a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa
belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan
atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil
eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti
kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang
diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat
terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi
dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia
baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua
struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut
pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara
stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike
ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13)
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti
hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila
asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan
terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu
pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus
dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2)
Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara
stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin
meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka
kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat
hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur
terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu
penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus,
apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat
meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan
negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung
menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran
Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian
realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun
melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur
kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi
secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang
harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan
siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif
siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide
dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar
tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik,
yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang
relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks
pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi
pengalaman.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam
Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer,
selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
c. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut:
adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of
envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning).
Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah
ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema
yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang
tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan
skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang
baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan
struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang
baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang
keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).
Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian
disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada
seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran
dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya
pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan.
Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi
secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh
setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual
dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan
pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses
regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih
menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai
fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan
pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai
mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya
membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat
pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi
antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia
berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal
development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut
seperti pada sekema berikut.
1.
Effective habits of
mind
2.
Cooperative
colaborative
3.
Effective
communication
4.
Information
processing
5.
Complex thinking
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara
social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman.
Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak
hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman
yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative
learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan
belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja
sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif
dan penataan kelas.
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table
berikut ini.
Tabel 1 Piagetian and Vygotskyan Constructivism
Piagetian Constructivism
|
Vygotsky Constructivism
|
|
Concept
|
constructivism focus on individual cognitive development through
co-constructed learning environments with national, decontextualized thinking
as the goal of development
|
Vygotsky, in order to understand human development, a multilevel
analysis using all four levels of history must be employed: sosiocultural
constructivism,
|
Subject of Study
|
Focus on the development of autonomous cognitive forms within the
individual, culminating in rational thought that is decentered from the
individual.
|
argued that individual development cannot be understood without
reference to the interpersonal and institutional surround which situates the
child
|
Develop-ment of cognitive forms
|
the structure of the mind is the source of our understanding of the
world.
|
the construction of knowledge occurs through interaction in the social
world. Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means
of the dialectical relationship between the individual and the social context
|
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang
dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan
pembelajaran.
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan
tidak menentu.
|
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi.
|
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah
menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta
menghargai ketidakmenentuan.
|
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
|
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
|
Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus
dipahami oleh si belajar.
|
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek,
atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan
bersifat unik dan individualistic.
|
Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan.
|
Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,
|
Keteraturan, kepastian, ketertiban
|
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam
lingkungna belajar.
|
Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
|
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
|
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
|
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar
adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan
pengaturan diri dalam belajar.
|
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
|
Control belajar dipegang oleh si belajar.
|
Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si
belajar.
|
Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan
Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn
how to learn)
|
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.
|
Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi
pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna
mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau
pandangan si belajar.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan
manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada proses.
|
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan
penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada hasil
|
Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda,
bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan
tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan
apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad
aketerampilan proses dalam kelompok.
|
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah,
dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan
bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan
penekanan pada evaluasi individual.
|
d. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas
maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di
kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap
lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya
miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini
dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan
dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan
mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk
membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun
agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar
dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama.
Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak
khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan
terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap
konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang
bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi
direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal.
Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan
atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil
percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik
kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka
benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan
percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif
dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk
memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin
gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan
dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada
kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka
konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang
baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang
baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi
dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan
konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah
yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan
mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara
keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi
pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang
muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan
bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi
struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan
rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
No comments
Post a Comment