BAB I PENDAHULUAN
Seluruh
ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya
pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu
bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula
berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu.
Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada
filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat,
manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas
menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke
akar, hingga ke dasar.
Apakah karya sastra yang pada hakekatnya adalah tulisan
termasuk katagori ilmu? Sebuah tulisan mempunyai sifat pragmatis dan
paradoksial. Di satu sisi memberikan sebuah keniscahyaan terhadap perkembangan
peradaban umat manusia, namun di sisi lain dapat menjadi alat yang ampuh
untuk menggantikan sebuah ingatan
kolektif sebuah masyarakat dengan cara menggantikan tulisan-tulisan lama dengan
tulisan-tulisan baru yang bertujuan untuk menegasi ingatan masa lalu dan masa
kini. Sehingga sebuah realitas baru tercipta untuk tujuan tertentu, biasanya
pola-pola tersebut dipraktekkan oleh rezim-rezim totaliter untuk melanggengkan
kekuasaannya. Hal tersebut memang terjadi, dan benar-benar terjadi, dan jika
hal tersebut terjadi, maka akan lahir sebuah realitas tandingan berupa tulisan
pula yang tidak tersurat namun tersirat.
Tulisan
melahirkan berbagai macam bentuknya, salah satunya adalah yang disebut sebagai
sastra. “Sastra merupakan kata serapan
dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung
instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti
"instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini
biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra). Dalam sebuah karya
sastra yang merupakan sebuah bentuk imajinasi manusia yang terlahir melalui
sebuah tulisan—makna-makna untuk membidani sebuah realitas tandingan selalu
tersirat di dalamnya dalam diksi yang memiliki daya pikat estetis. Sastra
adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan sendiri adalah sebuah
media tempat tercurahnya ide-ide abstrak yang mempunyai subtansi
filosofis. Dengan demikian dalam sebuah
karya sarta sebuah kenyataan akan kebenaran menjulang diantara belantara
metafora dan diksi yang memiliki nilai estetis yang tinggi.
Dalam makalah ini penulis
membahas mengenai “Tulisan atau Karya
Sastra dalam Kajian Filsafat Ilmu (Epitemologi. Ontologis dan Aksiologi)”
BAB II PERMASALAHAN
Tulisan bisa menjadi suatu pengait,
pengikat, dan jembatan antara masa lalu dengan masa kini bahkan dengan masa
depan. Seperti halnya risalah-risalah kenabian atau risalah perihal nihilism
global yang termaktub dalam karya-karya filsuf godam dari Jerman, Friedrich
Nietzsche. Namun secara umum, manusia selalu alfa akan sejarahnya, seperti
halnya pernyataan Hegel dalam
Filsafat Modern, “Sejarah
menunjukan kepada kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarahnya”. Bahkan dalam kitab suci, Tuhan berulangkali memberi
peringatan kepada manusia agar tidak meniru kelakuan buruk atau
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh umat sebelumnya, dan ironisnya selalu
saja di ulangi kembali oleh manusia yang telah membaca dan mengetahui
kesalahan-kesalahan tersebut.
Tulisan
pada dasarnya adalah tafsiran sang penulis atas dunia ini. Bisa dikatakan bahwa
penulis adalah seniman, karena pada intinya, penulis mengekspresikan suara
hatinya melalui kata-kata yang bertautan menyulam hal-ikhwal menjadi sebuah
makna dengan tingkat estetikanya tersendiri. Dunia dalam mata penulis adalah
sebuah teks yang terbuka lebar di mana dia dan manusia lainnya hidup bersamaan
serta terlibat dalam mentafsirkan segala sesuatunya. Penulis bukan membenarkan
sesuatu melainkan menyuguhkan keadaan yang tidak tersirat dalam kenyataan.
Kebenaran dan keberartian pada dasarnya bukan masalah fakta melainkan
permasalahan dunia makna. Berdasarkan proposisi- proposisi di atas, tulisan ini
merupakan sebuah pembuktian secara keilmuan bahwa tulisan adalah anak kandung
dari penulis dan penulis bisa dikatakan sebagai seorang seniman yang bertolak
dari titik filosofis akan pemaknaannya terhadap dunia.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba
mengkaji Karya Sastra didinjau dari filsafat
ilmu. Adapun permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana Karya Sastra Ditinjau Secara
Ontologi?
2. Bagaimana Karya
Sastra Ditinjau Secara epistemologis?
3.
Bagaimana Karya Sastra Ditinjau Secara
aksiologis ?
BAB
III PEMBAHASAN
A.
KARYA SASTRA DITINJAU SECARA ONTOLOGIS
Cabang utama metafisika adalah
ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara
satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran
manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu,
hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Cabang
Ontologi, yaitu
berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan
demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keberadaan. Pertanyaan
yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu?
Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
Ontologi merupakan salah satu
kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut
membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles.
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan
kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham,
yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3)
pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri
pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan
yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas
pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan
yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan
pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan
lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme,
naturalisme, empirisme.
Secara ontologis, tulisan baik
itu puisi, prosa, cerpen, essay, novel dan lainya bertolak dari titik berangkat
pengalaman personal penulisnya. Tulisan mempunyai bentuk sebagai sebuah teks
yang penuh dengan berbagai macam kompleksitas dari sebuah pemaknaan personal
penulisnya. Tulisan yang pada akhirnya mempunyai bentuk sebagai sebuah karya
sastra adalah salah satu bentuk seni dari seorang penulis yang bermaksud
menyampaikan seperangkat pesan kepada pembacanya dengan bertolak dari titik
berangkat ontologis. Semua karya sastra yang berbentuk teks pada dasarnya dapat
dikaji pada tingkat tanda, struktur, gaya, hingga maknanya. Gejala penggunaan
tanda dan atau lambang dalam karya sastra dikaji melalui semiotika. Gejala
struktur dalam karya sastra dikaji melalui analisis alur ataupun analisis
struktur. Gejala gaya bahasa dalam sastra dikaji melalui Stilistika, sedangkan
gejala makna dalam karya sastra dikaji melalui Hermeneutika dan analisis teks.
Telaah tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah landasan yang membuktikan fakta
keilmuan sebuah tulisan atau karya sastra karena dapat dikaji secara ilmiah.
Secara ontology, sastra menurut
S. Brahmana dalam (http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/), mempunyai lima dasar yang
dapat dikaji dalam berbagai perspektif. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Sastra
sebagai bahasa
2. Sastra
sebagai seni
3. Sastra
sebagai komunikasi
4. Sastra
sebagai simbol
5. Sastra
sebagai hiburan
Sastra atau tulisan adalah
sebuah ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan.
B.
KARYA SASTRA DITINJAU SECARA EPISTEMOLOGI
Epistemologi merupakan cabang
filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that
investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti
“pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah
pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos
yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang
menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini,
kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu?; 2) Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara
pengetahuan a priori (pengetahuan
pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma pengalaman)?; 6) Apa perbedaan di
antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan,
bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Langkah dalam epistemologi
ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif. Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah dikurnpuikan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan
koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang
berada dalam fokus penelaahan.
Sastra atau tulisan adalah
produk kebudayaan yang memegang peranan penting dalam peradaban umat manusia,
sehingga sastra dalam konteks ini menjadi terlibat langsung dalam
kebudayaan—bahkan membentuk kebudayaan itu sendiri. Hakikat sebuah tulisan atau
hakikat sebuah karya sastra dan kebudayaan adalah hakikat fiksi dan fakta.
Karya sastra dibangun atas dasar oleh imajinasi yang langsung bersumber dari
keadaan yang senyatanya ada baik itu yang tersirat maupun yang tersurat,
sehingga dapat mengelaborasikan kenyataan-kenyataan pada ruang dan waktu pada
saat sebuah tulisan itu terlahir.
Berdasarkan pada pemaknaan di
atas, sebuah tulisan atau karya sastra sebagai sebuah fakta epistemologis
adalah berdasarkan pemaknaan personal penulisnya secara keilmuan. Sebuah
tulisan atau karya sastra mendapatkan keabsahaan keilmuannya dari pengertian
penulisannya terhadap sesuatu hal secara sadar. Dan hal tersebut
mengimplikasikan bahwa sebuah tulisan dan karya sastra dibangun atas atau
melalui dasar epistimologis yang kentara.
Epistemologi suatu karya
sastra itu sangat bergantung dari ontologi yang kita pahami. Bila kita
menganggap sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu
kebahasaaan. Bila kita menganggap sastra sebagai seni, maka epistemologinya
adalah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita menganggap sastra sebagai komunikasi, maka
epistemologinya adalah ilmu komunikasi. Bila kita menganggap sastra sebagai
simbol, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu tentang simbol. Bila kita
menganggap sastra sebagai hiburan, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu
kebudayaan populer.
Dari segi epistemolgi
melahirkan banyak metode pengkajian sastra. Misalnya, strukturalisme, semiotik,
hermeneutika, sosiosastra (sosiologi sastra), intertektualitas, psikologi
sastra, dekonstruksi, simbolisme, postrukturalis, posmoderenis, analisis
wacana, realisme, mimesis, pragmatik, ekspresi, obyektif, parafrastis, emotif,
analitis, historis, sosiopsikologis, didaktis, semantik, tradisional,
intensional, eksistensional, general, partikular, komparatif, doktrin,
sekuensi, tematik, evaluatif, judisial, induktif,impresionistik, sosiokultural,
mitopeik, relativistik, tekstual, lingusitik, elusidatori, politik/ideologi,
dan sebagainya (S. Brahmana, “Sastra Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu”).
C.
KARYA SASTRA DITINJAU SECARA AKSIOLOGI
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa
Yunani yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori
tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S.
Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163)
aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,- esthetic expression,
yaitu ekspresi keindahan, Ketiga,
sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan
melahirkan filsafat sosio-politik.
Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai.
Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion
yang artinya nilai dan logos yang
artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini
antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang
digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan
mengarah ke cabang fisafat Etika.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan
bahwa aksiologi disamakan dengan value
dan valuation. Ada
tiga bentuk value dan
valuation, yaitu:
1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda
konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan
pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya,
ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih
dikenal sebagai value bound.
Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak
pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada
kebenaratt yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan harus
mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya
mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Dilihat dari sudut aksiologi,
sastra harus mempunyai nilai-nilai etis sebagai berikut:
1) Karya
Sastra harus mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
2) Karya
Sastra harus membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
3) Karya
Sastra harus menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.
4) Karya
Sastra harus memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
5) Karya
Sastra harus menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
6) Karya
Sastra harus mampu memberikan hiburan bagi rakyat (penikmatnya). Maka yang
menjadi aksiologi sastra adalah keenam unsur di atas.
Soal apakah keenam unsur ini
terdapat di dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi masalah lain.
Secara aksiologis sebuah
tulisan atau karya sastra memiliki nilai-nilai etis bagi penulisnya sendiri
sebagi penciptanya yang memang secara sadar menempatkan nilai-nilai etis dalam
nilai-nilai estetika yang termaktub di dalam sebuah tulisan atau karya sastra
tersebut. Hal tersebut secara aksiologis telah mengesahkan sebuah tulisan atau
karya sastra sebagai salah satu karya yang dapat dipertanggungjawabkan secara
keilmuan.
Sistematis adalah salah satu
karakteristik dari ilmu pengetahuan. Secara umum yang ilmu pengetahuan haruslah
dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya secara objektif. Secara garis besar,
menurut Ilmu Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan adalah hasil pengamatan yang
bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian
secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan
tidak objektif serta tidak universal. Sedangkan Ilmu pengetahuan merupakan
kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian
dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam
bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sebuah tulisan atau karya
sastra dapat dibuktikan sebagai sebuah ilmu karena dapat dibuktikan melalui
fakta-fakta ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Karena menurut S.
Brahmana (http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/), sastra adalah sebagai
disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain. Sedangkan
kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika yang
terdapat di dalam karya sastra tersebut, sebab (karya) sastra itu dapat
dilihat, didekati, dibicarakan dari berbagai sudut dan kepentingan.
BAB IV SIMPULAN
1) .Ontologi
adalah hakekat, inti atau esensi. Ontologi membahas tentang hakekat, inti atau
esensi dari yang disebut pengetahuan atau dengan kata lain ontologi mengkaji
tentang ‘realitas sejati’ dari pengetahuan. Maka yang dipertanyakan dalam
ontologi ini apakah hakekat atau inti atau esensi dari pengethuan tersebut.
Misalnya apakah hakekat, esensi dari sastra, apakah hakekat, esensi dari
komunikasi dan sebagainya
2) Secara
ontologis, semua karya sastra yang berbentuk teks pada dasarnya dapat dikaji
pada tingkat tanda, struktur, gaya, hingga maknanya. Gejala penggunaan tanda
dan atau lambang dalam karya sastra dikaji melalui semiotika. Gejala struktur
dalam karya sastra dikaji melalui analisis alur ataupun analisis struktur. Gejala
gaya bahasa dalam sastra dikaji melalui Stilistika, sedangkan gejala makna
dalam karya sastra dikaji melalui Hermeneutika dan analisis teks. Telaah
tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah landasan yang membuktikan fakta
keilmuan sebuah tulisan atau karya sastra karena dapat dikaji secara ilmiah
3) Epistemologi
adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan (A.M.W Pranarka, 1987:3).
Epistemologi mengkaji tentang validitas (keabsahan) dan batas-batas ilmu
pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan didapatkan melalui proses tertentu yang
dinamakan metode keilmuan. Metode keilmuan ini ada dua pertama metode deduksi
dan kedua metode deduksi.
4) Karya
sastra dapat dipandang sebagai sebuah fakta epistemologis berdasarkan pemaknaan
personal penulisnya secara keilmuan. Bila kita menganggap sastra sebagai
bahasa, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebahasaaan. Bila kita menganggap
sastra sebagai seni, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita
menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya adalah ilmu
komunikasi. Bila kita menganggap sastra sebagai simbol, maka epistemologinya
adalah ilmu-ilmu tentang simbol. Bila kita menganggap sastra sebagai hiburan,
maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebudayaan populer.
5) Aksiologi
atau deontologi adalah tinjauan filsafat mengenai hal-hal yang normatif.
Misalnya kegunaan ilmu. Manfaat atau kegunaan apakah dapat langsung dirasakan,
apakah tidak, sejauh mana dampak atau pengaruhnya terhadap manusia dan
sebagainya.
6) Secara
aksiologis sebuah tulisan atau karya sastra memiliki nilai-nilai etis bagi
penulisnya sendiri sebagi penciptanya yang memang secara sadar menempatkan
nilai-nilai etis dalam nilai-nilai estetika yang termaktub di dalam sebuah
tulisan atau karya sastra tersebut. Hal tersebut secara aksiologis telah
mengesahkan sebuah tulisan atau karya sastra sebagai salah satu karya yang
dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
7)
Sebuah tulisan atau karya
sastra dapat dibuktikan sebagai sebuah ilmu karena dapat dibuktikan melalui
fakta-fakta ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Karena menurut S.
Brahmana (http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/),
sastra adalah sebagai disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu
lain. Sedangkan kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada
dinamika yang terdapat di dalam karya sastra tersebut, sebab (karya) sastra itu
dapat dilihat, didekati, dibicarakan dari berbagai sudut dan kepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Cangara, Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Edisi Revisi. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchyana. 1994. Ilmu Komunikasi,
Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Effendy., Onong Uchjana,
2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar.
Bandung. Remaja Rosdakarya..
Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Ar Ruzz..
Suriasumantri, Jujun S,
1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Penerbit Sinar Harapan,
Jakarta
http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/, diunduh
tanggal 10 Nopember 2013, Pkl 21.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra diunduh tanggal 10 Nopember 2013, Pkl
21.30
No comments:
Post a Comment