A.
Ketimpangan Penelitian Sastra
Penelitian
sastra sampai saat ini memang cenderung masih berat sebelah. Maksudnya di
beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi sastra orientasi penelitian
masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya, hasil penelitian sastra cenderung
bersifat deskriptif belaka. Di beberapa sentral penelitian, hasil penelitian
pada umumnya masih berkutat pada hal-hal teoritik sastra. Yakni, sebuah wilayah
penelitian sastra untuk sastra. Orientasi semacam ini sering dianggap kurang
lengkap, karena karya sastra sebenarnya merupakan bahan komunikasi antara
pengarang dengan pembaca.
Kepincangan penelitian sastra yang terasa sampai saat ini adalah masih jarang
peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen. Padahal, penelitian yang
satu ini sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini terabaikan.
Pemakaian metode ini sekurang-kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh
tanggapan pembaca sastra, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka
pengembangan sastra ke depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya
penelitian sastra akan semakin kurang bermakna.
B.
Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra
Banyak
pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong “ringan” kadar
keilmiahanya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di berbagai tempat,
yang ternyata, tidak atau belum dan kurang memiliki bobot karakteristik
penelitian ilmiah. Ini menyebabkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan
dari komentar sastra dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar
dibedakan dari timbangan buku atau karya yang masih ringan bobotnya.
Minimnya
teori penelitian sastra, sering berakibat “comot sana-sini” dan memungut teori
asing yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut
umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang-kadang kurang relevan dengan
eksistensi sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi
dengan “teori dalam negeri” yang lebih membumi. Akibatnya, ada “pemaksaan”
teori sastra asing yang kurang siap untuk memasuki sastra di Indonesia.
Meskipun mengambil teori asing itu sah-sah saja dan tak haram, namun tanpa
kecerdasan si pemakai hanya akan “mengotori” penelitian sastra kita.
C.
Kerancuan Istilah Penelitian Sastra
Penelitian
sastra sering disejajarkan dengan kajian, telaah, studi dan kritik akademis.
Hanya saja yang sedikit berbeda adalah kritik sastra. Sedangkan kajian, telaah
dan studi kurang lebih memiliki tujuan yang sama yaitu memahami karya sastra.
Beberapa istilah tersebut selalu berusaha mendalami karya sastra menggunakan
paradigma pemikiran tertentu.
Istilah-istilah di atas akan dilalui melalui “pintu masuk” yang dinamakan
memahami sastra. Membaca sastra di berbagai tingkat, ruang, umur, akan berbeda
satu sama lain. Karenanya, membaca sastra di Perguruan Tinggi otomatis akan
memiliki tekanan yang berbeda dengan membaca sastra di sekolah sebelumnya.
Tingkat kecermatan membaca sastra (prosa, puisi, dan drama) di Perguruan Tinggi
telah ke arah pemahaman sebagai studi (kritik dan penelitian), sedangkan di
sekolah bawahnya lebih cenderung ke apresiasi biasa untuk kenikmatan.
D.
Persoalan Metode, Teknik, dan Pendekatan
Karya
sastra adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh
serangkaian makna dan fngsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas.
Oleh karena, karya sastra memang syarat dengan imajinasi. Itulah sebabnya,
peneliti sastra memiliki tugas untuk mengungkap kekaburan itu menjadi jelas.
Peneliti sastra akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan
menafsirkan sesuai paradigma dan atau teori yang digunakan.
Tugas
demikian, akan menjadi bagus apabila peneliti memulai kerjanya atas dasar
masalah. Tanpa masalah yang jelas dari karya sastra yang dihadapi tentu kerja
penelitian juga akan menjadi kabur. Manakala penelitian kabur dan karya sastra
itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal.
Itulah sebabnya kepekaan peneliti sastra untuk mengangkat sebuah persoalan
menjadi penting.
Pendekatan penelitian ada bermacam-macam, tergantung sisi pandang peneliti.
Semakin rinci jenis pendekatan yang dipilih, tentu penelitian akan semakin
sempit dan detail. Tentang nama-nama pendekatan itupun masing-masing ahli
tampaknya bebas memberikan pendapat. Masing-masing pendekatan juga memiliki
arah dan sasaran penelitian yang berbeda-beda. Secara garis besar, Tanaka
(1976:9) mengenalkan dua pendekatan yaitu : (1) mikro sastra dan karya sastra
dapat berdiri sendiri tanpa bantuan aspek lain disekitarnya. Sebaliknya, makro
sastra adalah pemahaman sastra dengan bantuan unsur lain di luar sastra. Dua
tawaran pendekatan tyersebut sebenarnya sejajar dengan pendekatan Wellek dan
Warren (1989), yaitu pendekatan intrisik dan ekstrisik. Pendekatan intrisik
adalah penelitian sastra yang bersumber pada teks sastra itu sendiri secara
otonom. Sedangkan pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur luar
karya sastra. Yakni pengkajian konteks karya sastra diluar teks.
MANAJEMEN
SASTRA
A.
Peranan Penelitian Sastra
Penelitian
sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehiduypan manusia, di
samping juga berpenrgaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangn sastra itu
sendiri (Tutoli, 1990:902). Peranan semacam ini nakan mencapi optimal apabila
penelitian sastra tersebut dilakukan sunghguh-sungguh. Pencapaian sastra yang
sekedar asl-asalan, hanya akan melahirkan sampah saja, dan mungkin justru
merongrong eksistensi sastra itu sendiri.
Lebih
khusus lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra adalah nuntuk memahami makna
karya sastra sedalam-dalamnya (Pradopo, 1990:942). Berarti penelitian sastra
dapat berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu
sendiri. Kepentingan di luar sastra, antara lain, jika penelitian tersebut
berhubungan dengan aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, filsafat, moral,
dan sebagaqinya. Sedangkan kepentingan bagi sastra adalah untuk meningkatkan
kualitas cipta sastra.
Peranan penelitian sastra bagi aspek di luar sastra dipengasruhi oleh kandungan
sastra sebagai dokumen zaman. Di dalamnya, karya sastra akan menjadi saksi
“sejarah” yang dapat mengembangkan ilmu lain begitu juga sebaliknya. Peranan
semacam ini boleh dikatakan sebagai aspek pragmatika penelitian sastra. Hal ini
akan membuka kerjasama yang baik antar disiplin ilmu, antara sastra dengan bidang
lain. Lebih jauh lagi, penelitian sastra juga akan membantu penmgembangan teori
sastra, penulisan sejarah sastra, dan meperluas apresiasi pembaca.
B.
Penelitian Sastra Yang Kreatif
Penelitin
sastra, akan mengikuti sistem berpikir ilmiah, menggunakan metode, teori,
mlogis, analitis dan kreatif. Syarat kreatif ini, merupakan upaya interpretasi
dan evaluasi teks sastra. Jika penelitian sastra masih sebatas kajian
unsur-unsur belum dapat dikatakan kreatif, karena kerja semacam itu belum
secara suntuk menggunakan intuisi dan wawasan yang tajam.
Kemampuan
penelitian sastra yang kreatif, cukup penting karena karya sastra sendiri
sebuah fenomena kreatif (Atmazakli, 1993:114-115). Sebagai karya kreatif, tentu
perlu ditanggapi secara kreatif pula. Penelitian sastra yang kreatif juga akan
meninggalkan kejenuhan. Jika penelitian sastra hanya statis, mungkin sekali
akan membosankan bagi peneliti dan pembaca hasil penelitian. Penelitian sastra
yang tak kreatif, hanya kemungkinan akan melahirkan potongan-potongan dan
komentar teks sastra.
C.
Kemitraan Penelitian Sastra
Selama
ini, diakui atau tidak, kemitraan penelitian sastra masih sangat lemah.
Kemitraan antar lembaga penelitin dan individu masih sangat “tertutup” atau
terbatas. Jika ada kemitraan, kemungkinan masih dalam komunitas kecil (intern)
saja. Padahal sebenarnya penelitian sastra sangat terbuka kesempatan kerjasama
dan interdisipliner, sehingga akan dihasilkan karya penelitian yang handal.
Kemitraan
penelitian dalam lingkup kecil, biasanya lebih bersifat personal atau antar
peneliti saja. Di antara peneliti dari dua atau lebih lembaga yang berbeda,
yang ikhlas memang seringkali tukar-menukar hasil penelitian. Dengan cara
barter hasil penelitian ini, diharapkan akan memberi wawasan baru penelitian
sastra. Hal ini penting, kalau dilakukan secara rutin. Apalagi, kalau kemitraan
personal itu terjadi dalam skrup wilayah jangkuan yang luas. Misalkan antar
teman peneliti di luar propinsi atau kota, dan bahkan lebih hebat lagi antar
negara. Paling tidak setiap peneliti akan sedikit tahu peerkembangan penelitian
pada wilayah lain.
D.
Diseminasi Penelitian Sastra
Tanpa
diseminasi, hasil penelitian akan sia-sia. Penelitian sastra hanya akan
tertumpuk di rak atau meja. Artinya, penelitian tersebut belum atau tidak memberikan
sumbangan berharga bagi pertumbuhan sastra. Padahal dari aspek kuantitas,
penelitian sastra di Indonesia jelas cukup melimpah. Di berbagai perguruan
tinggi yang membuka jurusan sastra, telah menumpuk skripsi, tesis, disertasi,
dan sejumlah penelitian sastra. Sayangnya, karena tak dikelola secara optimal,
penyebaran karya penelitian tersebut ke berbagai wilayah yang mungkin ingin
membaca, kurang terpercaya.
Kalau
penelitian sendiri atau lembaga yang bersangkutan akan mengirimkan hasil
penelitian ke berbagai instansi, masalahnya terletak pada keterbatasan dana.
Hal ini jelas memerlukan perhatian para pemerhati sastra. Kalau skripsi dan
tesis yang berkualitas dan menarik, mungkin akan sedikit menolong diseminasi
penelitian sastra. Namun perlu diingat, penerbitan buku jelas mengutamakan
tema-tema yang marketable, bukan aspek keilmiahan semata. Padahal hasil
penelitian sastra kadang-kadang ada yang sangat teknis, memuat istilah-istilah
kering, dan jargon-jargon penelitian yang mungkin kurang menarik bagi penerbit.
Karenanya, hal ini membutuhkan kelihaian peneliti untuk menyiasati agar mampu
menyajikan hasil penelitian ke dalam bentuk buku-buku yang enak dibaca.
EPISTEMOLOGI
PANELITIAN SASTRA
A.
Seluk beluk Epistemologi
Epistemologi
bersal dari bahasa Yunani, episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya
ilmu. Epistomologi adalah dasar-dasar filosofi ilmu pengetahuan. Menurut
Foucault (Kurniawan, 2001:36-37) Episteme adalah sistem apriori historis
tertentu dalam suatu zaman yang tidak disadari oleh orang-orang pada zxaman
itu, tetapi secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan, dan
pembicaraan mereka. Episteme sebenarnya merupakan sekumpulan relasi yang menyatukan,
pada periode tertentu, praktek-praktek diskursif yang memberi kemunculan
bentuk-bentuk epistemologi, ilmu-ilmu dan kemungkinan sistem-siste yang
diformulasikan, suatu cara yang setiap formulasi-formulasi diskursif ini
transisi-transisi ke pengepistemologian, keilmiahan, dan formula disituasikan
dan dioperasikan.
Dari
pendapat demikian, epistomologi sesungguhnya merupakan system pengetahuan yang
tertata, teratur dan logis. Epistomologi adalah ilmu tentang metodologi dan
dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasaannya. Dari sini akan
diperoleh pemahaman epistomolog sastra berarti juga hal ihwal yang menyangkut
aspek hakikat metodologis penelitian sastra. Aspek ini mestinya mampu
mengemukakan hal-hal mana yang dapat dikategorikan sastra dan non sastra, mana
yang menjadi obyek penelitian dan mana yang bukan, serta bagaimana kajian yang
lebih sistematis.
B.
Penelitian sastra Sebagai Ilmu
Ada
sebuah artikel kecil yang mempertanyakan keberadaan penelitian sastra, yaitu “
dapatkah karya sastra diteliti ?. Pertanyaan yang sebenarnya tidak harus
dijawab dengan kusir ini, sebenarnya mengarahkan agar peneliti sastra perlu
bersikap hati-hati. Peneliti yang berhadapan dengan sastra, berarti akan
terkait dengan sejumlah fakta yang “luar biasa” dan unik. Artinya di dalam
karya sastra akan mencerminkan berbagai fakta yang kemungkinan membutuhkan
kecermatan dalam penelitian.
Sastra,
pada dasarnya akan mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah
“fakta sesungguhnya” melainkan sebuah fakta mental pencipta. Pencipta sastra
telah mengolah halus fakta obyektif menggunakan daya imajinasi, sehingga
tercipta fakta mental imajinatif. Dari sini jika peneliti hendak mengungkap
fakta tersebut tentu memerlukan kejelian. Tantangannya tak lain, penliti harus
tepat dalam menerapkan metode penelitian sastra. Jika tidak, kemungkinan besar
akan menghasilkan penelitian yang bisa data.
C.
Antara Subyektivitas dan Obyektivitas
Peneliti
sastra kadang-kadang dianggap latah dan sisa-sia. Maksudnya, peranan penelitian
yang langsung dapat dipetik darinya, tetap diragukan oleh banyak pihak. Karena,
ada berbagai hal yang tetap dianggap misteri dalam konteks penelitian tersebut.
Setidaknya, dari sisi keilmiahan penelitian sastra sering dianggap rendah. Oleh
karena, karya sastra sebagai fenomena imajinatif yang sulit dideteksi dan
diukur validitasnya. Itulah sebabnya kejanggalan dalam penelitian sastra selalu
muncul.
Jik penelitian sastra tadi benar-benar telah dilakukan, seringkali juga
dianggap terlalu akademis. Bahkan seringkali ada perlakuan”mati” terhadap karya
sastra oleh si peneliti. Maksudnya peneliti sekedar bertindak seperti seorang
dokter bedah mayat yang ada di rumah sakit. Akibatrnya, sisi-sisi kemanusiaan
yang lekat dalam karya sastra sulit tertangkap. Jika yang terakhir ini pun
sulit terhindarkan. Akhirnya, ilmuwan dan peneliti sastra selalu menjadi hamba
yang tak pernah sampai dalam memahami karya sastra.
D.
Positivisme dan Konstruk Penelitian Sastra
Positivisme
adalah paham filosofi yang mendasari peneliti melakukan kajian. Mereka meyakini
bahwa karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim perasaan dalam
masyarkat. Kaum positivistic beranggapan bahwa : (a) ada hubungan kasualitas
antara kehidupan dengan karya seorang pengarang, (b) sesuatu dapat diterangkan
apabila sebabnya dapat dilacak kembali(orientasi sejarah), (c) sastra dapat
diterangkan secara tuntas dengan menelusuri kembali sejarah terjadinya,
misalnya fakta hidup pengarang, kejadian geografik dan historis.
Dari tiga ciri tersebut, tampak bahwa kaum positivistic lebih mengedepankan
regularitas penelitian. Fenomenba sastra dengan sendirinya dianggap memiliki
regularitas seperti halnya ilmu alam. Kepastian makna menjadi cirri paham ini,
maka mereka mempercayai bahwa setiap sastra dianggap memiliki nilai didik yang
positif. Karya sastra akan menyampaikan tujuan tertentu yang mengikuti hubungan
kausal. Hal ini berarti bahwa prinsip keajegan selalu dipegang oleh paham
positivistic.
ALIRAN
PENELITIAN
A.
Ciri Aliran Penelitian Klasik
Aliran
penelitian sastra adalah sebuah kecenderungan yang tampil pada suatu zaman.
Setiap era kadang-kaddang memiliki tedensi yang berbeda-beda, sehgingga
melahgirkan aliran tertentu pula. Berbagai aliran sastra memang cukup banyak
jumlahnya. Setiap aliran sastra, disadari atrau tidak juga telah mewarnaai
lahirnya berbagai model atau pendekatan penelitian sastra. Oleh karena, setiap
peneliti kadang-kadang terbawa arus dan secara sadar mengikuti aliran tersebut.
Aliran
yang tergolong klasik dan modern juga seringkali mewarnai arah penelitian
sastra. Seorang peneliti yang dihadapkan pada suatru aliran, secara otomatis
akan mengkuti aliran tersebut dalam penelitiannya. Karenanya, seorang penelitri
lalu menciptakan sisi pandang tertentu dalam pemahaman karya sastra. Cara pandang
inilah yang kelak sering dinamakan pendekatan.
Pendekatan
klasik penelitian sastra, pada awanya berasal dari Yunani dan Romawi Kuno.
Namun penelitian klasik selanjutnya tidak selalu demikian. Pelitian sastra yang
selalu mengandalkan logika, akal, dan menekankan bahwa karya sastra harus
memenuhi fungsinya, termasuk penelitian klasik. Penelitian klasik, yang sering
dinamakan pendekatan tradisional, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(1).
Hasil penelitian sastra harus sejalan dengan tujuan yang disampaikan
penulisnya.
(2). Penelitian sastra mmenggunakan pendekatan klasik biasanya menekankan pada
ajaran moral karya sastra.
B.
Penelitian Beraliran Ekspresivisme
1.
Munculnya ekspresivisme
Penelitian
ekspresivisme sastra adalah model penelitian yang jarang dilakukan oleh
peneliti sastra. Penelitian yang berupa kajian semi-psikologis ini mungkin
kurang menarik dan atau dipandang kurang menguntungkan bagi penelitinya.
Mungkin sekjali, pengarangnya telah tiada, atau jauh dari pembaca. Karenanya
jika penelitian ekspresivisme sekadar bersumber pada teks sering dianggap
kurang lengkap.
Penelitian
ekspresivisme lebih memandang karya sastra sebagai eskpresi dunia batin
pengarangnya. Karya diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan,
cita-cita, pikiran, kehendak, dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja,
pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang,
sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin
itu akan menjadi pendorong kuat bagi lahirnya karya sastra. Pengalaman tersebut
lebih individual dan bersifat imajinasi yang disintesiskan dalam sebuah karya
sastra.
2.
Kritik Ekpresivisme
Kehadiran
penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra.
Penelitian ini dianggao kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda
subjektivita pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri
seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya
tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang
pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa,
seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi
teringat seratus persen tentang penciptaan.
Dari
persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta
lebih cerdik memanipulasi alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat
menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari
tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab
atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan
pencipta pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan
kalau Wimsatt dan Beardsley ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian
ekspresivisme.
3.
Aspek yang diungkap
Penelitian
ekspresivisme sebenarnya tidak terlalu sulit asalkan penulis masih hidup dan
tinggal tidak terlalu jauh jaraknya dengan peneliti. Karenanya, jaringan
komunikasi peneliti dengan penulis perlu ditekankan agar proses penelitian
berjalan lancar. Berbagai hal yang seharusnya diungkap dalam penelitian
ekspresivisme adalah :
(1).
Memahami lebih mendalam bahwa pengarang adalah orang yang cerdas dan cerdik
bermain estetika.
(2).
Bagaimana penguasaan bahasa sastrawan sehingga mampu memikat pembaca.
(3). Seberapa jauh pengarang memiliki kepekaan terhadap persoalan kehidupan,
baik yang menyangkut dunia mungkin maupun dunia lain.
C.
Penelitian Beraliran Romantisme.
Penelitian
sastra aliran romantisme selalu berprinsip bahwa karya sastra merupakan cermin
kehidupan realitik. Karya sastra adalah kisah kehidupan manusia yang penuh
liku-liku. Pengungkapan realitas kehidupan tersebut menggunakan bahasa yang
indah, sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi fokus penting
dalam kajian romantisme. Misalkan, gambaran gadis cantik atau jejaka tampan,
dilukiskan sesempurna mungkin. Pelukisan itu seringkali menggiurkan pembaca.
Penelitian romantisme biasanya terfokus pada karya-karya yang melukiskan
kehidupan seksual secara detail. Lukisan kehidupan seks yang penuh birahi ini,
justru menarik perhatian. Oleh karena itu peneliti telah mengasumsikan bahwa
karya sastra yang bermutu adalah karya yang mampu melukiskan kehidupan sedetail
mungkin.
D.
Penelitian beraliran Simbolisme dan Mistisisme
Aliran
simbolik biasanya berupa karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
menggunakan simbol tertentu. Simbol-simbol itu diabstrasikan agar pembaca
semakin tertarik dan penasaran. Simbol yang biasa digunakan adalah benda-benda
dan mahkluk di luar manusia. Pemakaian tokoh-tokoh binatang atau tumbuhan yang
dapat berbicara seperti manusia, adalah contoh aliran ini.
Melalui
aliran simbolik itu, lalu banyak muncul dongeng-dongeng, legenda dan mite.
Cerita semacam ini merupakan gambaran hidup manusia, meskipun tokoh-tokohnya
sebagian besar adalah binatang. Di Indonesia, aliran simbolik pernah mengemuka
ketika muncul dongeng-dongeng binatang. Misalkan saja Dongeng Sato Kewan karya
Prijana Winduwinata. Dongeng ini bertokohkan binatang, terutama si Kancil, padahal
isinya sebenarnya berbau politik pada saat itu. Ini berarti, aliran simbolik
banyak diikuti pengarang-pengarang yang ingin membungkus karyanya. Pembukusan
itu dimaksudkan agar tidak terlalu kentara jika berisi pesan ataupun kritik
pedas.
MODEL
BARU PENELITIAN SASTRA
A.
Grounded Research
Penelitian
sastra selalu berkaitan dengan teori sastra pula. Teori itu kadang-kadang kita
impor dari negara lain. Kita sering tergila-gila pada teori yang berasal dari
barat, seperti teori Abrams, Teeuw, Barthes, Eagleton, Taine, dan sebagainya.
Ini menunjukkan bahwa peneliti sastra kita dipaksakan untuk membedah karya
sastra kita.
Pemaksaan teori tersebut juga telah membingkai peneliti sastra kita ke arah
positivisme. Padahal, peneliti positivistik ini belum tentu sejalan dengan
kondisi sastra kita. Pemahaman positivistik ini seringkali juga membelenggu
lahirnya teori-teori baru di negeri kita. Lebih tegas lagi, kita sering
kekeringan teori pemnelitian sastra yang benar-benar membumi. Karena adopsi
teori sastra barat tersebut belum sepenuhnya mampu membingkai kondisi sastra
kita. Ke-khasan sastra kita kadang-kadang tidak terwadahi oleh teori asing.
B.
Kajian Fenomenologi Sastra
1.
Titik Tolak fenomenologi Sastra
Fenomenologi
adalah tataran berpikir secara filosofi terhadap obyek yang diteliti.
Kecenderungan filsafat yang dipelopori Husserl ini menekankan peranan pemahaman
terhadap arti. Dalam penelitian sastra, fenomenologi tidak mendorong
keterlibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks sastra sesuai
kesadaran peneliti. Dalan kaitan ini Gadamer (Selden, 1991 : 117) menjelaskan
bahwa sebuah karya sastra tidak muncul ke dunia sebagai seberkas arti yang
selesai dan terbungkus rapi. Arti tergantung pada situasi kesejarahan penafsir.
Dari penjelasan ini berarti otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki
peranan penting.
Wawasan
ini menghendaki agar pengungkapan sebuah gejala didasarkan pada “penjelasan dan
pengertian gejala itu sendiri”. Penangkapan gejala tersebut, dalam fenomenologi
sastra memang lahir dari berbagai macam fenomenologi. Jika pengenalan gejala
berusaha mengungkap pengertian murni obyek sastra, biasanya disebut
fenomenologi eidetik. Fenomenologi ini didasarkan pada kajian bahasa, yang
meliputi kajian makna dari fenomena dari gejala utama, lalu dipilahkan,
disaring dan ditemukan gambaran pengertian murni,. Jika penangkapan fenomena
mendasarkan pada kesadaran aktif (cigitto) peneliti, maka ia dinamakan
fenomenologi transendental. Berbeda dengan fenomenologi eksistensial, bahwa
penentuan gejala semata-mata bersifat individual. Refleksi individual menjadi
guru bagi individu sendiri untuk menemukan kebenaran. Pengaruh personal sangat
menentukan makna karya sastra.
2.
Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam
pandangan Iser (1988:212) fenomenologi sastra adalah pendekatan yang menekankan
pada aspek idea. Dalam mempertimbangkian makna karya sastra, seharusnya tak
hanya didasarkan pada teks saja, melainkan perlu adanya tanggapan terhadap teks
tersebut. Dalam kaitan ini, Roman Ingarden mengenalkan adanya proses
konkretisasi teks setelah dibaca. Tindakan konkretisasi ini hadir dari
tanggapan pembaca.
Itulah
sebabnya pemahaman karya sastra secara fenomenologi perlu mencermati
tingkat-tingkat makna. Sebuah karya sastra tidak satu makna, melainkian memuat
sejumlah makna yang berlapis. Tugas fenomenolog adalah menyingkap lapis-lapis
makna itu. Senada dengan hal demikian, Roman Ingarden menyebutan bahwa karya
sastra pada dasarnya memiliki sejumlah lapisan atau strata makna. Lapisan
tersebut meliputi : (a) lapis bunyi, yaitu wujud paparan bahasa sebagai artefak
yang mengembangkan makna tertentu, (b) dunia obyektif yang diciptakan
pengarang, (c) dunia yang dipandang dari titik perpektif tertentu oleh
pengarang dan (d) lapis arti yang bersifat metafisis. Keseluruhan unsur
tersebut secara potensial telah ada dalam karya sastra itu sendiri.
Penanggaplah yang harus berupaya mengkonkretkan melalui pelibatan kesadaran
dalam membaca teks sastra.
C.
Kajian Hermeneutik Sastra
1.
Pentingnya Hermeneutik
Secara
sederhana, hermeneutik berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal hermeneutik
sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki
paradigma tersendiri. Kata Ricoeur (Sumaryono, 1999:106), hermeneutik berusaha
memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Permahaman makna, tak hanya
pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks
yang bersifat polisemi. Maka, penliti harus menukik ke arah teks dan konteks
hermeneutik sehingga ditemukan makna utuh.
Pada
dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode tafsir sastra.
Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan Kedua, metode
yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu
memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas
konteks historis-kultural., Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran
hermeneutik.
2.
Langkah Kerja dan Aspek Kajian
Dalam
kaitan dengan interpretasi, Smith (Luxemburg, 1989:51) mensugestikan bahwa “
our interpretation of a work and our experience of its value are mutually
dependent, and each depend upon wahat might be called the psychological ‘set’
our encounter with it”. Dari sugesti ini, berarti intrerpretasi teks sastra
sangat tergantung pada pengalaman di peneliti. Semakin dewasa si peneliti,
tentu kematangan psikologisnya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan pula.
Pengalaman peneliti juga amat penting dalam menggali makna sebuah teks sastra.
Penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari
enam pokok rambu-rambu yaitu :
(1).
Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas.
(2). Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Dalam pendekatan
ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak
pada teks sendiri atau diluar teks.
(3).
Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha
memadukan masa silam dan masa kini.
(4).
Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra.
(5).
Penafsiran yang berpangkal; pada suatu problematik tertentu, misalkan dari
aspek politik, psikologis, sosiologis, moral dan sebagainya.
(6).
Tafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan,
melainkan hanya ingin mmenunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam
teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.
PENELITIAN
FORMALITAS DAN STRUKTURALISME MURNI
A.
Prinsip Strukturalisme
Strukturalisme
merupakan cabang penelitian sastra yang tak bisa lepas dari apek-aspek linguistik.
Sejak jaman Yunani, Aristoteles telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep
wholeness, unit, complexity dan coherence. Hal ini merepresentasikan bahwa
keutuham makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra. Keseluruhan
sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing
unsur memiliki pertautan dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena
masing-masing unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit
struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan
struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa pararelisme, pertentangan,
inversi dan kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan
tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan. Sebagi contoh, kata manis baru
bermakna lengkap ketika dipertentangkan dengan kata pahit. Ini berarti bahwa
struktur sastra memiliki fungsi.
Menurut
Jean Peaget (Hawkes, 1978:16) Strukturalisme mengandung tiga hal pokok.
Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau
unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrisik yang menentukan
baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
Kedua,
gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur
transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru.
Ketiga, keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan
hal-hal diluar dirinya untuk mempertahankan prosedur trransformasinya, struktur
itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Pahan strukturalis, secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya telah
menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Paham ini mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau
seperti yang dikemukakan Luxemburg (1989) tentang signifiant-signifie dan
paradigma-syntagma. Kedua unsur itru selalu berhubungan dan merajut makna
secara keseluruhan. Karenanya, kedua unsur penting ini tak dapat dipisahkan
dalam penafsiran sastra.
B.
Kelebihan Dan Kelemahan Strukturalisme
Dalam
penelitian struktural, penekanan pada relasi antar unsur pembangun teks sastra.
Unsur teks secara sendiri-sendiri tidak penting. Unsur teks itu hanya memperoleh
arti penuh melalui relasi oposisi maupun relasi asosiasi. Relasi oposisi
biasanya lebih berkembang pada dunia antropologi, sedangkan dunia sastra banyak
menggunakan relasi asosiasi. Melalui Barthes dan Kristeva di Perancis,
strukturalismme mulai berkembang luas. Keduanya mengenalkan penafsiran
struktural teks sastra berdasarkan kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa
itu, diungkapkan retorika, psikoanalisis dan sosiokultural.
Penekanan
strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian
dilakukan secara obyektif yaitu menekankan aspek intrisik karya sastra.
Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar
unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah “
artefak”(benda seni) yang bermakna. Artefak tersebut terdiri dari unsur teks
seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gata bahasa dan sebagainya yang
jalin-menjalin rapi. Jalinan antar unsur tersebut akan membentuk makna yang
utuh pada sebuah teks. Itulah sebabnya, Smith (Aminuddin, 1990:62)
mengungkapkan penelitian dtruktur internal karya sastra merupakan the
ontological structure of the work of art. Dari sini tampak bahwa karya sastra
merupakan organised whole has various constituente, unsur-unsur pemadu dalam
totalitas itu memiliki interrelations and mutual dependencies, dan antara unsur
pembangun totalitas itu memiliki stratifikasi hubungan tertentu.
Sebagai sebuah model penelitian, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada
beberapa kelemahan yang perlu direnungkan bagi peneliti struktural, yaitu
melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya
sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah dan
terpisah dari aspek kemanusiaan.
Analisis
strukturalisme biasanya mengandalkan paham positivistik, yaitu berdasarkan
tekstual. Peneliti membangun teori analisis struktural yang handal, kemudian
diterapkan untuk menganalisis teks. Metode positive ini biasanya juga sering
digunakan kaum formalis, yang mempercayai teks sebagai studi utama. Yang
menjadi problem analisis strukturalisme, antara lain pada pemilihan data teks.
Seringkali peneliti tergoda untuk meneliti karya-karya dari pengarang ternama
saja. Padahal sesungguhnya pengarang lain perlu dikaji secara struktural.
Paling tidak jika ada perbedaan struktur antara karya yang bersifat subjektif
ini, seringkali juga menyebabkan penelitian strukturalisme kurang berkembang di
beberapa pusat penelitian.
C.
Langkah Kerja Strukturalisme
Langkah
yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural adalah sebagai berikut :
1.
Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur
yang terkandung dalam bacaan itu.
3.
Unsur tema sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lainm
karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
4.
Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan
antar unsur.
PENGEMBANGAN
PENELITIAN STRUKTURAL SASTRA
1.
Strukturalisme Genetik
Strukturalisme
genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian sastra secara
struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural
dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan
penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan
lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili
pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagi individu melainkan
sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara
struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang
diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami
secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks
sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian
sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia, yang bagi Goldman selalu terbayang dalam karya sastra agung,
adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi obyektif).
Abtraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena
pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas
kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya
sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar
belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan
waktu tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik, karenanya
disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang
dari asalnya dan kejadiannya.
Teknik
analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model dialektik.
Teknik ini berbeda dengan positivistik, intuitif, biografi dan sebagainya.
Model dialektik mengutamakan makna yang koheren. Prinsip dasar teknik analisis
dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap
abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dalam
totalitas. Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua macam
konsep, yaitu “ keseluruhan-bagian’ dan “ pemahaman-penjelasan.
Goldman
menyatakan bahwa sudut pandang dialektik berbeda dengan sudut pandang rasional
dan sudut pandang empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya mengansumsikan
adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara langsung dapat didekati,
sedangkan kaum empirik menyandarkan diri pada kesan inderawi. Dua sudut pandang
penelitian ini sama-sama mengharuskan agar ditemukannya pengetahuan secara
pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda dengan sudut pandang dialektik,
yang berasumsi bahwa dalam analisis sastra tidak pernah ada titik awal yang
secara mutlak valid, tidak ada persoalan yang secara final pasti terpecahkan.
2.
Strukturalisme Dinamik
Strukturalisme
dinamik lebih merupakan pengembangan strukturalisme murni atau klasik juga.
Strukturalisme dinamik mengakui kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui
peran sejarah serta lingkungan sosial, meski bagaimanapun sentral penelitian
tetap pada karya sastra itu sendiri. Perbedaan pokok antara strukturalisme
genetik dan dinamik terletak pada subyek yang diteliti. Strukturalisme dinamik
lebih menekankan pada karya-karya masterpice, karya mainstream, dan karya
agung.
Strukturalisme dinamik lebih fleksibel dalam menerapkan teori penelitian. Teori
yang dipakai biasanya merupakan gabungan sedikit-sedikit antara teori satu
dengan yang lain. Penelitian ini menolak asumsi-asumsi strukturalisme murni
yang sangat menolak kesadaran subyektif, takluk pada sistem, menolak
historismer, mengidolakan sinkronik dan anti humanisme. Atas dasar ini,
strukturalisme dinamik justru mengenalkan penelitian sastra dalam kaitannya
dengan sistem tanda.
Caranya
adalah menggabungkan kajian otonom karya sastra dan semiotik. Kajian otonom
dilakukan secara intrisik dan kajian semiotik akan merepresentasikan teks
sastra sebagai ekspresi gagasan, pemikiran, dan cita-cita pengarang. Gagasan
tersebut dimanifestasikan dalam tanda-tanda khusus. Kepaduan antar struktur
otonom dan tanda ini, merupakan wujud bahwa struktur karya sastra bersifat
dinamik.
3.
Strukturalisme Semiotik
Dari
kodratnya, karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan
pengarang lewat bahasa. Bahasa ini sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan
bahasa khas. Yakni bahasa yang memuat tanda-tanda satu semiotik. Bahasa itu
akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dam ilmu yang
mempelajari masalah ini, adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan
semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.
Model
struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian
struktur. Jika struktural sekadar menitikberatkan aspek intrisik, semiotik yang
demikan halnya, karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra memiliki
sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian struktural semiotik, artinya
penelitian yang menghubungkan aspek-aspek struktural dengan tanda-tanda. Tanda
sekecil apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan.
Kajian
struktural semiotik akan mengungkap karya sastra sebagai sistem tanda. Tanda
tersebut merupakan sarana komunikasi yang bersifat elastis. Karenanya setiap
tanda membutuhkan pemaknaan (Segers, 2000:6), membagi tiga jenis sarana
komunikasi, yaitu signal dan symbol. Signal adalah tanda-tanda yang merupakan
elemen terendah, seperti halnya sebuah stimulus pada sebuah bintang. Sign
adalah tanda-tanda. Symbol adalah lambang yang bermakna. Ketiganya seringkali
digunakan tidak secara terpisah dalam dunia sastra. Karena itu, tugas peneliti
sastra adalah meberikan rincian ketiganya, sehingga makna sastra itu menjadi
jelas.
Sistem kerja penelitian semiotik dapat menggunakan dua model pembacan, yaitu
heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah telaah dari kata-kata,
bait-bait (line), dan term-term karya sastra. Sedangkan pembacaan hermeneutik
merupakan penafsiran atas totalistas karya sastra.
Fokkema
dan Kunne-Ibsch (1977:166) memberikan acuan bahwa penelitian semiotik
sekurang-kurangnya perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu (a) the
construction of abstract scientific models, (b) explanatory model, (c)
schematic simplication. Sedangkan menurut Riffaterre (1978:1-2) penelitian
semiotik perlu memperhatikan tiga hal juga, yaitu (1)displacing of meaning
(penciptaan arti), (2) distorting of meaning (penyimpangan arti), (3) creating
of meaning (penciptaan arti). Meskipun konsep analitik itu banyak digunakan
dalam penelitian puisi, tidak berarti tidak dapat diterapkan pada genre lain.
Genre drama dan prosa pun dapat memanfaatkan hal ini.
PENELITIAN
SOSIOLOGI SASTRA
A.
Sosiologi Sastra
1.
Rasionalisasi Sosiologi Sastra
Rasionalisasi
penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967:75), bahwa “all
literature, however, fantastic or mystical in concent is animated by a profound
social concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work.
Pendapat ini jelas merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra
(fantastis dan mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial.
Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang
ada di masyarakat. Memang pencipta sastra akan dengan sendiri mendistorsi fakta
sosial sesuai dengan idealisme mereka.
Dalam
pandangan Wolf (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa
bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi
empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang
masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan
dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Ia juga menawarkan studi sosiologi
yang lebih verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level “makna”
dari karya sastra.
2.
Prespektif Sosiologi Sastra
Perspektif
sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan Levin (Elizabeth dan
Burns, 1973:31) “ literature is not only the effect of social causes but also
the cause of social effect”. Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian
sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbale balik antara sosiologi
dan sastra. Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada
gilirannya menarik perhatian peneliti.
Pada
prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif
berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya
sastra sebagai dokumen social yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada
masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai
cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra
sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
B.
Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1.
Fungsi Sosial Sastra
Fungsi
sosial sastra menurut Watt (Damono, 1978:70-71) akan berkaitan dengan
pertanyaan seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai
berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada
tiga hal yang perlu diungkap : (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap
sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau Nabi, dalam pandangan ini
tercakup wawasan agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b)
sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal
ini gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan
dagangan untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai
dengan meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghjibur.
2.
Produksi dan Pemasaran Sastra
Penelitian
tentang produksi dan pemasaran sastra memang jarang dilakukan. Karena, masalah
ini seakan-akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal, sebenarnya tidak
demikian, artinya pengembangan karya sastra juga menjadi tanggung jawab
bersama. Sekurang-kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga kutup
sastra yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang.
Perhatian
peneliti semacam itu, memang sedikit mengesampingkan sosiologi sastra sebagi
teori, melainkan berupaya memperhitungkan berbagai hal yang terkait dengan
factor-faktor sosial yang menyangkut sastra. Factor-faktor tersebut antara lain
: tipe dan taraf ekonomi masyarakat tempat berkarya, kelas atau kelompok sosial
yang berhubungan dengan karya, sifat pembaca, system sponsor, pengayom, tradisi
sastra dan sebagainya.
PENELITIAN
PSIKOLOGI SASTRA
A.
Landasan Pijak Psikologi Sastra
Asumsi
dasar penelitian psikologis sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu
kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau
subconcius setelah jelas baru dituangkan kle dalam bentuk secara sadar
(conscious). Antara sadar dan tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi
poengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu
mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta
sastra.
Kedua, kajian psikologis sastra di smping meneliti perwatakan tokoh secara
psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptrakan
karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh
sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog
ataupun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan
batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas
karya.
B.
Pendekatan Psikologi Sastra
1.
Beberapa Kemungkinan Kajian
Pada
dasarnya psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama,
pendekatan tektual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra.
Kedua pendekatan reseptik-reseptik yang mengkaji aspek psikologis pembaca
sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya sastra yang
dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga,
pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologi sang penulis ketika
melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai
pribadi maupuin wakil masyarakat (Roekhan, 1990:88)
Penelitian
psikologis sastra dari aspek tekstual, semula memang tak bisa lepas dari
prinsip-prinsip Freud tentang psikologis dalam. Buku Freud tentang interpretasi
mimpi dalam teks sastra, telah banyak mengilhami para peneliti psikologi teks.
Apalagi buku ini belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
tentu lebih mudah dipahami oleh ilmuwan kita.
2.
Kajian Estetika Eksperimental
Penelitian
psikologi sastra lebih menitikberatkan pada aspek functioning humand mind
“pikiran manusia”( Segers, 2000:73). Fungsi termaksud akan berhubungan dengan
istilah Berlyne tentang experimental esthetics. Yakni peneliti akan menggunakan
respoinden kurang lebih 25-an, jauh lebih kecil dari penelitian sosiologi
sastra resepsi. Peneliti akan mengaitkan estetika eksperimental sebagai studi
pengaruh efek-efek motivasional dari teks sastra pada penerimanya. Efek
motivasional ini akan tampak melalui aspek kolatif, yaitu sebuah stimulus yang
muncul dalam teks sastra. Aspek kolatif merupkan bagian teks yang dapat membangkitkan
perasaan, misalnya kebaruan (novelty), surprising(keterkejutan), complexity
(kemajemukan), ambiguity (ambiguitas) dan puzzlingnes (ketertekatekian).
C.
Psikoanalisa
1.
Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa
Psikoanalisa
adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali
dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dokter muda dari
Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadarannya merupakan sebagian kecil
dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak
sadar. Ketaksadaran ini dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang.
Ketika pengarang menciptakan tokoh, kadang “bermimpi” seperti halnya realitas.
Semakin jauh lagi, pengarang juga sering “gila” sehingga yang diekspresikan
seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.
Dalam
kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang
dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego dan suuper ego. Ketiga
system kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk
totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi
ketiganya. Id (das es) adalah system kepribadian manusia yang paling dasar.
Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan acuan penting untuk memahami
mengapa seniman / sastrawan menjdi kreatif. Melalui Id pula sastrawan mampu
mnenciptakan symbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian
dinamakan novel psikologis misalnya ternyata merupakan karya yang dikerjakan
berdasarkan interpretasi posikologis yang sebelumnya telah menerima
perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot.
2.
Alam Bawah Sadar
Penerapan
penelitian psikologi sastra dalam kajian pernah dilakukan oleh M.S. Hutagalung
dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Zainuddin Fananie
(2001) dalam novel NByali karya Putu Wijayta. Keduia penelitian tersebut
menggunakan teori psikoanalisis Freud untuk membedah novel. Jadi keduanya jelas
penelitian psikologi sastra yang berpijak pada teks sastra. Asumsi peneliti
bahwa pencipta kedua novel tersebut menerapkan teori psikoanalisis ke dalam
karya.
Dari
penelitian tersebut, ternyata MS. Hutagalung mampu mengungkapkan bahwa tokoh
Isa pada novel Jalan Ada Ujung memiliki perilaku yang terpengaruh pandangan
Freud tentang lapisan tak sadar dari jiwa manusia. Misalkan Mochtar Lubis
bercerita tentang Guru Isa : “ia menutup mukanya dengan kedua tangannya dan
mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi yang dirasakannya sekarang ialah
reaksi yang lambat yang sekarang timbul dan perasaan yang tertekan tadi.
C.
Langkah dan Proses Analisis
Langkah
yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra tidak akan lepas dari
sasaran penelitian. Apakah peneliti sekedar menitikberatkan pada psikologi
tokoh dan atau sampai proses kreativitas pengarang. Yang penting harus
dilakukan dari sasaran penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa proses,
yaitu : Pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik
berupa unsur intrisik maupun ekstrinsik. Namun tekanan pada unsur intrisik,
yaitu tentang penokohan dan perwatakannya.
Kedua,
disamping tokoh dan watak, perlu dikaji pula masalah tema karya. Analisis tokoh
seharusnya ditekankan pada nalar perilaku rokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya
terfokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh
bawahan yang dianggap tak penting pun harus diungkap. Yang lebih penting,
peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal tentang watak tokoh, mengapa
oleh pengarang diberi perwatakan demikian.
Ketiga,
konflik perwatakan tokoh perlu dikitkan dengan alur cerita. Misalkan saja, ada
tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi, gila dan sebagainya. Jika yang terkahir
ini sampai terjadi, berarti ini menjadi wilayah penelitian psikologi sastra.
PENELITIAN
ANTROPOLOGI SASTRA
A.
Ruang Lingkup Antropologi Sastra
Penelitian
antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba
menggabungkan dua disiplin ilmu inim tampaknya masih jarang diminati. Padahal
sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya,
peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan
kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat leluasa memadukan kedua bidang
itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama
berbicara tentang manusia.
Penelitian
saemacam itu perlu dilakukanm tidak berarti peneliti sastra tergolong serakah.
Namun, banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi
kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat
kiasan-kiasan sastra. Jadi penelitian antropologi sastra dapat menitikberatkan
pada dua hal. Pertama, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu
untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.
B.
Fokus dan Proses Analisis Antropologi Sastra
Antropologi
sastra termasuk ke dalam pendekatan arkepital, yaitu kajian karya sastra yang
menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat
terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Karenanya, peneliti
antropologi sastra dapat mengkaji keduanya dalm bentuk paparan etnografi.
C.
Analisis Mitos Model Levi-Strauss
1.
Keunikan Mitos Sebagai Bahan Kajian
Mitos
yang dimaksud Levi-Strauss tak selalu sama dengan konsep mitos pada umumnya.
Levi-Strauss berpendapat bahwa mitos tidak selalu relevan dengan sejarah dan
kenyataan. Mitos jiuga tidak selalu bersifat sakral atau wingit (suci). Oleh
karena, mitos yang suci pada suatu tempat, di tempat lain hanya dianggap
khayalan. Jadi mitos dalam kajian Levi-Strauss, tak lebih sebagai dongeng.
Dongeng
merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia,
dari khayalan manusia, walaupun kehidupan manusia sehari-hari. Melalui dongeng
tersebut, khayalan manusia memperoleh kebebasan mutlak, karena manusia bebas
menciptakan apa saja. Hal-hal yang tak masuk akal boleh terjadi dalam dongeng.
Misalkan saja, dongeng Kancil dan Gajah yang menokohkan seekor kancil yang
mampu memperdaya gajah.
2.
Sistem Oposisi
Paham
penelitian Levi-Strauss, selain terilhami de Saussure, juga terpengaruh
Jakobson dan Troubetzkov. Dalam membahas mitor, Levi-Strauss menyatakan bahwa
mitos pada dasarnya mirip dengan bahasa. Jika dalam bahasa ada konsep la
language, yaitu keseluruhan sistem tanda yang dimiliki kelompok orang yang
menggunakan bahasa dan la parole adalah perwujudan dari sistem tanda itu, yaitu
tindak bicara konkrit seorang individu yang pada saat tertentu menggunakan
sistem tanda itu untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, ada aspek diaronik
dan sinkronik, paradigmatik dan sintagmtik yang di dalamnya ada relasi-relasi
dalam mitos pun demikian juga. Aspek sinkronik adalah mitos yang diyakini
sebagai peristiwa masa lampau namun masih relevan untuk masa kini dan aspek
diakronik adalah mitos yang berasal dari masa lampau tetapi tetap ada sampai
sekarang.
3.
Langkah Analisis
Analisis
mitos model Levi-Strauss dapat berupa kajian struktural. Kajian yang dilakukan
bisa berupa satu atau lebih mitos. Jika bahan kajian hanya satu mitos, peneliti
akan mencari struktur perjalanan cerita, tokoh, ideologi tokoh, dan sebagainya.
Unsur-unsur struktur intrisik cerita itu selanjutnya distrukturkan.
Langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam analisis mitos adalah sebagai berikut :
(1).
Merekam, mentransfer dan mendokumentasikan mitos jika belum berupa tulisan.
(2).
Membaca mitos satu demi satu, kemudian diidentifikasi mitem-mitemnya.
(3).
Pencarian mitem, dapat menggunakan sistem kerja trial and error sampai peneliti
menemukan struktur yang sulit tergioyahkan.
(4).
Kata atau kalimat yang menjadi mitem tadi dicatat dalam kartu data sesuai
dengan perkembangan cerita.
(5).
Menyusun mitem-mitem tersebut dalam struktur sintagmatis dan paradigmatis.
PENELITIAN
PRAGMATIK DAN RESEPSI SASTRA
A.
Antara Penelitian Pragmatik dan Resepsi
Pragmatik
sastra adalah cabang penelitian yang ke arah aspek kegunaan sastra. Penelitian
ini muncul atas dasar ketiudakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang
memandang karya sastra sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya
mampu menjelaskan makna sastra dari aspek permukaan saja. Maksudnya, kajian
struktur sering melupakan aspek pembaca permukaan saja. Maksudnya, kajian
struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi
makna. Karena itu, muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastra yang
berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek kegunaan sastra ini
dapat diungkap melalui penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra.
Penelitian
resepsi sebenarnya wilayah telaah pragmatik sastra. termasuk di dalamnya adalah
bagaimana aktivitas pembaca sebagai penikmat dan penyelamat karya sastra lama.
Sebagai penikmat, pembaca akan meresepsi dan sekaligus memberikan tanggapan
tertentu terhadap karya sastra. Sebagai penyelamat, pembaca yang mau menerima
kehadiran sastra, juga akan meresepsi dan selanjutnya melestarikan dengan cara
mentransformasikan.
B.
Dasar Penelitian Sastra
Penelitian
sastra tergolong ilmu geistewissenschafen, artinya telaah ilmu kemanusiaan.
Penelitian serupa sering disebut juga telaah humaniora. Hanya saja, subyeknya
dapat berupa teks sastra dan tentang sastra. Penelitian teeks sastra selalu
dikaitkan dengan hidup manusia, maka telaah tentang sastra , berkaitan
dengannihwal yangb menyangkut di luar teks sastra, seperti pembaca dan
pengarang. Baik penelitian teks sastra maupun tentang aspek di luar sastra,
keduanya sama-sama penting dan saling melengkapi. Karena itu peneliti sastra
perlu mempertimbangkan aspek pembaca dalam pemaknaan teks. Salah satunya bidang
yang relevan diteliti adalah masalah resepsi sastra. Dari sini akan terungkap
jelas bagaimana tanggapan pembaca terhadap teks sastra.
C.
Aspek Penelitian Resepsi Sastra
Penelitian
resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap
teks. Reaksi termaksud dapat positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat
positif, mungkin pembaca akan senang, gembira, tertawa, dan segera mereaksi
dengan perasannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mukarovsky (Fokkema,
1977:1347) bahwa peranan pembaca amat penting yaitu sebagai pemberi makna teks
sastra. Karya sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi
makna oleh pembaca sehingga menjadi obyek estetik. Reaksi terhdap teks sastra
tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan
hal yang baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya. Sebaliknya, reaksi yang
bersifat negatif mungkin pembaca akan sedih, akan jengkel, bahkan antipati
terhadap teks sastra.
D.
Analisis Resepsi sastra
1.
Pendekatan Yang Digunakan
Pendekatan
yang sering digunakan oleh peneliti resepsi adalah fenomenologi. Fenomenologi
berasal dari kata Yunani phaenomenon yang berarti gejala yng tampak. Maksudnya,
peneliti resepsi dapat mencermati gejala yang tampak pada si pembaca teks
sastra. Mungkin pembaca akan merasa tergila-gila, senang, msedih dan atau
tertawa terbahak-bahak. Hal semacam ini telah dilakukan Roman Ingarden (Iser,
1978:170) secara fenomenologis ia mngungkapkan keberterimaan karya sastra.
Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum dikatakan lengkap
karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas”
yangb perlu dilengkapi secara individual menurut penghalamannya akan
karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks lain (yang dikenal
dengan model sastra perbandingan) dianggap belum sempurna. Yang dapat dilakukan
untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretasi
(penyelarasan atau pengisian makna oleh pembacanya). Maka, pembaca akan
berusaha menafsirkan atau memakai sejauh pengalaman yang dimilikinya.
2.
Horison Pembaca Dan Kategori Pembaca
Dalam
pandangan Jauss, horison pembaca (horizon of expectation) memungkinkan
terjadinya penerimaan dan pegolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra.
Horison harapan pembaca terbagi menjadi dua, yaitu (1) yang bersifat estetis
dan (2) tak estetik (diluar tekls sastra). Yang bersifat estetik berupa
penerimaan unsur-unsur strukjtur pembangun karya sastra, seperti tema, alur,
gaya bahasa, dan sebagainya. Kedua sisi resepsi sastra tersebut sama-samna
penting dalam pemahaman karya sastra.
Melalui
penelitian resepsi serupa, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang
terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra. Fokus
perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertyama kali
ditulis sampai penerimaan selanjutnya. Bagi Jauss, karya sastra memiliki
implikasi estetik dan historis. Implikasi estetik muncul apabila sebuah teks
dibandingkan dengan teks lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul
akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atua resepsi
sebelumnya.
PENELITIAN
SASTRA BANDINGAN
A.
Konsep Sastra Bandingan
1.
Hakikat Kajian Sastra Bandingan
Dua
istilah yang perlu dijelaskan untuk membantu peneliti adalah sastra bandingan
dan sastra perbandingan.. Dua hal ini mempunyai implikasi yang kurang lebih
sama. Sastra bandingan sering disingkat sanding dan sastra perbandingan
disingkat sasper. Penyingkapan semacam ini sekedar mempermudah ucapan saja,
yang penting pengertiannya tidak berbeda.
Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan
upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut
aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan
dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat
sastra bandingan menurut wilayah geoggrafis sastra. Konsep ini
merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan pada
perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan
sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan
aspek kehidupan.
2.
Ilmu Sastra Bandingan
Ilmu
sastra menjadi pijakan sastra bandingan. Oleh karena, melalui ilmu sastra
tersebut akan dapat dilihat apakah karya sastra satu dengan yang lain saling
bersinggungan atau tidak. Teori-teori tentang gaya bahasa, naratologi, estetika
dan sebagainya amat bermanfaat bagi studi sastra perbandingan. Tanpa ilmu dan
atau teori mendasar, seorang peneliti tak mungkin membandingkan karya sastra
secara cermat. Apalagi kalau karya sastra yang dibandingkan itu sangat halus
kemiripannya.
Sastra
bandingan, awalnya memang berkembang di Perancis, Inggris, Jerman, dan
negara-negara Eropa lainnya. Selanjutnya, sastra bandingan juga melebarkan
sayap ke Amerika dan Asia pada umumnya. Sejak tahun 1970-an sastra bandingan
mulai berkembang dengan mengkaji karya-karya Andre Malraug, William Somerset
Maughnam dan Franz Kafka. Pada awalnya, sastra bandingan sekedar membandingkan
karya sastra dengan karya sastra, untuk mencari kefavoritan dan keoriginalitasan
karya sastra. Dari perbandingan ini, akan ditemukan karya-karya yang bertaraf
nasional dan bahkan taraf dunia.
B.
Intertekstualitas dan Sastra Bandingan
1.
Orisinalitas Tes
Penelitian
interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Interteks memang lebih
sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan
gerakan peneliti filologi baik klasik maupun modern, yang selalu berhubungan
dnegan teks sastra, sastra bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan
dapat melebar ke arah bandingan antara sastra dengan bidang lain yang mungkin
(diluar sastra).
Munculnya
studi interteks sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah
sastra. Karena melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan
bahan yang luar biasa poentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra
terdapat pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra satu dengan yang lain, akan
terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain,
kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas
disiplin ini akan memandang sebuah fenomena senada akan memiliki sumbangan
penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila
telah dibandingkan secara cermat satu sama lain.
2.
Pokok Kajian Interteks
Kajian
sastra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram
adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya
(Riffarterre, 1978:23). Jadi hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar
kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya
transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan berjalan terus menerus sejauh
proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan induk yang akan menetaskan
karya-karya baru. Dalam hal ini peneliti sastra berusaha membandingkan antara
karya induk dengan karya baru. Namun tidak ingin mencari keaslian sehingga
menganggap bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi.
Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas
pengarang.
C.
Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan Sastra Dunia
Kajian
sastra bandingan tidak dapat mengabaikan peranan sastra nasional yang
lama-kelamaan akan menjadi sastra dunia. Sastra nasional adalah sastra yang
secara umum menjadi milik bangsa. Pengertian nasional ini adalah batas wilayah
politik suatu negara. Jadi, karya sastra Amerika, Serikat, dan Inggris,
meskipun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, adalah dua hal yang berbeda.
Istilah
yang sering terkait dengan sastra bandingan adalah sastra dunia (world
literature). Ada juga yang menyebut sastra universal. Sastra dunia adalah
sastra yang memuat pandangan-pandangan universal atau mendunia. Sastra tersbut
diakui oleh seluruh orang di dunia. Biasanya, karya-karya senacam ini tergolong
masterpiece (karya sastra agung). Karya sastra demikian banyak diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa ke seluruh dunia. Tentu saja untuk menjadi sastra dunia
tidak hanya memakan waktu pendek. Meskipun ukuran waktu ini sangat lentur,
namun sekurang-kurangnya bila karya tersebut sangat digemari oleh siapapun di
dunia, boleh dikatakan sebagai sastra dunia.
D.
Ruang Lingkup Sastra Bandingan
Sastra
bandingan merupakan kajian sastra di luar batas sebuah negara dan tentang
hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan lain. Pada
dasarnya, baik studi interteks maupun sastra bandingan akan mencari dua hal,
yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian
teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya sastra
lain atu pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya.
Dua
hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup studi,
antara lain : (a) perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya,
pengarang yang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya;
(b) membandingkan karya sastra dengan bidang lain, seperti arsitektur,
pengobatan tradisional, takhayul, dan seterusnya; (c) kajian bandingan yang
bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori dan kritik sastra.
E.
Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan
Kajian
konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra bandingan. Karya
yang terpengaruh dengan karya sebelumnya, tentu akan memiliki identitas
tersendiri. Dari proses pengaruh-mempengaruhi itu akan terdapat berbagai aspek
bandingan yang disebut varian. Dalam konteks ini, memang karya sebelumnya
dianggap karya “super”, artinya bisa mempengaruhi karya berikutnya. Seberapa
jauh keterpengaruhan tersebut, tergantung kemampuan pengarang. Keterpengaruhan
ini jelas akan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain : (a) perkembangan
karir pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya
pengarang. Dari tiga hal ini, manakala pengarang berikutnya bersikap ceroboh,
tentu akan terdapat pengaruh yang langsung atau semakin jelas. Berbeda dengan
pengarang yang kreatif, tentu pengaruh tersebut semakin halus dan hampir
tersembunyi. Pengarang yang banyak membaca karya lain dan sering bermigrasi ke
mana-mana, seringkali terpengaruh sumber.
F.
Metode Sastra Bandingan
Metode
sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra, yang obyeknya
lebih darti satu karya. Penekanan sastra bandingan adalah pada aspek
kesejarahan teks. Itulah ebabnya, menurut Yaapar (Santosa, 2003:99) sastra
bandingan bersifat positivistik. Kajiannya bercorak binari (duaan) dan bertumpu
pada rapport defaits, artinya perhubungan faktual antara dua buah teks yang
diteliti secara pasti. Kegiatan yang dilakukan juga menganalisis, menafsirkan
dan menilai. Karena obyeknya lebih dari satu, setiap obyek harus ditelaah,
barulah hasil telaah tersebut diperbandingkan. Bisa saja, peneliti melakukan
analisis struktural kedua karya, baru diperbandingkan. Dengan cara ini akan
mempermudah peneliti melakjukan bandingan. Setidaknya akan mudah ditemukan
unsur persamaan dan perbedaan setiap karya sastra.
No comments:
Post a Comment