Makalah Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah

Makalah Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah



Aldous Huxley (dalam A. Chaedar Alwasilah, 1993:171). Menyatakan “Tanpa bahasa, manusia tak ada bedanya dengan anjing atau monyet. Ungkapan novelis Inggris Aldous Huxley (1894-1963) tersebut  menyuratkan bahwa bahasa (verbal) teramat signifikan bagi manusia. Bahasa, sebagaimana akal atau pikiran, itulah yang mencirikan manusia dan membedakannya dari makhluk-makhluk lain. 

Bahasa secara khusus dikaji dalam disiplin linguistik. Studi tentang bahasa dengan pendekatan tradisional telah dimulai sejak abad ke-5 SM di Yunani, dan dilanjutkan dengan pendekatan modern pada abad ke-18 (A. Chaedar Alwasilah, 1993:7).   Kini, linguistik, seperti disiplin-disiplin ilmu lain, kian berkembang dan maju.

Akan tetapi, dalam makalah ini penulis akan membicarakan bahasa terutama tidak menurut perspektif linguistik yang mendalam. Penulis hendak membahas bahasa dalam perannya sebagai sarana berpikir ilmiah. Dari perspektif linguistik, penulis pun bakal membahasnya sejauh pokok-pokok persoalannya bertalian erat dengan topik tulisan ini.

Penulis akan mengawali pembahasan ini dengan mendedahkan apa yang dimaksud dengan berpikir ilmiah. Arkian, barulah penulis secara berturut-turut membincangkan hal-ihwal bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah, kemudian pengertian dan fungsi bahasa, struktur bahasa dan kosakata, ciri-ciri bahasa ilmiah, dan kelemahan bahasa. Itulah batasan pembahasan makalah ini.


Makalah Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Berpikir Ilmiah
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1993:42),  Berpikir merupakan kegiatan [akal] untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi. Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.

Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola yang disebut silogismus atau silogisme. Silogisme tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau pengetahuan akan benar apabila (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara penarikan kesimpulannya pun benar.

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1993:45),  Induksi berkaitan dengan empirisme, yakni paham yang memandang rasio sebagai sumber kebenaran. Sementara itu, deduksi berkarib dengan rasionalisme, yaitu paham yang memandang fakta yang ditangkap oleh pengalaman manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan demikian, berpikir ilmiah atau metode keilmuan merupakan kombinasi antara empirisme dan rasionalisme.

Bahasa: Sarana Berpikir Ilmiah
Berpikir ilmiah, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini bersifat niscaya, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana berpikir ilmiah tersebut.

Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi langkah-langkah (metode) ilmiah, atau membantu langkah-langkah ilmiah, untuk mendapatkan kebenaran. Dengan perkataan lain, sarana berpikir ilmiah memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan cermat. Oleh karena itu, agar ilmuwan dapat bekerja dengan baik, dia mesti menguasai sarana berpikir ilmiah.

Ada tiga sarana berpikir ilmiah, yakni bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa, dalam konteks ini, memungkinkan manusia berpikir secara abstrak, sistematis, teratur dan terus-menerus dan menguasai pengetahuan. Dengan bahasa, manusia—berbeda dari binatang—bisa memikirkan dan membicarakan objek-objek yang tidak berada di depan matanya. Kehidupan dunia yang kompleks dibahasakan dalam penyataan-pernyataan yang sederhana dan bisa dimengerti. Bahasa pun menjadikan kita dapat mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain.

Ringkasnya, bahasa membantu ilmuwan berpikir ilmiah, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Dengan perkataan lain, bahasa menjadi alat baginya untuk menarik kesimpulan-kesimpulan induktif maupun deduktif. Bahasa memungkinkan ilmuwan melaksanakan silogisme dan menarik kesimpulan atau pengetahuan ilmiah.

Pengertian dan Fungsi Bahasa
Banyak definisi tentang bahasa, tetapi di sini penulis hanya akan mengemukakan tiga definisi yang selaras dengan diskusi ini. Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna. Lebih lengkapnya, bahasa adalah “a systematic means of communicating ideas of feeling by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings”. Dalam KBBI (1991:77), diterakan bahwa bahasa ialah “sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”. Definisi-definisi bahasa tersebut menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.

Menurut A. Chaedar Alwasilah (1993:83-89)  bahasa memiliki tujuh ciri sebagai berikut:
1.   Sistematis, yang berarti bahasa mempunyai pola atau aturan.
2.   Arbitrer (manasuka). Artinya, kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan apa yang disimbolkannya.
3.   Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi.
4.   Bahasa itu simbol. Kata sebagai simbol mengacu pada objeknya.
5.   Bahasa, selain mengacu pada suatu objek, juga mengacu pada dirinya sendiri. Artinya, bahasa dapat dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri.
6.   Manusiawi, yakni bahasa hanya dimiliki oleh manusia.
7.   Bahasa itu komunikasi. Fungsi terpenting dari bahasa adalah menjadi alat komunikasi dan interaksi.

Dalam Filsafat Ilmu karya Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A.,(2007:182)  Fungsi-fungsi bahasa dikelompokkan jadi ekspresif, konatif, dan representasional. Dengan fungsi ekspresifnya, bahasa terarah pada si pembicara; dalam fungsi konatif, bahasa terarah pada lawan bicara; dan dengan fungsi representasional, bahasa terarah pada objek lain di luar si pembicara dan lawan bicara. Menurut George F. Kneller (dalam Jujun S. Suriasumantri, 1993:75) Fungsi-fungsi bahasa juga dibedakan jadi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam komunikasi estetik.

Struktur Bahasa dan Kosakata
Saking pentingnya struktur atau tata bahasa bagi kegiatan ilmiah, Suriasumantri (1993:69) mengajukan pertanyaan retoris: bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat? Penguasaan tata bahasa secara pasif dan aktif memungkinkannya menyusun pernyataan-pernyataan atau premis-premis dengan baik dan juga menarik kesimpulan dengan betul.

Tata bahasa ialah kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa. Lebih lanjut, Charlton Laird dalam Jujun S. Suriasumantri (1993:182)  memerikan tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan makna dan emosi dengan memakai aturan-aturan tertentu.

Selain struktur atau tata bahasa, yang penting pula dikuasai oleh ilmuwan adalah kosakata dan maknanya. Sebab, yang disampaikan oleh pembicara atau penulis kepada lawan bicaranya atau pembacanya sejatinya ialah makna (informasi, pengetahuan). Dan, makna ini diwadahi di dalam kosakata, yang dalam khazanah ilmiah dinamakan dengan istilah atau terminologi.

Tata bahasa, kosakata dan makna inilah yang kerap menimbulkan persoalan dalam kegiatan ilmiah lantaran kelemahan inheren bahasa. Maka, sekali lagi, andaikata para ilmuwan tidak cukup menguasai tata bahasa, kosakata dan makna, persoalan-persoalan dalam kegiatan ilmiah bakal kian ruwet.

Ciri-ciri Bahasa Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah, tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan ragam bahasa lainnya.

Menurut Alif Danya Munsyi (2005:196) bahasa sastra sarat dengan keindahan atau estetika. Sementara itu, bahasa agama, menurut Komaruddin Hidayat (1996:75) dari perspektif theo-oriented, merupakan bahasa kitab suci yang preskriptif dan deskriptif, sedangkan dari perspektif anthropo-oriented, bisa mengarah pada narasi filsafat atau ilmiah.

Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan  antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.

Slamet Iman Santoso dalam Jujun S. Suriasumantri  (199:227) mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen (1990:123) menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.

Kelemahan Bahasa
Sampai di sini, kiranya sudah dimafhumi bahwa bahasa sangat vital bagi manusia dalam aktivitas ilmiah (maupun aktivitas non-ilmiah). Menurut Komaruddin Hidayat (1996:44), bahasa memperjelas cara berpikir manusia, maka orang yang terbiasa menulis dengan bahasa yang baik akan mempunyai cara berpikir yang lebih sistematis. Lebih jauh, sesungguhnya bahasa menstrukturkan pengalaman manusia dan, begitu pula sebaliknya, pengalaman manusia ini membentuk bahasa.

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1993:182-187) bahasa pun tak luput dari sejumlah kelemahan inheren yang menghambat komunikasi ilmiah. Pertama, bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya. Syahdan, pengetahuan yang diutarakannya tak sepenuhnya kalis dari emosi dan afeksi dan, karenanya, tak seutuhnya objektif; konotasinya bersifat emosional.

Kedua, kata-kata mengandung makna atau arti yang tidak seluruhnya jelas dan eksak. Misalnya, kata “cinta” dipakai dalam lingkup yang luas dalam hubungan antara ibu-anak, ayah-anak, suami-istri, kakek-nenek, sepasang kekasih, sesama manusia, masyarakat-negara. Banyaknya makna yang termuat dalam kata “cinta” menyulitkan kita untuk membuat bahasa yang tepat dan menyeluruh. Sebaliknya, beberapa kata yang merujuk pada sebuah makna—bahasa bersifat majemuk atau plural—kerap kali memantik apa yang diistilahkan sebagai kekacauan semantik, yakni dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata dengan makna-makna yang berlainan, atau mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah makna yang sama.
Ketiga, bahasa acap kali bersifat sirkular (berputar-putar). Jujun mencontohkan kata “pengelolaan” yang didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”, sedangkan kata “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”.

Kelemahan-kelemahan bahasa tersebut sebenarnya telah menjadi kajian keilmuan tersendiri dalam, misalnya, filsafat analitik, linguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik.

Di akhir makalah ini, jelaslah bagi kita bahwa bahasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih maju ketimbang makhluk-makhluk lainnya. Jelaslah pula bahwa, di satu sisi, bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas-aktivitas ilmiah. Di sisi lain, bahasa tidak alpa dari kelemahan-kelemahannya yang merintangi pencapaian tujuan dari aktivitas-aktivitas ilmiah. Kelemahan-kelemahan bahasa ini barangkali akan ditutupi oleh kelebihan-kelebihan dari dua sarana berpikir ilmiah lainnya, yaitu matematika dan statistika.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar, Linguistik: Suatu Pengantar, Bandung: Angkasa, 1993
Bakhtiar, Prof. Dr. Amsal, M.A., Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Press, 2007
Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996
Munsyi, Alif Danya, Bahasa Menunjukkan Bangsa, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Suriasumantri, Jujun S. (ed.), Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1991


= Baca Juga =



No comments

Theme images by mammamaart. Powered by Blogger.
Back to Top