Desentralisasi,
demokrasi, dan otonomi merupakan isu yang amat popular akhir-akhir ini.
Walaupun isu tersebut telah lama
dikemukakan berbarengan dengan keinginan mengganti system pemerintahan otoriter
yang melanda Eropa Tengah dan Timur pada akhir tahun 1989 dan awal 1990 (David
Held, Dmocracy and the Global Order,
1995).
Sekarang ini telah terjadi perubahan paradigma dalam menata
manajemen pemerintahan, termasuk di dalamnya menata manajemen pendidikan. Dalam
manajemen pemerintahan, salah satu aspek yang amat menonjol yang dapat
dijadikan indikator apakah manajemen pemerintahan itu dijalankan secara
otoriter atau demokratis adalah dilihat sampai seberapa jauh lokus dan focus
kekuasaan itu diaplikasikan. Di sisi lain, indikator peran rakyat atau
masyarakat juga ikut menentukan tentang demokratisasi manajemen pemerintahan.
Kekuasaan dan peran masyarakat amat menentukan corak dan demokrasi atau
pelaksanaan system desentralisasi.
B. Pendidikan menghasilkan Manusia Demokratis
Pendidikan kita terkesan masih otoriter, baik
manajemen, interaksi atau transaksi, proses, kedudukan, maupun substansinya.
Tidak mungkin kondisi demikian menghasilkan manusia demokratis. Apabila kita
semua menjadi pejabat, maka seakan-akan kita telah memiliki modal ‘benar’ dalam
segala hal; berhak mengoreksi, berhak memberi petunjuk, berhak menyalahkan
bawahan, dan seterusnya. Waskat (pengawasan melekat) menjadkan atasan otoriter.
Padahal justru informasi bawahan kebanyakan membawa kebenaran. Transaksi
pendidikan kita masih satu arah dan vertical. Sumber informasi masih didominasi
oleh para guru. Pembelajar jarang didudukkan sebagai sumber informasi
alternative sehinga menyebabkan tidak terjadinya interaksi horizontal.
Pengalaman demokratis tidak pernah diperoleh
pembelajar dalam hidup sehari-hari. Mereka hanya memahaminya secara tekstual.
Dalam praktik, kedudukan substansi dan proses pembelajaran kita masih
berorientasi vertical, yakni dari atas ke bawah. Pengetahuan (tekstual) masih
berpola pada guru – siswa, yang seharusnya guru dan pembelajar bersama-sama
menghadapi persoalan pengetahuan yang konseptual bukan tekstual. Proses
pembelajaran masih didasarkan atas kerapian administrasi pendidikan daripada fungsionalnya
dalam praktik. Padahal fungsionalnya proses pembelajaran (instruksional) ini
yang akan menghasilkan perolehan tujuan instruksional. Bagaimana cara yang
dilakukan pembelajar dalam mencapai konsep keilmuan itulah selanjutnya yang
akan mewarnai perolehan pendidikan.
C. Pendidikan di Sekolah dengan Sistem Desentralisasi
Desentralisasi pendidikan merupakan upaya
untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang
seharusnya dlakukan oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat
dibawahnya, atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, atau dari
pemerintah darah kepada masyarakat. Salah satu wujud dari desentralisasi ialah
terlaksanya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sekarang sudah tiba saatnya memikirkan dan
melaksanakan upaya desentralisasi kewenangan di bidang pendidikan. Kewenangan
di bidang pendidikan bisa dirinci mulai dan kewenangan merumuskan atau membuat
kebijaksanaan nasional di bidang pendidikan, melaksanakan kebijaksanaan
nasional, dan mengevaluasi atau memonitor kebijaksanaan nasional tersebut.
Tidak seluruh kewenangan tersebut dapat disesentralisasikan. Kewenangan
perumusan atau pembuatan kebijaksanaan nasional mengenal pendidikan yang
meliputi kurikulum, persyaratan pokok tentang jenjang pendidikan, taksonomi
ilmu yang dikembangkan dan diajarkan dalam jenjang pendidikan, persyaratan
pembukaan program baru, persyaratan tentang guru pendidik di setiap jenjang
pendidikan, dan kegiatan-kegiatan strategis lainnya yang dipandang lebih efektif,
efisien dan tepat jika tidak didesentralisasikan barangkali masih dilakukan dan
diperlukan sentralisasi. Sedangkan kewenangan implementasi dilaksanakan oleh
pemerintah daerah atau masyarakat. Dalam hal-hal tertentu yang spesifikasinya
memerlukan penanganan khusus, pemerintah pusat masih berwenang melaksanakan
sendiri. Demikian pula hal-hal yang ertalian dengan evaluasi kebijaksanaan
nasional dilakukan oleh pemerintah pusat dan bisa pula diserahkan atau didesentralisasikan ke unit di
bawah, di daerah atau kepada masyarakat. Demikian juga kewenangan pembuatan
kebijaksanaan dan yang berdimensi daerah atau local serta pelaksanaan dan
evaluasinya tidak perlu lagi diintervensi dan dilakukan oleh pemerintah pusat,
melainkan bisa secara didesentralisasika.
Desentralisasi pendidikan berusaha untuk
mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap
persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputus dan dilaksanakan
oleh unit di tataran bawah atau pemerintah daerah, atau masyarakat.
Dengan demikian, diharapkan bisa
memberdayakan peran unit di bawah atau peran rakyat dan masyarakat daerah.
Kebijaksanaan yang berdimensi local adalah
semua hal yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah.
Kebijaksanaan seperti ini biarkanlah rakyat daerah (baik melalui DPRD maupun
kelompok-kelompok kepentingan daerah) dan pemerintah daerah yang memutuskannya.
Memilih lokasi tempat berdirinya gedung sekolah, menambah dan mengangkat guru,
memilih dan menetpkan Kepala Sekolah, mendidik dan mendiklat guru, menentukan
kurikulum local, dan lain sebagainya yang lebih tepat dan efisien jika daerah
yang melaukannya. Akan tetapi, pelaksanaan itu tetap berlandaskan kebijakan,
ketentuan, standardisasi, dan ketetapan pemerintah pusat.
Didalam jenjang pendidikan yang selama ini
kita anut, yakni jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi sudah waktunya dipikirkan upaya-upaya desntralisasi. Desentralisasi
jenjang pendidikan bisa dipilih apakah semua jenjang pendidikan itu bisa ditangani
oleh pemerintah daerah, atau hanya terbatas jenjang pendidikan dasar dan
menengah saja. Apakah desentralisasi juga mengenai jenjang pendidikan tersebut
atau desentralisasi itu hanya terbatas pada substansi kebijaksanaannya seperti
yang diuraikan di depan.
Pemberian otonomi daerah kepada Perguruan
Tinggi merupakan upaya desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan otonomi ini masih
terasa belum sempurna sehingga masih banyak urusan dan kewenangan yang
seharusnya pimpinan Perguruan Tinggi bisa melakukannya, tetapi masih
menggantungkan pada kebijaksanaan pusat. Pembukaan program baru yang seharusnya
mengetahui urgensinya ilah Perguruan Tinggi tersebut, tetapi masih menunggu
kebijaksanaan dan keputusan pusat.
Dengan demikian, seharusnya keputusan perlu
tidaknya, abash tidaknya, terletak pada pertimbangan dan keputusan Perguruan
Tinggi masing-masing. Hanya saja kebijaksanaan yang membuat rambu-rambu seperti persyaratannya membka program baru
perlu ditentukan oleh pusat.
Akreditasi pendidikan di Perguruan Tinggi memang
perlu dilaukan. Akan tetapi, lembaga akreditasi itu jangan dibentuk oleh
pemerintah (Departemen Diknas) sehingga ada kesanAkan tetapi, lembaga
akreditasi itu jangan dibentuk oleh pemerintah (Departemen Diknas) sehingga ada
kesan sebagai proyek dari Departemen atau dari Direktorat Jenderal Penguruan
Tinggi. Lembaga akreditasi pendidikan harus dibentuk oleh masyarakat sebagai
lembaga swadaya masyarakat yang terdiri dari kumpulan para ahli di bidang
pendidikan dan ilmu-ilmu lain yang relevan. Lembaga ini bekerja sebagai lembaga
professional di bidang akreditasi yang setiap tahunnya melakukan akreditasi
semua Perguruan Tinggi, tidak terkecuali Perguruan Tinggi Negeri.
D. Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah-Sekolah
Paradigma MBS berangapan bahwa satu-satunya jalan
masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi,
partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala Sekolah, guru dan masyarakat
adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada
tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi ketiga pihak tersebut.
Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan
keberhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan,
baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya
bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut
“masyarakat” sangat kompleks dan tak terbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi
dengan masyarakat sebagai stakeholder
pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat
perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi
sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat tersebut.
Penyederhanaan konsep masyarakat tersebut
dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk
Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan di setiap
Kabupaten/ Kota.
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sedapat
mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat
mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat
dapat mewujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah
dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di
pemerintah kabupaten/ kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggung jawab
masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan
KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi dan akuntabilitas public, fungsi pendukung (support), serta fungsi mediator antara
sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satua pendidikan adalah
salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah
menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun, tentu saja pergeseran
menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan
berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang
ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh onak dan
duri. Orang bisa mengatakan bahwa paradigm baru untuk mewujudkan pengelolaan
pendidikan yang demokratis dan partisipat tidak dapat dilaksanakan di dalam
suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan
demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis
dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan
tarnsparan.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan
sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan
birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam
mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi
pemerintahan di bidang pendidikan “, Depdiknas tidak hnya berkepentingan dalam
mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga
berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki
keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu
sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom
karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan.
Sesuai dengan strategi, sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah,
tetapi sebagai lembaga professional yang bertanggung jawab terhadap klien atau Stakeholder yang diwakili oleh Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur
dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau Stakeholder . Fungsi pemerintah adalah
fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga
professional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasaan
terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu juga dipahami bahwa pengembangan
paradigm MBS bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP-3).
Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena
“penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP-3 terbukti tidak berhasil memoblisasi
partisipasi dan tanggung jawab masyarakat. Akan tetapi, yang harus lebih
dipahami adalah fungsi Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan
masyarakat. Sekolah yang terbatas personalnya, akan sangat dibantu jika dibuka
jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di
sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi konstribusi pemikiran dari
masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS dibuka kesempatan seluas-luasnya
bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan disekolah. Dengan konsep
MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa bertanggungjawab
untuk keberhasilan pendidikan didalamnya. Jika ini tidak dapat diwujudkan,
jangankan “iuran”, apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, pikiran dan
bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak
bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Namun, untuk sampai pada kemampuan untuk
mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan,
diperlkan program yang sistematis dengan capacity
building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan
pendidikan secara berkelanjutan, baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen
pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan buti-butir yang disebut
di atas. Namun kegiatan capacity building
tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui penahapan sehingga
menjadi proses yang dilakukan secara berkesenimbungan arahnya menjadi jelas ( straight foreward ) dan terukur ( measurable).
Terdapat 4 (empat) tahapan pokok yang perlu dilalui dalam
pelaksanaan capacity building bagi
setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap
setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap
perkembangan yang setara capacity
building dilakukan untuk
meningkatkan ( up-grade ) suatu
kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap
berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijekaskan sebagai
berikut :
a.
Tahap
Praformal
Satuan pendidikan yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis, yaitu belum dapat
memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya guru, sarana dan prasarana dan lain
sebagaina) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal.
Akibat kurangnya sumber-sumber pendidikan, satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai
prasyarat minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya.
Untuk dapat mulai dkembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidikan ini perlu
dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan
tahap berikutnya, yaitu tahap formalitas.
b.
Tahap
Formalitas
Satuan pendidikan yang termasuk kedalam
kelompok ini adalah mereka yang suda memiliki sumber-sumber pendidikan yang
memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar
teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan
kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran, serta jumlah dan
kualitas fasilitas pendidikan lainnya.
Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah
mencapai standar minimal teknis ini, capacity
building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administrator (seperti
kepala sekolah) dan pelaksanaan pendidikan (seperti guru-guru, instruktur,
tutor, dan lain sebagainya) agar dapat melaksanakan pengelolaan pendidikan
secara efisien serta dapat menyelengarakan proses pembelajaran yang kreatif dan
inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan maka
satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan
berikutnya, yaitu tahap transisional.
Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah
mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat
sekolah, terutama yang menangkut ukuran-ukuran output pendidikan, seperti
tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan
para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
c.
Tahap
Transisional
Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap
perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal
pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber
pendidikan secara optimal, meningkatkan kreativitas guru, pendayagunaan
perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan
dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya
yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan.
Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai tahap transisional, selanjutnya
dapat dinaikkan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap otonom (meaning).
d.
Tahap
Otonomi
Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap
perkembangan ini dapat dijategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju
profesionalisasi satuan pendidikan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika
sudah mencapai tahap otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan
pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Pelayanan Minimum) dan akan
bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder
pendidikan pendidikan lainnya.
Dari tahap-tahap perkembangan tersebut capacity building dilakukan dengan
dilakukan dengan strategi yang
berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan
pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Terhadap kelompok satuan pendidikan pada tahap praformal,strategi capacity building dilakukan umumnya
melalui upaya memperlengkapi satuan pendidikan dengan sarana dan prasarana
pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memadai untuk
dapat mencapai tahap perkembangan berikutnya.
2.
Terhadap kelompok satuan pendidikan yang
sudah mencapai standar teknis (tahap formalitas), strategi capacity building dilakukan
melalui pelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan, seperti kepala
sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal
dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan
mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan
inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pndekatan pembelajaran yang
paling efektif. Jika satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka
dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap transisional.
3.
Terhadap satuan pendidikan yang sudah
mencapai tahap transisional, perlu dikembangkan system manajemen berbasis
sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta
mekanisme akuntbilitas pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipasi masyarakat, dan
akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan maka satuan pendidikan sudah dapat
dinaikkan kelasnya ke Tahap Otonomi.
4.
Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan
system indicator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar
minimal pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem indicator ini
perlu didukung oleh system pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap,
dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dan dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan
yang sudah dicapai oleh masing-masing satua pendidikan. Sistem pendataan ini
harus dilakukan dari tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi sampai dengan tingkat Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi, 1999, Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan; Isu, Teori, dan Aplikasi. Jakarta :
Balai Pustaka
Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Kumpulan Karangan. Jakarta : Gramedia.
Alisyahbana, Iskandar. 1980. Teknologi
dan Perkembangan. Jakarta : Yayasan Idayu.
Hamzah. B. Uno, 2008, Profesi
Kependidikan; Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Bumi
Aksara. Jakarta.
Djohar, 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta
: IKIP Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment