Apa saja Prinsip Prinsip Pembelajaran yang Menyenangkan? Beberapa prinsip
pembelajaran yang menyenangkan yang telah dikemukakan oleh Atwi Suparman dengan mengadaptasi pemikiran
Fillbeck (1974), sebagai berikut
1. Respon akan diulang bila
akibat yang ditimbulkan menyenangkan.
Pembelajaran harus menyenangkan dengan cara memberikan umpan balik harus positif dan respon terhadap hasil belajar peserta didik tidak boleh menyakitkan
2.
Perilaku belajar tidak hanya akibat dari respon, tetapi juga dipengaruhi oleh
lingkungan siswa.
Lingkungan
harus kondusif: lingkungan sekitar belajar harus mendukung (termasuk fasilitas
umum dan yang secara khusus mendukung pembelajaran). Didalam kelas hanya
sebagai pemicu, karena yang ada di luar kelas yang akan menjadi bahan
eksplorasi.
Penggunaan
metode dan media yang bervariasi: metode dan media yang digunakan dalam
pembelajaran merupakan beberapa aspek yang sangat mempengaruhi terbentuknya
lingkungan belajar siswa, oleh karenanya perlu untuk diberi variasi agar siswa
tidak selalu belajar pada suasana lingkungan yang monoton.
3.
Perilaku yang dihasilkan akan berkurang bila tidak diperkuat dengan akibat yang
menyenangkan.
Pemberian
isi pembelajaran harus bermaknadalam kehidun keseharian peserta didik: kebermaknaan
pembelajaran akan terbangun apabila dapat dihubungkan dengan hal-hal yang
sering ditemui oleh peserta didik. Akan lebih kuat kebermaknaan jika peserta
didik merasa bahwa apa yang dipelajarinya berguna untuk kepentingan sehari-hari
atau mendukung untuk mencapai cita-cita keinginannya.
4. Belajar yang terbatas
akan ditransfer ke situasi lain secara terbatas pula.
Kegiatan
belajar harus berkaitan dengan kondisi lingkungan yang nyata, lingkungan dan
kehidupan sehari-hari: pembelajaran sebaiknya menggunakan sesuatu simulasi atau
analogi yang sederhana, terutama jika menyangkut objek-objek yang kompeks atau
tidak disukai siswa.
5.
Belajar mengeneralisai dan membedakan adalah dasar untuk membangun sesuatu yang
kompleks. Oleh karena itu guru
harus menyajikan materi secara sistematis : penyampaian materi
haruslah sesuai dengan scope dan sequence yang sesuai, menggunakan contoh (contoh itu selalu
benar) maupun non-contoh : sebagai upaya menyederhanakan materi haruslah
didampingi oleh contoh-contoh yang sederhana sampai yang rumit sevariatif
mungkin sehingga menjadi simpul-simpul kenangan yang tidak terlupakan. Termasuk
dengan memberikan non-contoh sesuatu yang berlainan dengan apa yang menjadi
contoh. (missal, ketika menjelaskan tentang kuda maka harus dijalaskan pula
tentang apa yang bukan kuda agar siswa benar-benar dapat membedakan kuda dengan
hewan lain, keledai misalnya)
6.
Kesiapan mental mempengaruhi perhatian dan ketekunan selama proses belajar
berlangsung. Guru harus menggunakan
media, sehingga dapat
menarik perhatian peserta didik untuk mempelajari materi ajar.
7.
Kegiatan belajar yang dibagi kecil-kecil disertai cara penyelesaian untuk
setiap langkah akan mempercepat pencapaian tujuan belajar. Guru dapat menggunakan buku teks
terprogram, modul dan paket belajar lainnya: sehingga peserta didik tidak
merasa terbebani dengan materi yang harus dipelajarinya dengan tanpa paksaan.
Sebuah materi yang terlalu luas agar tidak disampaikan sekaligus dalam sekali
penyampaian, agar siswa dapat membangun pemahaman utuh dengan lebih ringan.
8.
Kebutuhan menyederhanakan materi yang kompleks dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu model. Guru
harus menggunakan media dan metode pembelajaran secara tepat:
sebagai cara untuk memudahkan penyampaian informasi. Media dan metode yang
digunakan agar disesuaikan juga dengan karakteristik dan isi materi yang akan
disampaikan sehingga media dan metode dapat mempermudah penyampaian materi
bukannya malah mempersulit.
Juga menggunakan model-model pembelajaran:
sehingga dapat terjadi konsistensi pembelajaran. Karena dengan digunakannya
suatu model pembelajaran tertentu akan membuat proses pembelajaran menjadi
terstruktur dan memiliki alur yang jelas.
9.
Keterampilan tingkat tinggi pada dasarnya terbentuk dari keterampilan yang
sederhana.
Tujuan
pembelajaran harus dirumuskan secara sistematis: tidak terburu-buru untuk
mencapai tujuan yang akan dicapai, akan tetapi scope (cakupannya) dan sequence
(urutannya) harus bertahap dari yang sederhana ke yang kompleks.
10.
Belajar akan lebih cepat bila peserta didik memperoleh umpan balik dan cara
meningkatkannya.
Guru harus menginformasikan kemajuan
peserta didik secara teratur: Umpan balik (feedback) dapat memberikan
pengetahuan terhadap siswa tentang pencapaian belajarnya dan bagaimana pendapat
gurunya mengenai pencapaian tersebut. Hal ini dapat menjadi penumbuh motivasi
belajar siswa, terlebih jika diperkuat dengan penguatan (reinforcement) beruupa
tips-tips belajar atau saran-saran positif.
11. Perkembangan dan
kecepatan siswa sangat bervariasi.
Guru perlu menerapkan strategi pembelajaran yang tepat: strategi yang digunakan jangan sampai
mematikan potensi salah satu atau sebagian siswa, sehingga strategi yang
digunakan semaksimal mungkin diupayakan dapat mengakomodir seluruh potensi
siswa.
Perlu
penyediaan materi yang dirancang secara individual: untuk mengantisipasi
keunikan setiap siswa yang tidak terakomodir oleh strategi yang telah
dirancang, perlu disediakan bentuk materi yang dirancang secara individual,
salah satunya dapat berperan sebagai suplemen materi.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai kemampuannya: kemampuan siswa
yang lebih cepat atau cenderung lambat jangan sampai tertahan atau
ditinggalkan, dengan proporsi yang sesuai dan masing-masing harus diberikan
perhatian sehingga tidak terabaikan.
12. Dengan persiapan yang baik siswa dapat
mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri.
Guru harus memberi kesempatan pada
siswa untuk memilih cara, waktu dan sumber belajar yang akan digunakan:
pembelajaran selaiknya dapat memfasilitasi siswa untuk belajar dengan cara,
waktu, dan sumber yang sesuai dengan karakteristik dan kesadarannya sendiri
sehingga diharapkan pembelajaran akan berjalan lebih efektif.
Karena
pada awalnya ada motivasi ekstrinsik. Setelah melewati proses pendidikan
sehingga proses belajar menjadi sebuah kebutuhan dan timbul akibat dari adanya
motivasi intrinsik. Motivasi muncul karena adanya ketertarikan terhadap materi
yang diajarkan. Dan hal tersebut bias terjadi apabila peserta didik mengetahui
kegunaan dari materi yang dipelajarinya.
Untuk
membantu penerapan prinsip tersebut terdapat moodel pengembangan motivasi
belajar ARCS model, yang merupakan akronim dari Attention (menarik perhatian:
baru, aneh, unik, berguna), Relevance (sesuai dengan kebutuhannya atau
bermanfaat),confidence (menumbuhkan kepercayaan diri), dan satisfaction
(memberikan kepuasan belajar).
Berikut ini makalah Contoh
Implementasi atau Penerapan Prinsip Prinsip Pembelajaran
PENERAPAN PRINSIP “BELAJAR
AKAN LEBIH CEPAT BILA SISWA MEMPEROLEH
UMPAN BALIK DAN CARA MENINGKATKANNYA”; PRINSIP “PERKEMBANGAN DAN KECEPATAN
SISWA DALAM BELAJAR SANGAT BERVARIASI”; DAN
DAN PRINSIP “DENGAN PERSIAPAN YANG
BAIK SISWA DAPAT
MENGORGANISASIKAN KEGIATAN BELAJARNYA SENDIRI” DALAM DESAIN PEMBELAJARAN”
I. Pendahuluan
Kata desain menunjukkan
adanya suatu proses dan suatu hasil. Sebagai suatu proses, desain pesan sengaja
dilakukan mulai dari analisis masalah pembelajaran hingga pemecahan masalah
yang dirumuskan dalam bentuk produk. Produk yang dihasilkan dapat dalam bentuk
prototipe, naskah atau story board, dan sebagainya. Martinis (2007) menyatakan
bahwa guru harus mampu menyajikan informasi yang menarik, dan asing (belum
diketahui) bagi siswa-siswi. Sesuatu informasi yang disampaikan dengan teknik
yang baru, dengan kemasan yang bagus dan didukung oleh alat-alat berupa sarana
atau media yang belum dikenal oleh siswa sebelumnya, sehingga menarik perhatian
bagi mereka untuk belajar, misalnya; guru menyampaikan informasi atau pesan
pembelajaran dengan alat yang belum mereka kenal sebelumnya. Desain Pesan
meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan atau informasi.
Hal tersebut mencakup prinsip-prinsip perhatian, persepsi, dan daya serap yang
mengatur penjabaran bentuk fisik dari pesan atau informasi, agar terjadi
komunikasi antara pengirim dan penerima dalam bentuk partisipasi aktif,
membutuhkan feedback (Umpan balik) dan juga perulangan. Fleming dan Levie
(dalam Seel&Richie,1994) membatasi pesan pada pola-pola isyarat atau simbol
yang memodifikasi perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Desain pesan
berurusan dengan tingkat paling mikro melalui unit-unit kecil seperti bahan
visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah.
Karakteristik lain dari
desain pesan adalah bahwa desain pesan harus bersifat spesifik baik terhadap
medianya maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung arti bahwa prinsip-prinsip
desain pesan akan berbeda tergantung apakah medianya bersifat statis, dinamis
atau kombinasi dari keduanya, misalnya suatu potret, film, atau grafik komputer.
Juga apakah tugas belajarnya berupa pembentukan konsep atau sikap, pengembangan
keterampilan atau strategi belajar, ataukah menghafalkan informasi verbal.
Dengan teori dan
prinsip-prinsip belajar, guru akan memiliki dan dapat mengembangkan sikap yang
diperlukan untuk menunjang peningkatan belajar siswa, yang dituangkan pada
design pesan pembelajaran. Dalam makalah ini akan diuraikan tiga prinsip yang
merupakan bagian terakhir dari dua makalah sebelumnya, yaitu: prinsip “Belajar
Akan Lebih Cepat Bila Siswa Memperoleh
Umpan Balik Dan Cara Meningkatkannya (umpan balik)”; prinsip “Perkembangan Dan
Kecepatan Siswa Dalam Belajar Sangat Bervariasi”; dan dan prinsip “Dengan Persiapan Yang Baik Siswa
Dapat Mengorganisasikan Kegiatan Belajarnya Sendiri”.
Ii. Prinsip Umpan Balik
Feedback (Umpan Balik)
merupakan suatu bagian penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Umpan balik
adalah informasi yang diberikan kepada siswa mengenai keberhasilan atau
kekurangan dalam belajarnya. Umpan balik sangat mempengaruhi motivasi belajar
siswa. Hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar.
Pemberian umpan balik dari
guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa.
Salah satu prinsip penggunaan umpan balik adalah: diberikan sesegera mungkin
oleh guru kepada siswa. Jangan pernah menunda pemberian umpan balik! Untuk
memberikan umpan balik, guru dapat melakukannya baik secara verbal maupun
secara nonverbal. Umpan balik dapat bersifat reward misalnya, untuk proses
pembelajaran maupun terhadap hasil belajar yang mereka lakukan atau capai
dengan baik. Bisa pula berupa kritikan yang bersifat membangun motivasi belajar
dan perbaikan proses atau pencapaian hasil belajar tadi. Umpan balik hendaknya
lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan
umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih
percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus
konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan.
Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan
diri siswa daripada hanya sekedar angka.
Ada tiga hal penting (Black
and William) yang harus diperhatikan dalam menunjang agar proses umpan balik
dapat berlangsung efektif, yaitu :
(1) Recognition of the
desired goal.
Umpan balik diberikan
sebagai respons atas kinerja siswa. Kinerja siswa adalah kesanggupan siswa
untuk dapat menunjukkan penguasaannya atas berbagai tujuan pembelajarannya.
Guru harus dapat merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai secara
jelas dan dapat mengkomunikasikannya pada awal pembelajaran, baik tentang
wilayah materi, indikator kurikuler maupun penguasaan tujuan.
Salah satu metode yang
cukup efektif untuk memastikan bahwa siswa memahami tujuan pembelajarannya
yaitu dengan cara melibatkan mereka dalam menetapkan “kriteria keberhasilan”
yang bisa dilihat atau didengar. Misalnya, guru dapat memperlihatkan beberapa
contoh produk sebagai tujuan pembelajaran yang patut ditiru oleh para siswa, menunjukkan
kalimat-kalimat yang benar dengan ditulis menggunakan huruf kapital, kesimpulan
yang diambil dari data, penyajian tabel atau grafik dan sejenisnya.
Apabila para siswa telah
dapat memahami tentang kriteria keberhasilan pembelajarannya, mereka akan
terbantu untuk mengarahkan belajarnya dan mereka akan lebih mampu untuk
melaksanakan proses pembelajarannnya
Selain memberikan pemahaman
yang jelas tentang tujuan pembelajaran, guru juga perlu memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memahami indikator dari tingkat penguasaan tujuan
pembelajarannya, baik secara lisan, tertulis maupun dalam bentuk lainnya.
(2) Evidence about present
position
Istilah ”bukti” di sini
menunjuk kepada informasi atau fakta tentang kinerja yang berkaitan dengan
tujuan pembelajaran, khusunya tentang sejauhmana tujuan pembelajaran telah
tercapai dan sejauhmana tujuan pembelajaran itu belum tercapai.
Grant Wiggin mengemukakan
bahwa umpan balik bukanlah tentang pemberian pujian atau celaan, persetujuan
atau ketidaksetujuan, tetapi sebagai usaha untuk memberikan nilai atau makna.
Umpan balik pada dasarnya bersifat netral yang menggambarkan apa yang telah
dilakukan dan tidak dilakukan siswa. Selain itu, bahwa umpan balik juga harus
bersifat obyektif, deskriptif dan disampaikan pada waktu yang tepat yakni pada
saat tujuan pembelajaran masih segar dalam benak siswa.
Salah satu cara pemberian
umpan balik yang cukup bermakna yaitu dengan membandingkan produk siswa dengan
kriteria keberhasilan telah telah dikomunikasikan sebelumnya. Contoh sederhana
pemberian umpan balik yaitu dengan membuat sebuah format tentang “Daftar
Kriteria Keberhasilan”. Dalam daftar tersebut, guru dapat memberikan tanda +
(plus) untuk menunjukkan tentang kriteria yang telah berhasil dipenuhi siswa
dan memberikan catatan tertentu untuk yang belum dipenuhinya.
(3) Some understanding of a
way to close the gap between the two.
Umpan balik yang efektif
yaitu harus dapat memberikan bimbingan kepada setiap siswa tentang bagaimana
melakukan perbaikan. Black dan Wiliam menegaskan bahwa setiap siswa harus
diberi bantuan dan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Guru tidak hanya
memberikan umpan balik yang mencerminkan tentang kinerja yang berkaitan dengan
tujuan pembelajaran siswanya, tetapi juga harus dapat memberikan strategi dan
tips tentang cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan, serta kesempatan
untuk menerapkan umpan balik yang diterimanya.
Wiggins meyakini bahwa
melalui siklus umpan balik ini dapat menghasilkan keunggulan kinerja siswa.
Oleh karena itu, siswa harus senantiasa memiliki akses rutin terhadap kriteria
dan standar-standar tugas yang harus dituntaskannya; mereka juga harus
memperoleh umpan balik dalam upaya menyelesaikan tugas-tugasnya, mereka harus
memiliki kesempatan untuk memanfaatkan umpan balik untuk memperbaiki kerjanya
serta mengevaluasi kembali terhadap standar
Contoh Prinsip Umpan Balik
Dalam Pembelajaran
Contoh Pelaksanaan prinsip
umpan balik dalam Pembelajaran adalah :
Kemampuan Guru Kegiatan
Pembelajaran
Merancang Bahan ajar,
Melaksanakan dan Menilai KBM serta kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
Guru memantau kerja siswa •
Guru memberikan umpan balik
Penerapan Prinsip Umpan
balik dalam pembelajaran dan merancang bahan ajar adalah dengan memberikan
tugas, latihan soal, PR, ulangan harian, ataupun penguasaan suatu keterampilan
kepada siswa. Jenis soal atau tugas yang ditulis dalam bahan ajar tersebut
adalah soal yang menyangkut materi pembelajaran yang muatannya diharapkan
mudah, menarik dan memerlukan logika berfikir bagi siswa, Siswa tentunya sangat
termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya dan kemudian berkeinginan segera
mendapatkan hasil pekerjaannya. Guru kemudian memberitahukan apakah tugas yang
dikerjakan oleh siswa tersebut sudah benar. Guru selanjutnya mengembalikan
pekerjaan siswa yang telah dikoreksi, dinilai, atau diberi komentar atau
catatan oleh guru. Sangat disayangkan bila guru suka menunda-nunda pemberian
umpan balik terhadap pembelajaran siswa, terutama dalam kaitan koreksi pada
kertas kerja siswa. Banyak hal yang dapat membuat guru terlambat atau menunda
pemberian umpan balik dalam bentuk ini. Ironisnya, seringkali disebabkan karena
rasa malas yang ada dalam diri guru. Penundaan pemberian umpan balik dalam
bentuk koreksi kertas hasil kerja siswa sangat merugikan dan merusak motivasi
belajar siswa. Guru yang malas mengoreksi pekerjaan siswa seperti PR, tugas,
ulangan harian, lembar kerja, dll, membuat siswa menunggu-nunggu. Tidak jarang
siswa menjadi kesal terhadap guru, bahkan harus menagih kepada guru tentang
kertas hasil kerja mereka. Akhirnya, beberapa siswa cenderung akan kehilangan
selera untuk melihat nilai yang mereka peroleh dari hasil pekerjaan mereka itu.
Guru yang baik dan profesional seharusnya tidak melakukan penundaan pemberian
umpan balik dalam bentuk koreksian pekerjaan siswa. Hasil koreksian tersebut
sebenarnya sangat bermanfaat, tidak hanya buat siswa, tapi juga bagi guru.
Analisis kelemahan dan kekuatan sebuah pembelajaran dapat dilakukan berdasarkan
hasil pekerjaan siswa. Selanjutnya, hasil analisis ini dapat dijadikan dasar
pijakan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Pembelajaran
yang berdasarkan analisis semacam ini akan berbuah pembelajaran yang efektif,
efisien, dan menyenangkan bagi siswa dan guru.
Penundaan koreksi dan pengembalian
kertas hasil pekerjaan siswa yang terlalu lama juga menyebabkan guru akan
kesulitan memberikan review terhadap materi penting belum dikuasai siswa dengan
baik. Karena lamanya selang waktu koreksi dan pengembalian, materi yang tak
terkuasai dengan baik oleh siswa itu jadi begitu jauh terlewat. Jika diulang
tentu akan mengganggu “smoothness”-nya pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar
jadi terdistraksi oleh ketidakruntutan dan bolak-baliknya konten pembelajaran.
Lagi-lagi ini akan merusak motivasi belajar siswa.
Agar Umpan balik menjadi
lebih baik, ada tiga hal yang mesti dilakukan, yaitu : (1) Fokuslah pada tujuan
pembelajaran (2) Berikan umpan balik ini sesering mungkin, dan (3) Berikan
penjelasan secara lebih mendalam.
Ii. Penerapan Prinsip Perkembangan dan Kecepatan
Siswa dalam Belajar Sangat Bervariasi
Contoh penerapan prinsip
Perkembangan Dan Kecepatan Siswa Dalam Belajar Sangat Bervariasi dalam
pelajaran antara lain:
Beri inspirasi
Beberapa anak-anak atau
siswa tidak menyukai matematika karena tidak tahu intinya. Tidak seperti
membaca atau menggambar, symbol matematika dan bilangan seperti tidak punya
arti. Tunjukkan betapa pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari atau
di dunia nyata. Ceritakan penemuan-penemuan penting mulai dari piramida di
Mesir, sampai ke Mars, tidak ada yang bisa dicapai tanpa metematika, dan
matematikawan.
Beri contoh nyata
Ajak anak-anak atau siswa
dalam matematika nyata lepas dari sekolah. Temukan sesuatu yang menarik bagi
anak dan hubungkan dengan matematika. Misalnya, jika mereka suka basket/sepak
bola, selama pertandingan, Tanya amereka berapa point tim yang kalah harus
dapatkan untuk memenangkan pertandingan. Dan berapa banyak pertandingan yang
mereka butuhkan untuk menang sampai mereka dapat point cukup untuk memenangkan
liga? Jika mereka suka membantu di rumah, ajak mereka mengukur kayu yang harus
dipotong, atau menimbang bahan untuk kue. Di took ajak mereka menghitung total
harga atau tanyakan berapa kembalian uangnya.
Tahap demi tahap
Sukses dalam matematika,
seperti juga dalam hidup adalah membagi proyek besar dalam proyek-proyek kecil
yang lebih mudah. Tunjukkan keuntungan mengerjakan satu soal dengan membaginya
dalam tahap-tahap kecil yang membuat jauh lebih mudah.
Dorongan krativitas
Anak-anak atau siswa
mungkin merasa “stuck” dalam suatu topic karena mereka hanya melihat dari satu
sisi. Mungkin mereka butuh melihat dari sisi lain yang berbeda. Tunjukkan
keindahan sudut pandang yang berbeda. Bantu mereka melihat situasi dari
perspektif orang lain. Beri mereka kebiasaan untuk eksploring berbagai cara
untuk memcahkan masalah. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti membereskan
kamar bisa punya berbagai solusi.
Berpikir positif
Haruskah pernyataan
negative seperti, “matematika itu susah” (bahkan jika anda merasa itu susah).
Jelaskan bahwa semua orang punya kemampuan untuk mengerjakan matematika dan
memecahkan soal-soal matematika tidak berbeda dengan memecahkan masalah-masalah
lain . Di atas semua itu, berikan kepercayaan diri kepada anak. Ajarkan bahwa
selalu ada solusi untuk semua problem. Kita akan berlaku lebih baik kalau kita
menyukai yang kita kerjakan, dan membuat anak tertarik pada matematika.
Memberikan asessmen, reward
dan refleksi dari proses pembelajaran yang sudah dilakukan.
Peserta didik merupakan
manusia biasa yang dalam tahap perkembangannya memerlukan sebuah pengakuan
diri, penguatan dan penghargaan terhadap apa yang mereka lakukan. Dengan adanya
tindakan guru yang memberikan asessmen dan reward, maka mereka merasa senang
dan berusaha untuk memperhatikan apa yang diberikan guru kepada mereka. Dari
proses tersebut mereka akan merespon dan melakukan inisiatif untuk menciptakan
pembelajan yang kreativ. Hal ini merupakan suatu jalan mulus bagi guru untuk
terus masuk kepada materi-materi pelajaran sekalipun itu agak sukar bagi mereka
untuk mengerjakannya. Tetapi mengarahkan dan memandu dalam mengemukakan apa
yang telah mereka pelajari dari awal sampai akhir materi pelajaran lebih
penting lagi. Sehingga mereka dapat mengungkapkan apa yang telah mereka
pelajari hari ini.
III. Penerapan Prinsip dengan Persiapan yang Baik Siswa
Dapat Mengorganisasikan Kegiatan Belajarnya Sendiri
Konsep Mandiri dan Belajar
Mandiri
Kata mandiri mempunyai arti
yang sangat relatif. Pada dasarnya kata mandiri mengandung arti tidak
tergantung pada orang lain, bebas, dan dapat melakukan sendiri. Kata ini
seringkali diterapkan untuk pengertian dan tingkat kemandirian yang
berbeda-beda. Berikut ini isajikan beberapa contoh:
a. Seorang ibu bercerita
kepada teman-temannya bahwa anaknya yang berumur 8 tahun (kelas satu atau dua
Sekolah Dasar) sudah dapat mandiri. Dia sudah dapat mandi sendiri, berpakaian
sendiri dan makan sendiri. Pada pagi hari sang ibu cukup menyediakan air hangat
untuk mandi, sabun, dan handuk, si anak akan dapat mandi sendiri tanpa harus
dimandikan. Selesai mandi sang anak juga sudah dapat mengenakan baju yang telah
disiapkan oleh ibunya dengan rapi di kamar. Dia tidak memerlukan bantuan lagi
waktu mengenakan bajunya. Setelah itu sang anak juga dapat makan pagi sendiri
tanpa harus disuapi. Ibu cukup menyediakan makan paginya di piring dan diatur
di atas meja makan. Yang dilakukan oleh anak berumur 8 tahun itu merupakan
tingkat kemandirian anak kecil. Dibandingkan dengan anak lain yang masih harus
dimandikan, dibantu dalam mengenakan baju, disuapi pada waktu makan, anak ini
memang tergolong telah mandiri.
b. Seorang pemuda dewasa
mengeluh bahwa sifat atau sikap tunangannya terlalu mandiri. Gadisnya itu
hampir tidak pernah mau menerima bantuan dari dia. Pulang kuliah tidak mau
dijemput dengan mobil sungguhpun hari telah sore. Dia lebih suka pulang sendiri
naik bis. Sungguhpun kiriman uang dari orang tuanya sangat kecil dan hampir
tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolahnya, dia tidak pernah mau
menerima pemberian apapun (baik yang berupa uang maupun materi) dari sang
pacar. Dia lebih suka hidup sederhana dengan uang pemberian orang tuanya
sendiri. Gadisnya itu tidak pernah minta padanya untuk diantar ke toko, ke rumah
teman, bahkan ke setasiun. Biasanya dia harus menawarkan bantuan itu baru si
gadis mau menerimanya. Itupun selalu didahului dengan pertanyaan apakah dia (si
gadis) tidak mengganggu tugas dan waktu sang pacar.
c. Seorang ayah bercerita
dengan bangganya bahwa anak sulungnya telah dapat mandiri. Segera setelah
menikah dia langsung memboyong isterinya di rumah kontraknya yang sederhana
jauh di pinggiran kota. Sejak itu dia tidak pernah minta bantuan apapun dari
orang tua untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sungguhpun sederhana rumahnya
dilengkapi dengan perabotan yang tertata rapi. Pakaiannya sungguhpun sederhana
selalu rapi dan bersih. Untuk makan dan pemeliharaan kesehatan dia dapat
menyediakan sendiri. Pendek kata dia sudah 100% mandiri.
d. Pada waktu Indonesia
dipimpin Presiden yang pertama, sang Presiden berpendirian bahwa Indonesia
harus dapat berdikari. Artinya harus dapat hidup dan berdiri di atas kaki
sendiri. Tidak menggantungkan hidupnya pada bantuan dari negara lain. Indonesia
harus mandiri.
Belajar Mandiri
Menurut Wedemeyer seperti
yang disajikan oleh Keegan (1983), siswa/peserta didik yang belajar secara
mandiri mempunyai kebebasan untuk belajar tanpa harus menghadiri pelajaran yang
diberikan guru/instruktur di kelas. Siswa/peserta didik dapat mempelajari pokok
bahasan atau topik pelajaran tertentu dengan membaca buku atau melihat dan
mendengarkan program media pandang-dengar (audio visual) tanpa bantuan atau
dengan bantuan terbatas dari orang lain. Di samping itu siswa/peserta didik mempunyai
otonomi dalam belajar. Otonomi tersebut terwujud dalam beberapa kebebasan
sebagai berikut:
a. Siswa/peserta didik
mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai sesuai dengan kondisi dan kebutuhan belajarnya.
b. Siswa/peserta didik
boleh ikut menentukan bahan belajar yang ingin dipelajarinya dan cara
mempelajarinya.
c. Siswa/peserta didik
mempunyai kebebasan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri.
d. Siswa/peserta didik
dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan digunakan untuk menilai kemajuan
belajarnya.
Kemandirian dalam belajar
ini menurut Wedemeyer (1983) perlu diberikan kepada siswa/peserta didik supaya
mereka mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan
dalam mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap
tersebut perlu dimiliki siswa/peserta didik karena hal tersebut merupakan ciri
kedewasaan orang terpelajar.
Sejalan dengan Wedemeyer,
Moore (dalam Keegan, 1983) berpendapat bahwa ciri utama suatu proses
pembelajaran mandiri ialah adanya kesempatan yang diberikan kepada
siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan, sumber, dan evaluasi
belajarnya. Karena itu, program pembelajaran mandiri dapat diklasifikasikan
berdasarkan besar kecilnya kebebasan (otonomi) yang diberikan kepada
siswa/peserta didik untuk ikut menentukan program pembelajarannya. Tingkat
kemandirian pembelajaran dapat diklasifikasi berdasarkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Otonomi dalam menentukan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran itu ditentukan oleh
siswa/peserta didik, oleh guru/instruktur atau oleh guru/instruktur dan
siswa/peserta didik? Semakin besar kesempatan yang diberikan kepada
siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan pembelajarannya, berarti
semakin besar kesempatan siswa/peserta didik untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan belajarnya. Dengan demikian semakin besar pula kesempatan
siswa/peserta didik untuk bersikap mandiri.
b. Otonomi dalam belajar.
Siapakah yang menentukan buku atau media yang akan dipakai dalam belajar?
Apakah semuanya ditentukan oleh guru/instruktur, oleh siswa/peserta didik, atau
oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Kalau siswa/peserta didik dapat
ikut menentukan bahan belajar, media belajar, dan cara belajar yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan itu, berarti siswa/peserta didik telah diberi
kesempatan untuk bersikap mandiri.
c. Otonomi dalam evaluasi
hasil belajar. Siapakah yang menentukan cara dan kriteria evaluasi hasil
belajar? Dapatkah siswa/peserta didik ikut menentukan cara evaluasi dan
kriteria penilaian yang akan dipakai?
Tingkat kemandirian
(otonomi) yang diberikan kepada siswa/peserta didik dalam berbagai program pembelajaran
tidak sama. Ada program pembelajaran yang lebih banyak memberikan kemandirian
(otonomi), ada pula program pembelajaran yang kurang memberikan kemandirian
kepada siswa/peserta didik. Contoh, di Universitas London ada program
pembelajaran yang memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar sendiri di
luar kampus. Mahasiswa yang lulus dalam ujian akan mendapat gelar yang nilainya
sama dengan gelar yang diperoleh siswa/peserta didik yang mengikuti kuliah di
kampus. Mahasiswa luar kampus ini diberi kesempatan untuk ikut menentukan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan bahan belajar serta cara belajar
yang akan digunakan. Namun demikian mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk
menentukan cara evaluasi dan kriteria penilaiannya.
Di universitas lain, ada
juga program perkuliahan yang memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk
memilih sendiri buku dan media belajar yang akan dipakainya. Mahasiswa juga
diberi kesempatan untuk memilih cara belajar yang disukainya, (a) siswa/peserta
didik boleh mengikuti kuliah, dan boleh belajar sendiri, (b) siswa/peserta
didik boleh belajar dari buku, dan boleh belajar dengan melihat program media,
dan (c) siswa/peserta didik boleh belajar sendirian, boleh juga belajar bersama
dengan teman dalam bentuk diskusi. Namun demikian, dalam program pembelajaran
ini, siswa/peserta didik tidak diberi kesempatan untuk menentukan tujuan
pembelajarannya dan cara evaluasinya. Jadi kebebasan yang diberikan hanya
kebebasan dalam memilih bahan dan cara belajarnya.
Belajar Mandiri dan Belajar
Sendiri
Belajar mandiri tidak
berarti belajar sendiri (Panen, 1997). Belajar mandiri bukan merupakan usaha
untuk mengasingkan siswa/peserta didik dari teman belajarnya dan dari
guru/instrukturnya. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri ialah
peningkatan kemampuan dan keterampilan siswa/peserta didik dalam proses belajar
tanpa bantuan orang lain, sehingga pada akhirnya siswa/peserta didik tidak
tergantung pada guru/instruktur, pembimbing, teman atau orang lain dalam
belajar. Dalam belajar mandiri siswa/peserta didik akan berusaha sendiri dahulu
untuk memahami isi pelajaran yang dibaca atau dilihatnya melalui media pandang
dengar. Kalau mendapat kesulitan, barulah siswa/peserta didik akan bertanya
atau mendiskusikannya dengan teman, guru/instruktur, atau orang lain.
Siswa/peserta didik yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang
dibutuhkannya.
Tugas guru/instruktur dalam
proses belajar mandiri ialah menjadi fasilitator, menjadi orang yang siap
memberikan bantuan kepada siswa/peserta didik bila diperlukan. Terutama,
bantuan dalam menentukan tujuan belajar, memilih bahan dan media belajar, serta
dalam memecahkan kesulitan yang tidak dapat dipecahkan siswa/peserta didik
sendiri.
Teman dalam proses belajar
mandiri itu sangat penting. Kalau menghadapi kesulitan, siswa/peserta didik
sering kali lebih mudah atau lebih berani bertanya kepada teman dari pada
bertanya kepada guru/instruktur. Teman sangat penting karena dapat menjadi
mitra dalam belajar bersama dan berdiskusi. Di samping, itu teman dapat
dijadikan alat untuk mengukur kemampuannya. Dengan berdiskusi bersama teman,
siswa/peserta didik akan mengetahui tingkat kemampuannya dibandingkan dengan
kemampuan temannya. Bila siswa/peserta didik merasa kemampuannya masih kurang
dibandingkan dengan kemampuan temannya, ia akan terdorong untuk belajar lebih
giat. Bila kemampuannya dirasakan sudah melebihi kemampuan temannya, ia akan
terdorong untuk mempelajari topik atau bahasan lain dengan lebih bersemangat.
Bila menghadapi kesulitan dalam memahami isi pelajaran tertentu, siswa/peserta
didik seringkali merasa bahwa dirinya bodoh dan karenanya menjadi putus asa.
Tetapi kalau mengetahui bahwa teman-temannya juga mengalami kesulitan yang
sama, perasaan di atas dapat dihilangkan dan karenanya tidak menjadi mudah
putus asa.
Sungguhpun belajar mandiri
tidak berarti belajar sendiri, dan dalam belajar mandiri siswa/peserta didik
boleh bertanya, berdiskusi, atau minta penjelasan dari orang lain, menurut
Knowless, 1975 (dalam Panen, 1997) siswa/peserta didik yang belajar mandiri
tidak boleh menggantungkan diri dari bantuan, pengawasan, dan arahan orang lain
termasuk guru/instrukturnya, secara terus menerus. Siswa/peserta didik harus
mempunyai kreativitas dan inisiatif sendiri, serta mampu bekerja sendiri dengan
merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Kozma, Belle, Williams,
1978 dalam Panen dan Sekarwinahyu (1997) mendefinisikan belajar mandiri sebagai
usaha individu siswa/peserta didik yang bersifat otonomis untuk mencapai
kompetensi akademis tertentu. Keterampilan mencapai kemampuan akademis secara
otonom ini bila sudah menjadi milik siswa/peserta didik dapat diterapkan dalam
berbagai situasi, bukan hanya terbatas pada masalah belajar saja, tetapi dapat
juga diterapkan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi
masalah, siswa/peserta didik tidak akan tergantung pada bantuan orang lain.
Tampaknya, Knowless (1975), Kozma, Belle, Williams (1978), Panen dan
Sekarwinahyu (1997) hanya menekankan kemandirian belajar dalam pemilihan sumber
dan cara belajarnya. Definisi kemandirian siswa tidak meliputi penentuan tujuan
pembelajaran dan evaluasi hasil belajarnya.
Tingkat Kemandirian
Siswa/Peserta Didik Dalam Berbagai Program Pembelajaran
Di bagian terdahulu telah
dibicarakan bahwa menurut Wedemeyer dan Moore (dalam Keegan, 1983), kemandirian
belajar itu dapat ditinjau dari ada tidaknya kesempatan yang diberikan kepada
siswa/peserta didik (1) dalam menentukan tujuan pembelajaran, (2) dalam memilih
cara dan media belajar yang digunakan untuk mencapai tujuan, dan (3) dalam
menentukan cara, alat, dan kriteria evaluasi hasil belajarnya. Kemandirian
belajar diberikan kepada siswa/peserta didik dengan maksud supaya siswa/peserta
didik mempunyai tanggung jawab untuk mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan
mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut
perlu dimiliki siswa/peserta didik karena hal tersebut merupakan ciri
kedewasaan orang yang terpelajar.
Sampai tingkat tertentu,
setiap program, metode pendidikan
dapat memberikan kesempatan kepada
siswa/peserta didik untuk belajar secara mandiri. Ada program atau metode pendidikan yang tingkat
kemandirian siswa/peserta didiknya sangat besar, sebaliknya ada juga yang
tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya sangat kecil.
Contoh program atau metode pendidikan yang tingkat
kemandirian siswa/peserta didiknya sangat besar sangat besar adalah program SMP
Terbuka yang memberikan pembelajaran dengan system modul, Paket A, B, C dan
Universitas Terbuka.
Sedangkan contoh
program atau metode pendidikan yang
tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya relative kecil adalah tugas mandiri,
pembelajaran model portofolio yang member kesempatan kepada siswa untuk memilih
materinya sendiri, memilih cara penetuan sumber belajar sendiri.
The article titled "Prinsip-Prinsip Pembelajaran" on Nurhibatullah's blog offers insightful guidance on effective teaching strategies. It emphasizes the importance of feedback in the learning process, highlighting that timely and constructive responses from teachers can significantly enhance student motivation and understanding. The article also discusses the detrimental effects of delayed feedback, noting that it can lead to decreased student interest and engagement. By advocating for prompt and meaningful feedback, the article provides valuable recommendations for educators aiming to foster a more responsive and supportive learning environment.
ReplyDeletehttps://www.holyquranclasses.com/