekaligus kegunaan dari hasil evaluasi.
Bagi komponen penyelenggara pembelajaran, nilai yang
dicapai peserta didik atau pembelajar merupakan tingkat keberhasilan
pembelajaran yang dicapai oleh pembelajar. Bagi guru nilai merupakan unjuk
kerjanya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dan interakasi dengan
pembelajar. Maka, akan bijaksana manakala guru memerhatikan tingkat pemahaman
pembelajar tentang materi yang disampaikannya dalam proses layanan
pembelajaran. Guru dapat melakukan telaah terhadap unjuk kerjanya untuk
menganalisis tahap perencanaan, proses layanan pembelajaran,dan pengevaluasian yang
dilakukannya. Hasil evaluasi digunakan sebagai umpan balik bagi komponen awal
dan layanan proses pembelajarannya.
Sasaran penyelenggaraan evaluasi kemapuan bahasa adalah
kemampuan menggunakan bahasa secara produktif, dalam hal ini ranah menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan menyimak mengacu pada kemampuan
memahami informasi lisan yang disampaikan pihak lain, kemampuan berbicara
merujuk pada kemampuan mengungkapkan pikiran dan isi hati melalui rangkaian
kata-kata yang dilisankan, kemampuan membaca menunjuk pada kemampuan memahami
maksud dan pikiran orang lain yang diungkapkan melalui tulisan, dan kemampuan
menulis mengacu pada kemampuan mengungkapkan pikiran dan isi hati secara
tertulis. Kemampuan menyimak an membaca terklasifikasikan dalam kemampuan
bahasa pasif-reseptif, sedangkan kemampuan berbicara dan menulis termasuk dalam
klasifikasi kemampuan bahasa aktif-produktif.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendekatan Tes Bahasa
Tes
kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada hasil pemikiran ilmu bahasa pada
pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa. Dalam kajian dikenal adanya
beberapa cara pandang dan unsur yang dianggap penting sesuai dengan perkembangan
ilmu. Tes bahasa mengenal 6 bentuk pendekatan: 1) pendekatan tradisional; 2)
pendekatan diskret; 3) pendekatan integratif; 4) pendekatan pragmatik; 5) pendekatan komunikatif, dan 6) pendekatan
otentik.
1) Pendekatan
Tradisional
Pendekatan tes bahasa tradisional
melakukan tes tidak berdasarkan patokan atau rambu-rambu baku tentang jenis
kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara mengetes, dan bagaimana cara
menilainya semuanya diserahkan kepada penyelenggara tes. Biasanya pendekatan
tradisonal lebih mengutamakan tes tata bahasa sebagaimana proses
pembelajarannya. Dalam penerapannya tes bahasa pendekatan tradisional
lebih banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektivitas dalam pemilihan
kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, penetapan bahan dan isi tes, serta
cara penilaiannya.
2) Pendekatan Diskret
Discrete point test: merupakan tes yang hanya
menekankan/ menyangkut satu aspek kebahasaan pada satu waktu. Tiap butir tes
hanya untuk mengukur satu aspek kebahasaan: fonologi, morfologi, sintaksis,
kosakata. Tes diskret juga dapat menyangkut tes keterampilan berbahasa. Dasar
pemikiran tes diskret (juga dalam hal pengajaran) adalah teori strukturalisme
(linguistik) dan behaviorisme (psikologi). Kedua teori itu beranggapan bahwa
keseluruhan dapat dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian atau, keseluruhan adalah
jumlah dari bagian-bagian. Tiap bagian tersebut (kebahasaan dan keterampilan)
dapat diajarkan dan diteskan secara terpisah. Pembelajaran dan pengujian
kebahasaan dalam teori ini mengabaikan konteks.
Pandangan bahwa teori tes diskret dapat
memecah-mecah unsur kebahasaan dan menghadirkannya dalam keadaan terisolasi,
dianggap sebagai kelemahan tes diskret yang paling mencolok. Orang tidak
mungkin belajar bahasa dalam situasi yang mutlak diskret dan terisolasi (tanpa
konteks). Lagi pula dalam hal belajar bahasa, keseluruhan belum tentu sama
jumlah dari bagian-bagian ada kompetensi yang harus dimiliki seseorang
yang di luar kebahasaan (pendekatan komunikatif). Kompetensi komunikatif
memprasyaratakan kompetensi-kompetensi lain selain unsur bahasa, misalnya
kompetensi sosial (faktor sosio-kultural). Faktor sosio-kultural
memegang peran penting dalam menunjang kompetensi komunikatif seseorang. Tes
diskret gagal untuk mengukur kompetensi komunikatif yang justru memprasyaratkan
adanya keterlibatan banyak unsur kebahasaan dan faktor yang di luar bahasa.
Persoalan yang muncul
adalah apakah tes diskret tidak perlu lagi dipergunakan di sekolah
untuk mengukur kadar keberhasilan belajar bahasa siswa? Teori baru
dibangun atau sebagai reaksi teori sebelumnya; yang baru tak dapat sama sekali
meninggalkan yang lama. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa tak
dapat sama sekali meninggalkan pandangan strukturalisme. Dalam tahap awal
pembelajaran bahasa bagi orang dewasa, pengajaran unsur struktural bahasa masih
amat dibutuhkan. Orang tidak akan bisa begitu saja diajak berbicara bahasa
asing sebelum memiliki pengetahuan tentang sistem bahasa itu. Artinya,
pengajaran unsur bahasa masih diperlukan. Jika pengajaran unsur struktur masih
dilakukan, tes diskret mau tidak mau masih juga diperlukan atau minimal untuk
tujuan remidial.
3) Pendekatan
Integratif
Integrative test merupakan bentuk tes yang
mengukur lebih dari unsur kebahasaan atau satu keterampilan berbahasa dalam
satu waktu. Dalam tes integratif, ada beberapa unsur kebahasaan atau
keterampilan berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan. Dalam
satu kali tes minimal ada dua aspek/keterampilan yang diukur. Aspek-aspek
kebahasaan tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan sehingga ada
keterkaitan antar unsur/ antar keterampilan. Bahasa yang alamiah bukanlah
kumpulan dari unsur-unsur bahasa semata. Dalam tes keterampilan bahasa, bahkan
akan lebih baik jika juga mempertimbangkan aspek konteks. Tes integratif memang
sudah memadukan beberapa unsur kebahasaan, tetapi belum tentu kontekstual. Tes
yang kontekstual lazimnya bersifat pragmatik/komunikatif. Tes
pragmatik/komunikatif pasti integratif, tetapi tes integratif belum tentu
pragmatik.
Tes integratif yang tidak kontekstual
masih terisolasi, mirip-mirip dengan tes diskret, belum mencerminkan penggunaan
bahasa yang alamiah. Berbagai tes unsur kebahasaan yang diteskan minimal berada
dalam konteks kalimat, atau konteks yang lebih besar. Dilihat dari sudut
pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat lebih menjanjikan
daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan
pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang
dipergunakan dalam pembelajaran bahasa di kelas.
4) Pendektan Tes
Pragmatik
Tes pragmatik berangkat dari pandangan
bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang dinyatakan memiliki
kompetensi berbahasa adalah jika mampu mempergunakan bahasa itu dalam konteks
yang sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam tes keterampilan
berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar atau peserta didik mampu
mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang sesungguhnya.
Tes pragmatik adalah prosedur/tugas
yang menuntut pembelajar menghasilkan urutan unsur bahasa sesuai dengan
pemakaian bahasa secara nyata, dan sekaligus menuntut pembelajar
menghubungkannya dengan konteks ekstralinguistik. Dalam tes pragmatik tak ada
lagi tes struktur/kosakata secara tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan
terlibat dan langsung dikaitkan dengan unsur ekstralinguistik sekaligus. Dalam
kehidupan berbahasa ada dua hal yang terlibat: konteks linguistik dan
ekstralinguisik. Konteks linguistik: bahasa sebagai lambang verbal dengan
segala unsurnya
Konteks ekstralinguistik merupakan
dunia atau sesuatu yang di luar bahasa, sesuatu yang disampaikan lewat media
bahasa. Dalam kehidupan berbahasa terdapat hubungan sistematis dan timbal-balik
antara kedua konteks tersebut. Ada berbagai hal di luar bahasa yang berpengaruh
terhadap pemilihan wujud bahasa dalam berkomunikasi, dan itulah yang disebut
sebagai faktor penentu atau pragmatik. Faktor pragmatik/faktor penentu ada
banyak jenisnya, misalnya siapa yang berkomunikasi, apa tujuan komunikasi,
masalah yang dikomunikasikan, tingkat formalitas ketika komunikasi terjadi, dan
lain-lain.
Tes pragmatik mengukur kemampuan
berbahasa pembelajar dalam konteks yang sesungguhnya. Namun, itu harus ada
kesesuaian dengan metode pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa haruslah
menekankan pada kemampuan berbahasa, bukan sistem bahasa. Dengan begitu ada
keselarasan antara model pembelajaran dan model penilaian. Namun, pada
praktiknya tidak mudah mengreaikan pembelajaran bahasa yang benar-benar
kontekstual dan komunikatif. Artinya, pembelajaran “penggunaan bahasa”,
kemampuan berbahasa, masih saja artifisial, namun itu sudah lebih baik daripada
yang benar-benar diskret dan terisolasi. Tes pragmatik yang masih berwujud
penggunaan dalam konteks artifisial juga sudah lebih baik daripada yang
benar-benar diskret yang hanya bertujuan mengukur pengetahuan tentang sistem
bahasa.
Ada banyak model dan contoh, dan salah satunya adalah tes
tescloze (cloze test). Tes jenis ini baik dipakai untuk pemahaman bacaan; tes pemahaman
wacana dengan tes objektif berkorelasi secara positif dengan hasil tes cloze. Tes cloze adalah
tes yang berupa pengisian kembali kata-kata ke-n yang sengaja dihilangkan dalam
sebuah wacana. Kata-kata yang dihilangkan biasanya kata yang ke-5, ke-6, ke-7. Untuk dapat
mengisi tempat-tempat kosong, pembelajar harus memahami makna wacana. Teknik
penyekoran: teknik kata eksak (jawaban siswa harus sama dengan kata asli yang
dihilangkan) dan teknik kelayakan konteks (jawaban siswa tidak harus persis dengan
kata asli sepanjang dimungkin secara konteks).
Teknik kelayakan konteks lebih
menguntungkan; semua kata yang mempunyai peluang sebagai jawaban benar
diperingkat (diskala; 1-4). Tescloze juga baik untuk
menilai tingkat kesulitan wacana bagi pembelajar level tertentu: jika jawaban
benar siswa ≥75%, wacana itu tergolong mudah; jika ≤20% wacana tersebut
tergolong sulit. Jika yang diteskan itu sampel dari wacana yang panjang, hasil
tes itu mencerminkan tingkat kesulitan wacana secara keseluruhan.
5) Pendekatan Tes
Komunikatif
Sebenarnya ada tumpang-tindih antara
tes pragmatik dan tes komunikatif; bahkan tak jarang keduanya disamakan.
Keduanya sama-sama berpandangan bahwa pembelajaran dan tes bahasa haruslah
berangkat dari penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes tentang sistem
bahasa dan dalam keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini sama-sama menekankan
pentingnya tes kemampuan berbahasa (kinerja bahasa, performansi bahasa), dan
bukan tes terhadap unsur-unsur bahasa (diskret). Tampaknya, adanya perbedaan
itu lebih disebabkan oleh penamaan yang diberikan oleh orang yang berbeda. Tes
komunikatif atau tes kompetensi komunikatif terlihat lebih ketat
memprasyaratkan adanya konteks pemakaian bahasa.
Tes komunikatif dilakukan sejalan
dengan penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan
ini menekankan pada pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa
untuk keperluan berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan
bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan aktif-produktif
(berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan semua aspek
bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga
melibatkan seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic
language) menjadisemacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes
bahasa. Bahasa otentik adalah bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang
sesungguhnya dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya juga
menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes komunikatif adalah tes
pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang jelas; jadi ia berupa tes
kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah dikreasikan sedemikian
rupa dengan melibat berbagai faktor penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud
bahasa yang mesti dipergunakan sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes
pemahaman terhadap sebuah dialog (menyimak), maka harus dapat dikenali siapa
yang berbicara, bagaimana situasi, topik pembicaraan, dan lain-lain. Tes
terhadap komponen bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika diperlukan,
boleh dilakukan tetapi tetap harus berdasarkan konteks; hal ini misalnya
terkait dengan tujuan remidial . Artinya, kosakata dan struktur itu diambil
dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif, terutama dalam tes
pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu masih diperlukan.
6) Tes
Otentik
Sebagaimana halnya portofolio, sejak
era KBK/KTSP, penilaian otentik (authetic assessment) kini sedang naik daun.
Dalam arti disarankan dan banyak digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran
khususnya pembelajaran bahasa. Portofolio juga merupakan salah bentuk penilaian
otentik. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus.
Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian KBM dapat dinilai
secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil
akhir (produk) saja.
Lagi pula amat banyak kinerja siswa
yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya haruslah dilakukan selama dan
sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Sejalan dengan teori
Bloom, penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif, dan psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan saja Misalnya
dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan
lapangan/harian, portofolio, dan lain-lain. Penilaian yang dilakukan lewat
berbagai cara (model), menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan
produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat
berarti dan sekaligus menjamin objektivitas, bersifat nyata dan
konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.
Tes otentik dapat dimaknakan
bermaca-macam, tergantung oleh siapa dan untuk lingkup apa, namun umumnya
bersifat saling melengkapi. Penilaian otentik menunjuk pada pemberian tugas
kepada pembelajar untuk menampilkan kemampuannya mempergunakan bahasa target
secara bermakna dan kemudian dinilai. Authentic
assessment: a form of assessment in which students are asked to perform
real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge
and skills (John Mueller, 2008). Authentic
assessment: performance assessment call upon the examinee to demonstrate
specific skills and competencies, that is, to aplly the skills and knowledge
they have mastered (Richard J. Stiggins, 1987)
B. Bentuk-bentuk tes Kebahasaan
Sesuai dengan ranah
keterampilan berbahasa, bentuk tes kebahasaan diterapkan dalam keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
1) Tes Menyimak
Dalam kegiatan sehari-hari, menyimak adalah salah satu
kegiatan yang sangat penting selain keterampilan yang lainnya. Kegiatan
menyimak juga dapat menambah ilmu atau wawasan yang belum dimiliki di antaranya
melalui radio, tv, atau langsung dari nara sumbernya. Jadi menyimak memegang
peranan penting setelah itu barulah keterampilan berbicara, membaca, dan
menulis. Dalam proses belajar mengajar, menyimak sering diabaikan karena tanpa
diajarkan pun keterampilan ini dilakukan. Sebenarnya apabila kita memahami
konsep menyimak, apapun yang dilakukan tampaknya selalu ada proses menyimaknya.
Kenyataan ini terjadi di segala sektor kehidupan. Melalui proses menyimaklah
seseorang mengenal konsep segala informasi baik berupa ilmu pengetahuan maupun
hal-hal lain yang belum kita kenal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, kita ketahui bahwa
kompetensi yang dimiliki guru Sekolah Menengah Pertama sudah ada karena guru
SMP adalah mata pelajaran, artinya setiap guru hanya bertanggung jawab pada
satu mata pelajaran atau bidang studi saja. Berangkat dari dasar pemikiran ini
seharusnya guru pada jenjang ini dapat menghasilkan anak didik yang lebih baik
sesuai dengan harapan masyarakat. Tetapi apa yang kita lihat di lapangan
sekarang? Kemampuan anak didik kita jauh dari harapan yang diharapkan, khususnya
dalam kemampuan menyimak. Apakah penyebabnya?
Apakah karena kompetensi guru yang terbatas mengakibatkan
pada proses belajar-mengajar kurang baik sebab guru tidak dapat menentukan mana
yang betul dan yang salah, atau siswa kurang meminati pelajaran Bahasa
Indonesia karena tanpa belajar pun siswa sudah mengetahuinya. Sebaiknya guru
dalam melakukan proses belajar-mengajar harus mempunyai kompetensi dan
menguasai metode, pendekatan, atau teknik sebab apabila guru tidak memiliki
kemampuan tersebut di atas maka proses pembelajaran yang dilaksanakan akan
gagal. Artinya konsep yang akan disampaikan atau yang harus dikuasai siswa
tidak jelas. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan
teori menyimak yang harus dikuasai oleh seorang guru Bahasa Indonesia agar saat
melakukan proses pengajaran dapat berhasil dengan baik.
Menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang pertama
kali dikuasai anak sebelum menguasaai keterampilan berbicara, membaca, dan
menulis. Keterampilan menyimak pada hakikatnya lebih bersifat kognitif dengan
aspek yang lebih tinggi. Kemampuan ini mencakup menerima, menganalisis,
memahami, dan menyimpulkan informasi lisan yang disampaikan dalam bahasa
target.
Berikut ini teknik evaluasi yang dapat digunakan untuk
mengetahui keterampian menyimak:
1) Menyebutkan/menuliskan
kembali suatu informasi sederhana (fonem, nama sesuatu, jumlah, keadaan
sesuatu, peristiwa, dan lain-lain)
2) Menyebutkan/menuliskan
kembali deskripsi atau uraian suatu peristiwa, benda,
keadaan, sebab akibat, dan lain-lain.
3) Menyebutkan/menuliskan
kembali suatu hal (kelahiran, pengalaman kawan-kawan, dan lain-lain).
4) Menyebutkan/menuliskan
kembali suatu cerita.
5) Menyimpulkan
suatu percakapan.
6) Menjawab
suat pertanyaan dari suatu soal (objektif, esai berstuktural, atau esai bebas).
7) Menyimpulkan
tema dan unsur-unsur lainnya dari sebuah cerita.
8) Memperbaiki
ucapan-ucapan yang salah yang tidak sesuai dengan bahasa target.
Tes menyimak adalah tes yang tidak hanya untuk mengetahui
apakah seseorang mendengarkan atau tidak, tetapi juga untuk mengukur kemampuan
seseorang memahami bahasa lisan yang didengarnya. Sampel yang disimakkan dalam
tes ini dapat berupa satu kalimat perintah, pertanyaan, atau pernyataan tentang
fakta; juga berupa simulasi percakapan singkat atau uraian wacana ekspositori.
Namun, apapun hakikat sampel itu, peserta tes (subjek) dituntut secara serentak
(simultan) menanggapi ”sinyal” fonolofis, gramatikal, dan leksikal; dengan
jawaban mereka menunjukkan sejauh mana mereka dapat menangkap makna dari unsur
yang disinyalkan bila digunakan dalam komunikasi verbal (Harris,1969;35).
Tes menyimak dapat disesuaikan dengan tingkatannya, yaitu
tes menyimak tingkat marjinal atau deskriptif, tes menyimak tingkat apresiatif,
tes menyimak tingkat komprehensif, tes menyimak tingkat kritis, dan tes
menyimak tingkat terapis. Tes menyimak tingkat marjinal bertujuan untuk
mengetahui tingkat kepekaan pebelajar dalam membedakan suara dan untuk
mengembangkan kepekaan pada komunikasi nonverbal. Tes menyimak apresiatif
bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan pebelajar dalam menangkap dan
memehami bahan simakan yang berhubungan dengan perasaan dan emosi sehingga
dalam pelaksanaannya, pebelajar diberi bahan simakan yang bersifat menyenangkan,misalnya:
drama, puisi, lagu, cerita, dan sebagainya.
Tes menyimak komprehensif bertujuan untuk mengetahui
tingkat pemahaman pebelajar terhadap pesan yang disimak. Tes menyimak kritis
bertujuan untuk mengetahui pemahaman pebelajar terhadap bahan simakan yang
dilanjutkan dengan memberi evaluasi, sedangkan tes menyimak terapis bertujuan
untuk menyembuhkan seseorang, yang biasa dilakukan oleh seorang psikolog.
2) Tes Berbicara
Berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa.
Aspek-aspek keterampilan bahasa lainnya adalah menyimak, membaca, dan menulis.
Keempat aspek tersebut berkaitan erat, antara berbicara dengan menyimak,
berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca.
Keterampilan berbicara menunjang keterampilan bahasa
lainnya. Pembicara yang baik mampu memberikan contoh agar dapat ditiru oleh
penyimak yang baik. Pembicara yang baik mampu memudahkan penyimak untuk
menangkap pembicaraan yang disampaikan. Berbicara dan menyimak merupakan
kegiatan berbahasa lisan, dua-duanya berkaitan dengan bunyi bahasa. Dalam
berbicara seseorang menyampaikan informasi melalui suara atau bunyi bahasa,
sedangkan dalam menyimak seseorang mendapat informasi melalui ucapan atau
suara. Berbicara dan menyimak merupakan dua kegiatan yang tidak dapat di-pisahkan,
kegiatan berbicara selalu disertai kegiatan menyimak, demikian pula kegiatan
menyimak akan didahului kegiatan berbicara. Keduanya sama-sama penting dalam
komunikasi.
Manusia adalah mahluk sosial. Manusia baru akan menjadi
manusia bila ia hidup dalam lingkungan manusia. Kesadaran betapa pentingnya
berbicara dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat dapat mewujudkan bermacam
aneka bentuk. Lingkungan terkecil adalah keluarga, dapat pula dalam bentuk lain
seperti perkumpulan sosial, agama, kesenian, olah raga, dan sebagainya.
Setiap manusia dituntut terampil berkomunikasi, terampil
menyatakan pikiran, gagasan, ide, dan perasaan. Terampil menangkap
informasi-informasi yang didapat, dan terampil pula menyampaikan
informasi-informasi yang diterimanya. Kehidupan manusia setiap hari dihadapkan
dalam berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara. Contohnya dalam
lingkungan keluarga, dialog selalu terjadi, antara ayah dan ibu, orang tua dan
anak, dan antara anak-anak itu sendiri. Di luar lingkungan keluarga juga
terjadi pembicaraan antara tetangga dengan tetangga, antar teman sepermainan,
rekan kerja, teman perkuliahan dan sebagainya. Terjadi pula pembicaraan di
pasar, di swalayan, di pertemuan-pertemuan, bahkan terkadang terjadi adu
argumentasi dalam suatu forum. Semua situasi tersebut menuntut agar kita mampu
terampil berbicara.
Berbicara berperan penting dalam pendidikan keluarga.
Tata krama dalam pergaulan diajarkan secara lisan. Adat kebiasaan, norma-norma
yang berlaku juga seringkali diajarkan secara lisan. Hal ini berlaku dalam
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Berbicara merupakan
keterampilan dalam menyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain.
Penggunaan bahasa secara lisan dapat pula dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berbicara secara langsung adalah sebagai
berikut: (a) pelafalan; (b) intonasi; (c) pilihan kata; (d) struktur kata dan
kalimat; (e) sistematika pembicaraan; (f) isi pembicaraan; (g) cara memulai dan
mengakhiri pembicaraan; dan (h) penampilan.
Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda
namun berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh
kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan
berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi,
bertelepon, tanya-jawab, interview, dan sebagainya. Kegiatan berbicara dan
menyimak saling melengkapi, tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada
orang yang menyimak. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang
berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata,
dan struktur kalimat.
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan
fungsi. Berbicara bersifat produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan
berfungsi sebagai penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana
bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi. Bahan pembicaraan
sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca
semakin banyak informasi yang diperolehnya. Hal ini merupakan pendorong bagi
yang bersangkutan untuk mengekspresikan kembali informasi yang diperolehnya
antara lain melalui berbicara.
Kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis bersifat
produktif-ekspresif. Kedua kegiatan itu berfungsi sebagai penyampai informasi.
Penyampaian informasi melalui kegiatan berbicara disalurkan melalui bahasa
lisan, sedangkan penyampaian informasi dalam kegiatan menulis disalurkan
melalui bahasa tulis. Informasi yang digunakan dalam berbicara dan menulis diperoleh
melalui kegiatan menyimak ataupun membaca. Keterampilan menggunakan kaidah
kebahasaan dalam kegiatan berbicara menunjang keterampilan menulis.
Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan menunjang keterampilan berbicara.
Tes yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan
berbicara adalah sebagai berikut:
a) Tes
kemampuan berbicara berdasarkan gambar
Bentuk tes ini di sajikan dengan
memberikan rangsangan berupa perangkat gambar yang merupakan satu rangakaian
cerita, dan testi diminta untuk menjawab pertanyaan sehubungan dengan rangkaian
gambar atau menceritakan rangakaian gambar.
b) Wawancara
Dipakai untuk mengukur kemampuan testi
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. tes ini bisa dipakai apabila testi
memiliki kemampuan berbahasa yang cukup mewadahi.
c) Bercerita
Kemampuan berbicara yang berbentuk
berbicara dapat dilakukan dengan cara meminta testi untuk mengungkapkan sesuatu
(pengalamannya atau topik tertentu).
d) Diskusi
Tes ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan testi menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat, serta
menanggapi ide atau pikiran yang disampaikan oleh peserta diskusi yang lain
secara kritis.
e) Ujian
terstruktur
Dapat dilakukan dengan cara membaca
kutipan, mengubah kalimat, dan membuat kalimat. Dengan tujuan untuk menguji
kemampuan testi dalam menggunakan bahasa lisan.
3) Tes
Kompetensi Kebahasaan Membaca
Tes biasanya diartikan sebagai alat yang dipergunakan
untuk mendapatkan data terhadap seseorang yang dinilai. Tes digunakan untuk
memperoleh informasi tentang seseorang yang juga dipergunakan untuk maksud
pendidikan. Kegiatan membaca ada bermacam-macan
di antaranya membaca cepat, membaca sekilas, membaca keras, dan membaca
pemahaman. Pembedaan jenis
membaca itu dapat didasarkan atas tujuannya atau teknisnya. Dalam tulisan ini,
membaca yang dimaksud adalah membaca pemahaman, atau membaca untuk memahami isi
bacaan.
Bentuk tes membaca pemahaman meliputi; (1) tes membaca
pemahaman literal, (2) tes membaca pemahaman interpretatif, dan (3) tes
pemahaman membaca kritis.
Tes kemampuan berbahasa yang bersifat aktif reseptif pada
hakikatnya merupakan kemampuan atau proses decoding, kemampuan
untuk memahami bahasa yang dituturkan oleh pihak lain. Pemahaman terhadap
bahasa yang dituturkan oleh pihak lain tersebut dapat melalui sarana bunyi atau
sarana tulisan. Yang pertama merupakan kegiatan menyimak, sedangkan yang kedua
adalah kegiatan membaca.
Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur
kemampuan siswa memahami isi atau informasi yang terdapat dalam bacaan. Sebagaimana tujuan membaca yang telah dikemukakan Anderson
dalam Tarigan (2004) bahwa ada tujuh tujuan membaca yaitu: (1) membaca untuk
memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for facts), (2)
membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas), (3)
membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for
sequence or organization), (4) membaca untuk menyimpulkan, membaca
inferensi (reading for inference), (5) membaca untuk mengelompokkan,
membaca untuk mengklasifikasikan (reading for classify), (6) membaca
menilai, membaca mengevaluasi (reading for evaluate), dan (7) membaca
untuk membandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast).
Dengan demikian, maka bacaan atau wacana yang diujikan
hendaklah yang mengandung informasi yang menuntut untuk dipahami. Oleh karena
itu, seorang guru sebagai evaluator dalam menguji kemampuan membaca harus
benar-benar mampu memilih bacaan yang layak untuk diujikan.
4) Tes
Menulis
Manulis
diartikan sebagai aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran atau perasaan
ke dalam lambang-lambang kebahasaan. Kemampuan menulis yang merupakan
keterampilan berbahasa produktif lisan melibatkan kemampuan penggunaan ejaan,
penggunaan kosa kata, penggunaan kalimat, penggunaan jenis komposisi, penentuan
ide, pengolahan ide, pengorganisasian ide. Kesemua inilah yang diukur dalam
kemampuan menulis.
Secara
umum, bentuk tes yang digunakan dalam tes menulis dapat berupa tes objektif
dengan berbagai variasinya (untuk tingkat ingatan dan pemahaman) dan tes
sujektif dengan berbagai variasinya (untuk tingkat penerapan ke atas).
Ragam bentuk tes subjektif yang digunakan dalam tes
menulis dapat dipaparkan sebagai berikut.
a) Tes
menulis berdasarkan rangsangan visual
Bentuk tes menulis berdasarkan
rangsangan visual dilakukan dengan cara disajikan gambar atau film yang
membentuk rangkaian cerita, dan testi diminta untuk membuat karangan
berdasarkan gambar atau film yang telah diberikan.
b) Tes
menulis berdasarkan rangsangan suara
Bentuk tes ini dilaksanakan dengan cara
disajikan suara yang dapat berbentuk ceramah, diskusi atau tanya jawab, baik
yang berupa rekaman suara maupan langsung.
c) Tes
menulis dengan rangsangan buku
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara
menyajikan teks bacaan, dan testi diminta untuk membuat karangan berdasarkan
teks yang telah dibacanya. Bentuk tugas yang harus dikerjakan testi dapat
berupa membuat ringkasan/rangkuman, membentuk resensi, atau membuat kritik.
d) Tes
menulis laporan
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara
meminta testi untuk membuat laporan kegiatan yang pernah dilakukan (mengikuti
khotbah jum’ah, mengikuti seminar/diskusi, mengikuti Darmawisata, atau kegiatan
perkemahan) atau kegiatan penelitian sederhana yang telah dilakukan.
e) Tes
menulis surat
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara :
testi diminta untuk menulis sebuah surat.
f) Tes
menulis berdasarkan tema tertentu
Bentuk tes ini dilakukan dengan cara :
disajikan sebuah atau beberapa topik dan testi diminta untuk membuat suatu
karangan berdasarkan topik yang telah ditentukan.
g) Tes
menulis karangan bebas
Tes ini dilaksanakan dengan cara
meminta testi untuk membuat karangan dengan tema dan sifat karangan yang
ditentukan sendiri oleh testi (peserta tes).
Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan
berbagai kemampuan dan keterampilan secara terpadu. Tujuan pembelajaran menulis
dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) siswa mampu mengungkapkan unsur-unsur
kebahasaan, seperti ejaan, kosakata, struktur kalimat, dan pemakaian paragraph,
dan (2) siswa mampu mengungkapkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang sesuai
dengan konteks (pragmatik).
Tes kemampuan menulis juga ada beberapa macam. Hal ini
disamping disebabkan oleh adanya tahapan dalam pengajaran menulis, juga karena
ada banyak faktor yang dapat dinilai, seperti mekanis, kosakata, tata bahasa,
ketetapan isi, diksi, retorika, logika, dan gaya (Madsen, 1983:101). Tompkins
(dalam Ramli, 1998) mengatakan bahwa tes menulis dapat disikapi dalam dua
aspek, yakni sebagai tes proses (tes menulis sebagai proses) dan tes produk
(tes menulis sebagai produk). Oleh karena itu disarankan agar tes menggunakan
postofolio, yaitu koleksi segala dokumentasi dan aktivitas siswa yang
menunjukkan usaha, kemajuan, dan pencapaian siswa dalam satu atau beberapa
bidang tertentu yang dapat digunakan sebagai alternatif atau pelengkap kegiatan
tes.
Cara langsung untuk mengukur kemampuan menulis seseorang
adalah dengan menyuruh seseorang itu menulis. Akan tetepi, tes bentuk esai ini
banyak kelemahannya. Di samping itu, kemampuan menulis juga dapat diukur dengan
tes objektif. Baik tes bentuk esai maupun bentuk objektif mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Apalagi jumlah peserta tes besar jumlahnya, tes objektif akan
lebih baik.Kemampuan menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang
melibatkan aspek penggunaan bahasa dan pengolahan isi. Masalah yang berkembang
sehubungan dengan kegiatan menulis adalah pengetahuan dasar terhadap
performansi atau kemampuan menulis.
Keterampilan menulis merupakan kiat
menggunakan pola-pola lisan dalam menyampaikan suatu informasi. Dalam menulis,
orang tidak hanya dituntut menguasai materi yang akan ditulis, tetapi juga
mempu menggunakan perangkat kebahasaan secara tertulis. Penggunaan perangkat
kebahasaan secara tertulis menjadi inti kegiatan menulis sebab penggunaan
perangkat bahasa tulis berbeda dengan penggunaan perangkat kebahasaan secara
lisan.
Evaluasi keterampilan menulis bertujuan mengetahui
kemampuan pebelajar dalam menyampikan ide, perasaan, dan pikirannya, serta
menggunakan perangkat bahasa target secara tulis.
Teknik evaluasi yang dapat digunakan dipaparkan berikut.
1. Menulis huruf, nama,
peristiwa, dan keadaan yang diperdengarkan, diperlihatkan, dan bicara.
2. Menyampaikan kembali secara tertulis
suatu cerita, dialog, peristiwa yang didengar atau dibaca.
3. Menuliskan cerita berdasarkan gambar
atau rangkaian gambar.
4. Melaporkan pengalaman, peristiwa,
pekerjaan, atau perjalanan secara tulis.
5. Menjawab pertanyaan sederhana atau
komplek secara tulis.
6. Membuat karangan berdasarkan tema
tertentu.
7. Menggunakan ejaan dan tanda baca
secara tetap.
Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan
berbagai kemampuan dan keterampilan secara terpadu. Tujuan pembelajaran menulis
dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) siswa mampu mengungkapkan unsur-unsur
kebahasaan, seperti ejaan, kosakata, struktur kalimat, dan pemakaian paragraph,
dan (2) siswa mampu mengungkapkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang sesuai
dengan konteks (pragmatik).
Tes kemampuan menulis juga ada beberapa macam. Hal ini di
samping disebabkan oleh adanya tahapan dalam pengajaran menulis, juga karena
ada banyak faktor yang dapat dinilai, seperti mekanis, kosakata, tata bahasa,
ketetapan isi, diksi, retorika, logika, dan gaya (Madsen, 1983:101). Tompkins (dalam
Ramli, 1998) mengatakan bahwa tes menulis dapat disikapi dalam dua aspek, yakni
sebagai tes proses (tes menulis sebagai proses) dan tes produk (tes menulis
sebagai produk). Oleh karena itu disarankan agar tes menggunakan postofolio,
yaitu koleksi segala dokumentasi dan aktivitas siswa yang menunjukkan usaha,
kemajuan, dan pencapaian siswa dalam satu atau beberapa bidang tertentu yang
dapat digunakan sebagai alternatif atau pelengkap kegiatan tes.
Cara langsung untuk mengukur kemampuan menulis seseorang
adalah dengan menyuruh seseorang itu menulis. Akan tetepi, tes bentuk esai ini
banyak kelemahannya. Di samping itu, kemampuan menulis juga dapat diukur dengan
tes objektif. Baik tes bentuk esai maupun bentuk objektif mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Apalagi jumlah peserta tes besar jumlahnya, tes objektif akan
lebih baik.
5) Tes
Sastra
Walau bermediakan bahasa, teks kesastraan tidak
semata-mata berurusan dengan bahasa, karena ada unsur-unsur lain, misalnya
keindahan, yang mesti juga diapresiasi. Unsur-unsur lain itu hanya dapat
diperoleh, dirasakan, atau dinikmati jika peserta didik membaca secara langsung
teks kesastraan. Maka, tugas dan penilaian yang berkaitan dengan pembacaan
langsung teks-teks itu harus menjadi prioritas utama. Tugas dan tes harus
ditekankan pada hal-hal yang menuntut siswa untuk benar-benar “memperlakukan” teks-teks
kesastraan. Istilah memperlakukan dapat dioperasionalkan menjadi: membaca,
memahami, memparafrase, menganalisis, menuliskan kembali, membuat, menulis
resensi, dll tergantung indikator yang dibuat. Ada baiknya guru mewajibkan peserta
didik membaca dan membuat laporan beberapa teks kesastraan. Selain itu,
penilaian lewat karya nyata peserta didik, misalnya lewat publikasi di majalah
dinding, majalah sekolah, atau media massa harus sudah diketengahkan.
Untuk kegiatan pembelajaran & penilaian di kelas,
kita dihadapkan pada kenyataan teks-teks kesastraan lazimnya panjang sehingga
tidak mudah “memperlakukan”-nya di sekolah, kecuali puisi. Untuk itu,
tugas-tugas yang “memperlakukan” novel, cerpen, cerita klasik, drama yang
relatif panjang sebaiknya dilakukan di luar jam pelajaran sebagai tugas rumah.
Tugas yang diberikan harus jelas, harus mengapakan teks kesastraan itu dan
sedapat mungkin melibatkan berbagai genre (fiksi, puisi, cerita lama, teks
drama). Misalnya: meringkas cerita/membuat sinopsis, menganalisis unsur
karakter/moral, membuat parafrase, menulis dengan sudut pandang lain, menulis
resensi, dll termasuk menghadiri pementasan drama atau baca puisi di tempat
tertentu. Hasil kerja siswa sebagian harus dibaca dan diberi tanggapan.
Tanggapan tidak menyalahkan siswa karena akan mematikan motivasi, tetapi lebih
mempertanyakan argumentasi. Penilaian kesastraan haruslah diusahakan yang
berkadar apresiatif tinggi atau paling tidak sedang walau dengan bentuk ujian
objektif (PG).
C. Proses Pengembangan
Tes Bahasa dan Sastra
Dalam melakukan kegiatan penilaian atau evaluasi,
seorang guru sebagai evaluator harus mengetahui proses pengembangan tes yang
akan digunakan.. Tujuannya adalah agar evaluasi yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan, sistematis, efisien dan dapat dipertanggung jawabkan. Di antara proses
pengembangan evaluasi pembelajaran termasuk Tes Bahasa dan Sastra menurut Zainal
Arifin (2011:88) adalah: perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi,
pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil
evaluasi.
1. Perencanaan
Evaluasi.
Perencanaan evaluasi
dimaksudkan agar hasil yang diperoleh dari evaluasi dapat lebih maksimal.
Perencanaan ini penting bahkan mempengaruhi prosedur evaluasi secara
menyeluruh. Perencanaan evaluasi dilakukan untuk memfasilitasi pengumpulan
data, sehingga memungkinkan membuat pernyataan yang valid tentang pengaruh
sebuah efek atau yang muncul di luar program, praktik, atau kebijakan yang di
teliti. Kegunaan dari perencanaan evaluasi adalah : (1) perencanaan evaluasi
membantu untuk mengetahui apakah standar dalam menyatakan sikap atau
perilaku telah mencapai sasaran atau tidak, jika demikian sasaran akan
dinyatakan ambigu dan akan kesulitan merancang tes untuk mengukur prestasi
siswa; (2) perencanaan evaluasi adalah proses awal yang dipersiapkan untuk
mengumpulkan informasi yang tersedia; (3) rencana evaluasi
menyediakan waktu yang cukup untuk mendesain tes.
Untuk merancang
sebuah tes yang baik memerlukan persiapan yang cermat dan kualitas tes biasanya
lebih baik jika dirancang dengan cara tidak tergesa-gesa; Implikasinya adalah
perencanaan evaluasi harus dirumuskan secara jelas dan spesifik, terurai dan
komprehensif sehingga perencanaan tersebut bermakna dalam menentukan
langkah-langkah selanjutnya dalam menetapkan tujuan-tujuan tingkah
laku (behavioral objective) atau indikator yang akan dicapai, dapat
mempersiapkan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta dapat
menggunakan waktu yang tepat.
Dalam melakukan
perencanaan evaluasi, hal-hal yang patut diperhatikan adalah sebagai berikut:
a) Analisis Kebutuhan.
Adalah
suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk mengidentifikasi kebutuhan dan
menentukan skala prioritas pemecahannya. Analisis kebutuhan merupakan bagian
integral dari sistem pembelajaran secara keseluruhan, yang dapat digunakan
untuk menyelesaiakan masalah-masalah pembelajaran. langkah-langkah yang
dilakukan adalah mengindentifikasi dan mengklarifikasi masalah, mengajukan
hipotesis, mengumpulkan data, analisa data dan kesimpulan.
b)
Tujuan Penilaian.
Tujuan
penilaian merupakan dasar untuk menentukan arah, ruang lingkup materi,
jenis/model dan karakter alat penilaian. Ada empat kemungkinan tujuan penilain
: (1) penilaian formatif, yaitu untuk memperbaiki kinerja atau proses pembelajaran;
(2) penialian sumatif, yaitu untuk menentukan keberhasilan peserta didik; (3)
penialian diagnostik, yaitu untuk mengidentifikasi kesulitan belajar peserta
didik dalam proses pembelajaran; (4) penilaian penempatan, yaitu untuk
menempatkan posisi peserta didik sesuai dengan kemampuannya.
c)
Kompetensi dan Hasil Belajar.
Bertujuan
untuk mengidentifikasi kompetensi yang akan diuji sesuai dengan standar
kompetensi, kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator yang terbagi dalam
tiga domain (1) domain kognitif meliputi: pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sisnteis dan evaluasi; (2) domain afektif meliputi: penerimaan,
respons, penilaian, organisasi, kakaterisasi; (3) domaian psikomotor meliputi:
persepsi, kesiapan melakukan pekerjaan, respon terbimbing, kemahiran, adaptasi
dan orijinasi
d) Menyusun Kisi-Kisi.
Kisi-kisi
adalah format pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai
topik atau pokok bahasan berdasarkan jenjang kemampuan tertentu yang berfungsi
sebagai pedoman untuk menulis soal atau merakit soal menjadi perangkat tes.
Kisi-kisi yang baik akan memperoleh perangkat soal yang relatif sama sekalipun
penulis soalnya berbeda. Kisi-kisi penting dalam perencanaan penilaian hasil
belajar karena di dalamnya terdapat sejumlah indikator sebagai acuan dalam
mengembangkan instrumen (soal) dengan persyaratan (1) representatif, yaitu
harus betul-betul mewakili isi kurikulum sebagai sampel perilaku yang akan di
nilai; (2) komponen-komponennya harus terurai/terperinci, jelas, dan mudah
dipahami; (3) soalnya dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang
diterapkan. Manfaat dari indikator dalam kisi-kisi adalah (1) dapat memilih
materi, metode, media dan sumber belajar yang tepat, sesuai dengan kompetensi
yang telah di tetapkan; (2) sebagai pedoman dan pegangan untuk menyusun soal
atau isntrumen penilaian lain yang tepat, sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah di tetapkan. Dalam menyusun kisi-kisi harus
memperhatikan domain hasil belajar yang akan diukur dengan sistematika : (1)
aspek recall, yang berkenaan dengan aspek-aspek pengetahuan tentang
istilah-istilah, definisi, fakta, konsep, metode dan prinsip-prinsip; (2) aspek
komprehensif, yaitu berkenaan dengan kemampuan-kemampuan antara lain: menjelaskan,
menyimpulkan suatu informasi, menafsirkan fakta (grafik, diagram, tabel, dan
lain-lain), mentransfer pernyataan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain
(pernyataan verbal ke non-verbal atau dari verbal ke dalam bentuk rumus),
memprakirakan akibat atau konsekuensi logis dari suatu situasi; (3) aspek
aplikasi yang meliputi kemampuan-kemampuan antara lain: menerapkan
hukum/prinsip/teori dalam suasana sesungguhnya, memecahkan masalah, membuat
(grafik, diagram dan lain-lain), mendemonstrasikan penggunaan suatu metode,
prosedur dan lain-lain.
e) Mengembangkan
Draft.
Draft
instrumen merupakan penjabaran indikator menjadi pertanyaan-pertanyaan yang
karakteristiknya sesuai dengan pedoman kisi-kisi. Setiap pertanyaan harus jelas
dan terfokus serta menggunakan bahasa yang efektif, baik bentuk pertanyaan
maupun bentuk jawabannya. Kualitas butir soal akan menentukan kualitas tes
secara keseluruhan. Dengan prosedur soal yang disusun ditelaah oleh tim ahli
yang terdiri dari ahli bahasa, ahli bidang studi, ahli kurikulum dan ahli
evaluasi. Untuk draft dalam bentuk non-tes dapat dibuat dalam bentuk angket,
pedoman observasi, pedoman wawancara, studi dokumentasi, skala sikap, penilaian
bakat, minat dan sebagainya.
f) Uji Coba dan Analisis Soal.
Bertujuan
untuk mengetahui soal-soal mana yang perlu diubah, diperbaiki, bahkan dibuang
sama sekali, serta soal mana yang baik untuk diperguankan selanjutnya. Soal
yang baik adalah soal yang sudah mengalami beberapa kali uji coba dan revisi
yang didasarkan atas: (1) analisis empiris, yang dimaksudkan untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan setiap soal yang digunakan. Informasi empiris pada umumnya
menyangkut segala hal yang dapat memengaruhi validitas soal meliputi:
aspek-aspek keterbacaan soal, tingkat kesukaran soal, bentuk jawaban, daya
pembeda soal, pengaruh kultur, dan sebagainya; (2) analisis rasional, yang
dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan setiap soal. Kedua analisis
tersebut dilakukan pula terhadap instrumen evaluasi dalam bentuk nontes.
g) Revisi
dan Merakit Soal (Instrumen Baru).
Soal
yang sudah di uji coba dan di analisis, direvisi kembali sesuai dengan proporsi
tingkat kesukaran soal dan daya pembeda. Dengan demikian, ada soal yang masih
dapat diperbaiki dari segi bahasa, atau direvisi total, baik menyangkut pokok
soal (stem) maupun alternatif jawaban (option) yang
kemudian dilakukan perakitan soal menjadi suatu instrumen yang terpadu dengan
memperhatikan validitas skor tes, nomor urut soal, pengelompokkan bentuk soal,
penataan soal dan sebagainya.
2. Pelaksanaan
Evaluasi.
Pelaksanaan evaluasi
artinya bagaimana cara melaksanakan suatu evaluasi sesuai dengan perencanaan
evaluasi. Dengan kata lain tujuan evaluasi, model dan jenis evaluasi, objek
evaluasi, instrumen evaluasi, sumber data, semuanya sudah dipersiapkan pada
tahap perencanaan evaluasi yang pelaksanaannya bergantung pada jenis evaluasi
yang digunakan. Jenis evaluasi yang digunakan akan mempengaruhi seorang
evaluator dalam menentukan prosedur, metode, instrumen, waktu pelaksanaan,
sumber data dan sebagainya, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan :
a) Non-tes yang dimaksudkan untuk
mengetahui perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik setelah mengikuti
proses pembelajaran, pendapat terhadap kegiatan pembelajaran, kesulitan
belajar, minat belajar, motivasi belajar dan mengajar dan sebagainya. Instrumen
yang digunakan (1) angket; (2) pedoman observasi; (3) pedoman wawancara; (4)
skala sikap; (5) skala minat; (6) daftar chek; (7) rating scale;
(8) anecdotal records; (9) sosiometri; (10) home visit
b) Untuk mengetahui tingkat penguasaan
kompetensi menggunakan bentuk tes pensil dan kertas (paper and pencil
test) dan bentuk penilaian kinerja (performance), memberikan tugas
atau proyek dan menganalisis hasil kerja dalam bentuk portofolio.
Tujuannya adalah
untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai keseluruhan aspek kepribadian
dan prestasi belajar peserta didik yang meliputi (1) data pribadi (personal)
yang meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah,
alamat dan lain-lain; (2) data tentang kesehatan yang meliputi pengelihatan,
pendengaran, penyakit yang sering diderita dan kondisi fisik; (3) data tentang
prestasi belajar (achievement) di sekolah; (4) data tentang sikap (attitude)
meliput sikap terhadap teman sebaya, sikap terhadap kegiatan pembelajaran,
sikap terhadap pendidik dan lembaga pendidikan dan sikap terhadap lingkungan
sosial; (5) data tentang bakat (aptitude) yang meliputi data tentang
bakat di bidang olahraga, keterampilan mekanis, keterampilan manajemen, kesenian
dan keguruan; (6) persoalan penyesuaian (adjustment) meliputi kegiatan dalam
organisasi di sekolah, forum ilmiah, olahraga dan kepanduan; (7) data tentang
minat (interest); (8) data tentang rencana masa depan yang dibantu oleh
pendidik, orang tua sesuai dengan kesanggupan peserta didik; (9) data tentang
latar belakang yang meliputi latar belakang keluarga, pekerjaan orang tua,
penghasilan tiap bulan, kondisi lingkungan, serta hubungan dengan orang tua dan
saudara-saudaranya.
Sedangkan
kecenderungan evaluasi yang tidak memuaskan dapat ditinjau dari beberapa segi
(1) proses dan hasil evaluasi kurang memberi keuntungan bagi peserta didik,
baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) penggunaan teknik dan prosedur
evaluasi kurang tepat berdasarkan apa yang sudah dipelajari peserta didik; (3)
prinsip-prinsip umum evaluasi kurang dipertimbangkan dan pemberian skor
cenderung tidak adil; (4) cakupan evaluasi kurang memperhatikan aspek-aspek
penting dari pembelajaran.
3. Monitoring
Pelaksanaan Evaluasi.
Monitoring dilakukan
untuk melihat apakah pelaksanaan evaluasi pembelajaran telah sesuai dengan
perencanaan evaluasi yang telah ditetapkan atau belum, dengan tujuan untuk
mencegah hal-hal negatif dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan evaluasi.
Monitoring mempunyai dua fungsi pokok (1) melihat relevansi pelaksanaan
evaluasi dengan perencaan evaluasi; (2) melihat hal-hal apa yang terjadi selama
pelaksanaan evaluasi dengan mencatat, melaporkan dan menganalisis faktor-faktor
penyebabnya. Dalam pelaksanaannya dapat digunakan teknik (1) observasi
partisipatif; (2) wawancara bebas atau terstruktur; (3) studi dekumentasi.
Hasil dari monitoring dapat dijadikan landasan dan acuan untuk memperbaiki
pelaksanaan evaluasi selanjutnya.
4. Pengolahan Data.
Mengolah data berarti
mengubah wujud data yang sudah dikumpulkan menjadi sebuah sajian data yang
menarik dan bermakna. Data hasil evaluasi yang berbentuk kualitatif diolah dan
dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil evaluasi yang berbentuk kuantitatif
diolah dan dianalisis dengan bantuan statistika deskriptif maupun statistika
inferensial.
Ada tiga langkah
pokok dalam mengolah data hasil evaluasi, yakni sebagai berikut :
1)
Menskor, yaitu memberikan skor pada hasil evaluasi yang dapat dicapai oleh
perserta didik. Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan tiga jenis alat
bantu yaitu kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman konversi
2)
Mengkonversikan skor ke dalam nilai, baik berupa huruf atau angka
3)
Melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk mengatahui derajat validitas
dan reliabilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty index) dan
daya pembeda
Mengolah data dengan
sendirinya akan menafsirkan hasil pengolahan itu. Memberikan interpretasi
maksudnya adalah memberikan pernyataan(statement) mengenai hasil
pengolahan data. Interpretasi terhadap suatu hasil evaluasi didasarkan atas
kriteria tertentu yang ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan
sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi dapat pula dibuat berdasarkan
hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan evaluasi. Sebaliknya jika
penafsiran data tidak berdasarkan kriteria atau norma tertentu, maka ini
termasuk kesalahan besar dan ada dua jenis penafsiran data :
a) Penafsiran kelompok, yaitu penafsiran yang dilakukan untuk
mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi yang meliputi
prestasi kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap pendidik dan
materi yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuannya adalah sebagai
persiapan untuk melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat
tertentu pada suatu kelompok dan untuk menggandakan perbandingan
antarkelompok.
b) Penafsiran
individual, yaitu penafsiran yang hanya
dilakukan secara perseorangan diantaranya bimbingan dan penyluhan atau situasi
klinis lainnya. Tujuannya adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta
didik (readiness), pertumbuhan fisik, kemajuan belajar dan
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Dengan penafsiran ini
dapat diputuskan bahwa peserta didik mencapai taraf kesiapan yang memadai
atau tidak, ada kemajuan yang berarti atau tidak, ada kesulitan atau tidak.
5. Pelaporan
Hasil Evaluasi.
Laporan kemajuan
belajar peserta didik merupakan sarana komunikasi antara sekolah, peserta didik
dan orang tua dalam upaya mengembangkan dan menjaga hubungan kerja sama yang
harmonis, oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (1)
konsisten dengan pelaksanaan nilai di sekolah; (2) memuat perincian hasil
belajar peserta didik beradasarkan kriteria yang telah ditentukan dan dikaitkan
dengan penilaian yang bermanfaat bagi perkembangan peserta didik; (3) menjamin
orang tua akan informasi permasalahan peserta didik dalam belajar; (4)
mengandung berbagai cara dan strategi berkomunikasi; (5) memberikan informasi
yang benar, jelas, komprehensif dan akurat. Laporan kemajuan dapat
dikategorikan menjadi dua jenis (1) laporan prestasi mata pelajaran, yang
berisi informasi tentang pencapaian komptensi dasar yang telah ditetapkan dalam
kurikulum. Prestasi peserta didik dilaporkan dalam bentuk angka yang
menunjukkan penguasaan komptensi dan tingkat penguasaannya; (2) laporan
pencapaian, yang menggambarkan kualitas pribadi peserta didik sebagai
internalisasi dan kristalisasi setelah peserta didik belajar melalui berbagai
kegiatan, baik intra, ekstra dan ko kurikuler.
6. Penggunaan Hasil
Evaluasi.
Salah satu pengguanan
hasil evaluasi adalah laporan. Laporan yang dimaksudkan untuk
memberikan feedback kepada semua pihak yang terlibat dalam
pembelajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum terdapat
lima penggunaan hasil evaluasi untuk keperluan berikut
a) Laporan
Pertanggungjawaban, dengan asumsi banyak pihak yang berkepentingan terhadap
hasil evaluasi, oleh karena itu laporan ke berbagai pihak sebagai bentuk
akuntabilitas publik
b) Seleksi,
dengan asumsi setiap awal dan akhir tahun terdapat peserta didik yang masuk
sekolah dan menamatkan sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dimana hasil
evaluasi dapat digunakan untuk menyeleksi baik ketika masuk sekolah/jenjang
atau jenis pendidikan tertentu, selama mengikuti program pendidikan, pada saat
mau menyelesaikan jenjang pendidikan, maupun ketika masuk dunia kerja
c) Promosi,
dengan asumsi prestasi yang diperoleh akan diberikan ijazah atau sertifikat
sebagai bukti fisik setelah dilakukan kegiatan evaluasi dengan kriteria
tertentu baik aspek ketercapaian komptensi dasar, perilaku dan kinerja peserta
didik.
d)
Diagnosis, dengan asumsi hasil evaluasi menunjukkan ada peserta didik yang
kurang mampu menguasai kompetensi sesuai dengan kriteria yang yang telah
ditetapkan maka perlu dilakukan diagnosis untuk mencari faktor-faktor penyebab
bagi peserta didik yang kurang mampu dalam menguasai komptensi tertentu
sehingga diberikan bimbingan atau pembelajaran remedial. Bagi yang telah
menguasai kompetensi lebih cepat dari peserta didik yang lain, mereka juga
berhak mendapatkan pelayanan tindak lanjut untuk mengoptimalkan laju
perkembangan mereka.
e)
Memprediksi Masa Depan Peserta Didik, tujuannya adalah untuk mengetahui sikap,
bakat, minat dan aspek-aspek kepribadian lainnya dari peserta didik, serta
dalam hal apa peserta didik diangap paling menonjol sesuai dengan indikator
keunggulan, agar dapat dianalisis dan dijadikan dasar untuk pengembangan
peserta didik dalam memilih jenjang pendidikan atau karier pada masa yang akan
datang
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Tes kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada
pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa. Ada 5 bentuk pendekatan yang
digunkan dalam tes bahasa 1) pendekatan tradisional; 2) pendekatan diskret; 3)
pendekatan integratif; 4) pendekatan pragmatik; dan 5) pendekatan komunikatif.
Sesuai dengan ranah keterampilan berbahasa, bentuk tes
kebahasaan diterapkan dalam keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis.
Adapun proses pengembangan tes bahasa dan
sastra dilakukan melalui tahapan perencanaan evaluasi (termasuk didalamnya
analisis kebutuhan, tujuan penilaian, merumuskan kompetensi dan hasil belajar,
menyusun kisi-kisi, menyususn draf, uji coba, dan analis hasil uji coba), monitoring pelaksanaan evaluasi, pengolahan
data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.
B. Saran
Dengan mengetahui tentang langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam melakukan kegiatan evaluasi, diharapkan para guru
atau yang menjadi evaluator untuk senantiasa mengikuti prosedur pengembangan
evaluasi pembelajaran. Dengan prosedur yang sudah ditetapkan akan melahirkan
kualitas evaluasi yang dapat mendorong mutu pendidikan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Zainal. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011.
Ariani, Farida.
2006. Keterampilan Menyimak. Depdiknas Ditjen PMPTK PPPG Bahasa.
Djiwandono,
M.S. 2008. Tes Bahasa, Pegangan bagi Pengajar Bahasa. Jakarta:
Indeks.
Kamidjan dan
Suyono. 2000. Menyimak. Jakarta: Depdiknas-Ditjen Dikdasmen
Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Keraf. Gorys.
2001. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah Percetakan Arnoldus
Keraf. Gorys.
1998. Narasi dan Argumentasi. Ende-Flores: Nusa Indah
Percetakan Arnoldus.
Maidar, Arsyad
G. 1994. Bahasa dan Proses Pengejaran Menyimak.Jakarta: Departemen P dan K
Ditjen Dikdasmen. PPPG Bahasa.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
BPFE.
Ramayulis. 2008.
Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Safari.
2002. Pengujian dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia.Jakarta: PT
Kartanegara.
Tarigan, Henry
Guntur. 1987. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
___________________.
2004. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
___________________.
2006. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Taufik. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Inti Prima. 2010.
Zainal Arifin,
Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011. hal. 88
No comments:
Post a Comment